Mohon tunggu...
Dailymonthly
Dailymonthly Mohon Tunggu... Freelancer - Just Another Blog

Budayakan Membaca Dailymonthly | Prima H. I have been writing for over 10 years. I have written on various topics such as politics, technology, and entertainment. However, my true passion lies in writing about comprehensive analysis and from various points of view. I believe that writing from multiple perspectives allows me to explore my subjects, settings, and moral gray areas from a wider variety of perspectives, which sustains complexity and keeps the reader interested. I have written several articles on this topic and am considered an expert in the field.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Akar dan Dampak Bias, Prasangka, dan Diskriminasi dalam Masyarakat Indonesia

2 Juni 2023   06:37 Diperbarui: 2 Juni 2023   06:37 794
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akar dan Dampak Bias, Prasangka, dan Diskriminasi dalam Masyarakat Indonesia

 Tinjauan Kritis terhadap Kebijakan dan Praktik

Bias adalah sikap atau keyakinan yang cenderung mendukung ide, sifat, atau kelompok tertentu secara tidak proporsional, biasanya dengan cara yang tidak adil atau berprasangka. Prasangka adalah penilaian terhadap kelompok atau orang berdasarkan prasangka. Diskriminasi didefinisikan sebagai membuat perbedaan berdasarkan kelompok, kelas, atau kategori. Namun, istilah ini juga digunakan secara khusus ketika seseorang atau kelompok diperlakukan tidak adil karena mereka termasuk atau dianggap termasuk dalam kelompok, kelas, atau kategori tertentu. Membuat perbedaan tidak selalu negatif dan dapat berfungsi penting dalam kognisi dan perilaku sosial manusia. Namun, bias, prasangka, dan diskriminasi sering menyebabkan tindakan dan sikap yang tidak adil atau berbahaya, dan orang tidak selalu sadar akan bias yang mereka miliki.

Sikap sosial yang lazim memperkuat bias umum dalam budaya, yang dapat membuat diskriminasi tampak sebagai akibat dari perbedaan alami antara kelompok orang daripada akibat dari keyakinan dan norma yang berprasangka dan telah ada sejak lama. Bias dapat menyebabkan diskriminasi pada skala sistemik ketika mereka menjadi dasar dari hukum, kebijakan, dan praktik. Bias yang terkandung dalam praktik atau kode hukum yang telah lama ada dapat menyebabkan hasil diskriminatif secara langsung, yang pada gilirannya berfungsi untuk membenarkan bias yang sudah ada sebelumnya. Bias menyebabkan diskriminasi, dan diskriminasi sering memperkuat bias.

Kebanyakan orang Indonesia mengakui bias, prasangka, dan diskriminasi sebagai hal yang merugikan bagi individu, komunitas, organisasi, dan seluruh masyarakat Indonesia. Diskriminasi bertentangan dengan pemahaman banyak orang tentang Indonesia sebagai negara yang dibangun atas hak, kebebasan, dan peluang individu. Mencapai akses yang sama terhadap hak dan peluang terhambat oleh norma sosial, sikap budaya, kode hukum, ideologi politik, dan berbagai fenomena lain yang membawa dan memperkuat bias seiring waktu. Meskipun kebanyakan orang Indonesia percaya bahwa diskriminasi ada di abad ke-21 ini, ada ketidaksepakatan yang signifikan mengenai kelompok mana yang menghadapi diskriminasi, seberapa besar masalahnya, dan bagaimana cara menanganinya jika ada.

Bentuk-bentuk Diskriminasi di Indonesia

Indonesia adalah negara yang beragam dengan lebih dari 300 kelompok etnis, enam agama resmi, dan berbagai bahasa dan budaya. Namun, keragaman ini juga menimbulkan tantangan untuk memastikan kesetaraan dan non-diskriminasi bagi semua orang di masyarakat. Indonesia tidak memiliki undang-undang anti-diskriminasi yang komprehensif, melainkan tambal sulam undang-undang dan peraturan yang menangani berbagai aspek diskriminasi. Beberapa bentuk diskriminasi yang masih ada di Indonesia adalah:

- Diskriminasi ras dan etnis: Indonesia memiliki sejarah diskriminasi ras dan etnis, terutama terhadap orang Tionghoa Indonesia, yang telah menghadapi kekerasan, penganiayaan, dan marjinalisasi sejak zaman penjajahan. Kerusuhan anti-Tionghoa pada tahun 1998 merupakan salah satu episode kekerasan rasial terburuk dalam sejarah Indonesia, yang mengakibatkan ratusan orang tewas dan ribuan lainnya terluka. Meskipun situasi telah membaik sejak saat itu, masyarakat Tionghoa Indonesia masih menghadapi diskriminasi dan prasangka di berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, politik, dan media. Etnis minoritas lainnya, seperti orang Papua, juga menghadapi diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia, terutama terkait dengan aspirasi politik mereka untuk menentukan nasib sendiri. Diskriminasi ras dan etnis dilarang oleh UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, tetapi hukum jarang ditegakkan dan tidak memberikan pemulihan yang efektif bagi para korban.

- Diskriminasi agama: Indonesia secara resmi adalah negara sekuler yang mengakui enam agama: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Namun, minoritas agama sering menghadapi diskriminasi dan intoleransi dari mayoritas penduduk Muslim dan dari kelompok-kelompok Islam garis keras. Diskriminasi agama dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti tuduhan penistaan agama, serangan terhadap tempat ibadah, pembatasan ekspresi agama dan perpindahan agama, dan penolakan hak-hak sipil. Pasal penodaan agama (Pasal 156a KUHP) telah digunakan untuk menyasar kelompok agama minoritas, seperti Ahmadiyah, Syiah, Kristen, Budha, dan pengikut gerakan keagamaan baru. Rancangan KUHP berusaha memperluas pasal penodaan agama dengan memasukkan pelanggaran seperti "membujuk seseorang untuk menjadi kafir". Diskriminasi agama juga dipengaruhi oleh peraturan daerah yang memberlakukan norma dan nilai Islam, seperti aturan berpakaian, larangan alkohol, dan hukuman berbasis syariah.


- Diskriminasi gender dan orientasi seksual: Indonesia adalah masyarakat patriarkis yang memberikan lebih banyak kekuasaan dan hak istimewa kepada laki-laki daripada perempuan. Diskriminasi gender dan orientasi seksual dapat mempengaruhi perempuan, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), dan siapa saja yang tidak sesuai dengan norma-norma dominan maskulinitas dan feminitas. Diskriminasi gender dan orientasi seksual dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, pemerkosaan, pernikahan anak, mutilasi alat kelamin perempuan, kesenjangan upah berdasarkan gender, kurangnya representasi politik, dan kriminalisasi hubungan sesama jenis. Meskipun Konstitusi menjamin persamaan hak bagi semua warga negara, tidak ada undang-undang khusus yang melindungi perempuan dan kelompok LGBT dari diskriminasi dan kekerasan. Rancangan KUHP memuat ketentuan-ketentuan yang akan melanggar hak-hak perempuan dan kelompok LGBT, seperti mengkriminalisasi hubungan seks di luar nikah, perzinahan, aborsi, dan kumpul kebo.

Konsekuensi dan Tanggapan terhadap Diskriminasi di Indonesia

Diskriminasi adalah pelanggaran hak asasi manusia yang merugikan individu dan kelompok berdasarkan perbedaan yang mereka miliki, seperti etnis, agama, jenis kelamin, atau orientasi seksual. Diskriminasi dapat bersifat eksplisit dan disengaja, atau implisit dan tidak disadari. Bias implisit adalah bias yang dipegang oleh orang-orang tanpa mereka sadari, dan bias ini mungkin bertentangan dengan niat sadar mereka. Sebagai contoh, meskipun perusahaan menyatakan komitmennya terhadap keragaman, praktik perekrutan dan promosi mungkin lebih mengutamakan kelompok tertentu daripada kelompok lainnya. Karena hasilnya, praktik-praktik semacam itu bersifat diskriminatif, terlepas dari niat perusahaan. Oleh karena itu, penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi bias implisit yang mendorong sikap dan perilaku diskriminatif.

Diskriminasi memiliki dampak negatif pada berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan kohesi sosial. Diskriminasi juga dapat menimbulkan kekerasan, konflik, dan pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa bentuk diskriminasi yang masih terjadi di Indonesia adalah:

- Diskriminasi minyak kelapa sawit: Indonesia adalah produsen dan eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia, yang digunakan dalam berbagai produk seperti makanan, kosmetik, dan bahan bakar nabati. Namun, Indonesia menghadapi diskriminasi dari Uni Eropa (UE), yang telah memberlakukan pembatasan impor minyak kelapa sawit karena masalah lingkungan dan hak asasi manusia. Uni Eropa telah mengadopsi peraturan yang melarang perdagangan komoditas yang terkait dengan deforestasi, termasuk minyak kelapa sawit. Indonesia dan Malaysia, produsen minyak kelapa sawit utama lainnya, telah mengkritik peraturan Uni Eropa tersebut karena "pada dasarnya bersifat diskriminatif dan menghukum" dan telah mengancam untuk mengambil tindakan hukum di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Mereka berargumen bahwa minyak kelapa sawit merupakan sumber pendapatan dan pembangunan yang vital bagi jutaan petani kecil dan pekerja di negara mereka, dan bahwa mereka telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan keberlanjutan dan tata kelola sektor kelapa sawit.

- Diskriminasi Covid-19: Indonesia sangat terdampak oleh pandemi Covid-19, yang telah menewaskan lebih dari 15.000 orang, menyebabkan 2,6 juta orang kehilangan pekerjaan, dan menurunkan PDB sebesar 3,49 persen per Mei 2021. Respons pemerintah terhadap pandemi ini lemah, dengan tingkat pengujian dan penelusuran yang rendah, kurangnya transparansi, dan ketergantungan pada pasukan militer dan polisi untuk menegakkan langkah-langkah kesehatan. Pandemi juga telah memperburuk ketidaksetaraan dan kerentanan yang ada pada berbagai kelompok, seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, pekerja migran, dan minoritas agama. Selain itu, pandemi telah memicu diskriminasi dan stigma terhadap kelompok-kelompok tertentu, seperti tenaga kesehatan, pasien dan penyintas Covid-19, serta masyarakat keturunan Tionghoa. Sebagai contoh, petugas kesehatan menghadapi pelecehan, pengusiran, dan kekerasan dari tuan tanah dan tetangga mereka yang takut akan penularan. Orang-orang keturunan Tionghoa juga melaporkan peningkatan ketakutan menjadi sasaran diskriminasi, karena beberapa orang menyalahkan mereka atas asal mula dan penyebaran virus.

- Diskriminasi gender dan orientasi seksual: Indonesia adalah masyarakat patriarkis yang memberikan lebih banyak kekuasaan dan hak istimewa kepada laki-laki daripada perempuan. Diskriminasi gender dan orientasi seksual dapat mempengaruhi perempuan, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), dan siapa saja yang tidak sesuai dengan norma-norma dominan maskulinitas dan feminitas. Diskriminasi gender dan orientasi seksual dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, pemerkosaan, pernikahan anak, mutilasi alat kelamin perempuan, kesenjangan upah berdasarkan gender, kurangnya representasi politik, dan kriminalisasi hubungan sesama jenis. Meskipun Konstitusi menjamin persamaan hak bagi semua warga negara, tidak ada undang-undang khusus yang melindungi perempuan dan kelompok LGBT dari diskriminasi dan kekerasan. Rancangan KUHP memuat ketentuan-ketentuan yang melanggar hak-hak perempuan dan kelompok LGBT, seperti mengkriminalisasi hubungan seks di luar nikah, perzinahan, aborsi, dan kumpul kebo. Perempuan dan kelompok LGBT juga menghadapi stigma sosial, intoleransi, dan kekerasan dari kelompok konservatif dan individu yang menentang hak-hak dan visibilitas mereka.

Hukum dan Tantangan Antidiskriminasi di Indonesia

Hukum yang melarang diskriminasi bertujuan untuk mempromosikan, melindungi, dan memastikan kesetaraan bagi semua orang di masyarakat. Indonesia tidak memiliki undang-undang anti-diskriminasi yang komprehensif, melainkan hanya berupa tambal sulam undang-undang dan peraturan yang membahas berbagai aspek diskriminasi. Beberapa undang-undang yang relevan meliputi: Undang-Undang Dasar 1945, yang menjamin status dan hak yang sama bagi semua warga negara; Undang-Undang Ketenagakerjaan (UU No. 13 Tahun 2003), yang melarang diskriminasi dalam pekerjaan berdasarkan berbagai alasan; UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang mewajibkan pengusaha untuk mempekerjakan minimal satu orang penyandang cacat untuk setiap 100 orang pekerja; dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, yang mengkriminalkan tindakan diskriminasi dan penghasutan berdasarkan ras dan etnis.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi bertanggung jawab untuk menegakkan UU Ketenagakerjaan dan memastikan kepatuhan terhadap konvensi-konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, seperti Konvensi No. 100 tentang Pengupahan yang Setara dan Konvensi No. 111 tentang Diskriminasi dalam Ketenagakerjaan dan Pekerjaan. Namun, menurut laporan ILO pada tahun 2019, masih ada kesenjangan dan tantangan dalam mengimplementasikan konvensi-konvensi tersebut, seperti kurangnya definisi yang jelas tentang diskriminasi, tidak adanya pemulihan dan sanksi yang efektif, serta terbatasnya kesadaran dan kapasitas para pemangku kepentingan yang relevan. Laporan ini juga mencatat bahwa perempuan, penyandang disabilitas, masyarakat adat, minoritas agama, dan pekerja migran merupakan kelompok yang paling rentan terhadap diskriminasi di pasar tenaga kerja.

Indonesia tidak memiliki undang-undang khusus yang melindungi hak-hak kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dari diskriminasi dan kejahatan kebencian. Meskipun sebagian besar wilayah Indonesia tidak mengkriminalisasi hubungan seksual sesama jenis atas dasar suka sama suka di antara orang dewasa, ada beberapa pengecualian. Provinsi Aceh, yang memiliki otonomi khusus untuk menerapkan hukum Islam, memberlakukan peraturan daerah pada tahun 2014 yang menghukum tindakan homoseksual dengan hukuman cambuk hingga 100 kali cambukan atau 100 bulan penjara. Pada tahun 2018, kota Pariaman di Sumatera Barat juga mengesahkan peraturan daerah yang menjatuhkan denda hingga 1 juta rupiah (US $ 70) untuk "kegiatan homoseksual dan transgender". Selain itu, kelompok LGBT menghadapi stigma sosial, pelecehan, dan kekerasan yang meluas dari aktor-aktor negara dan non-negara, terutama sejak tahun 2016, ketika serangkaian pernyataan dan tindakan anti-LGBT yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dan pemuka agama memicu reaksi keras terhadap komunitas LGBT.

Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia mewajibkan pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia semua orang di Indonesia, tanpa memandang perbedaan yang ada. Namun, implementasi dari undang-undang tersebut seringkali terhambat oleh kurangnya kemauan politik, pengaruh kelompok konservatif, dan ketidakkonsistenan sistem hukum. Berbagai organisasi masyarakat sipil dan pembela hak asasi manusia telah mengadvokasi pemberlakuan undang-undang anti-diskriminasi yang komprehensif yang akan memberikan kerangka hukum dan mekanisme yang jelas untuk mengatasi segala bentuk diskriminasi di Indonesia. Mereka juga telah menyerukan ratifikasi perjanjian-perjanjian hak asasi manusia internasional yang belum diratifikasi oleh Indonesia, seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas (CRPD).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun