Kehamilan Remaja dan Aborsi di Indonesia dan Amerika Serikat: Sebuah Analisis Perbandingan
Tantangan dan kontroversi dalam menangani kehamilan dan aborsi remaja dalam dua konteks hukum dan budaya yang berbeda.
Aborsi & Keterlibatan Orang Tua
Remaja yang aktif secara seksual antara usia 15 dan 19 tahun memiliki risiko tinggi untuk mengalami kehamilan yang tidak diinginkan di Indonesia. Menurut sebuah penelitian, angka kehamilan remaja di Indonesia masih tinggi, yaitu 58,6%. Penelitian lain memperkirakan bahwa lebih dari dua juta remaja putri dalam kelompok usia ini melahirkan antara tahun 2005 dan 2010, yang merupakan sekitar 10% dari total kelahiran di Indonesia. Lebih dari setengah dari kehamilan ini menghasilkan kelahiran dan seperempatnya berakhir dengan aborsi yang diinduksi, yang mengacu pada penghentian kehamilan yang disengaja. Pada tahun 2019, remaja berusia 15 hingga 19 tahun menyumbang sekitar  9%  dari aborsi yang dilakukan di Amerika Serikat, sementara anak perempuan di bawah usia 15 tahun menyumbang kurang dari setengah persen.
Di Indonesia, tidak ada hukum yang mewajibkan keterlibatan orang tua bagi anak di bawah umur yang ingin melakukan aborsi. Namun, aborsi ilegal di Indonesia kecuali dalam kasus pemerkosaan, gangguan pada janin, atau membahayakan nyawa ibu.Â
Pada bulan Juni 2022, Mahkamah Agung membatalkan Roe v. Wade dan Planned Parenthood v. Casey, dua keputusan sebelumnya yang telah menjamin hak untuk melakukan aborsi di Amerika Serikat. Dalam kasus Dobbs v. Jackson Women's Health Organization, pengadilan memutuskan bahwa kewenangan untuk mengatur aborsi adalah milik masing-masing negara bagian.
Ketika undang-undang yang melarang atau sangat membatasi aborsi diberlakukan di berbagai negara bagian, undang-undang tersebut menggantikan undang-undang keterlibatan orang tua. Namun, negara bagian dapat menetapkan kondisi dan batas usia kehamilan di mana aborsi diperbolehkan, termasuk mewajibkan pemberitahuan dan persetujuan orang tua.
Pendukung undang-undang keterlibatan orang tua berpendapat bahwa persyaratan ini mendorong hubungan orang tua-anak yang lebih baik, melindungi hak-hak orang tua pasien, meningkatkan pelaporan kekerasan seksual, dan mencegah remaja untuk melakukan aborsi atau menjadi aktif secara seksual sejak awal. Para penentang berpendapat bahwa undang-undang ini memberikan beban yang tidak perlu pada pasien dan melanggar hak-hak mereka. Selain itu, para penentang menunjukkan bukti bahwa sebagian besar remaja yang hamil mendiskusikan keputusan mereka dengan orang tua, dan mereka yang memilih untuk tidak melakukannya mungkin memiliki alasan praktis untuk merahasiakan situasi mereka. Di negara bagian yang mewajibkan izin orang tua, remaja yang hamil dapat melakukan perjalanan ke luar negara bagian untuk melakukan aborsi, menunda perawatan medis, atau melakukan prosedur dari sumber yang tidak berlisensi, yang semuanya dapat meningkatkan ancaman terhadap kesehatan pasien.
Latar Belakang Legislatif
Di Indonesia, aborsi sebagian besar ilegal, dibatasi dan mendapat stigma yang tinggi, yang memaksa banyak perempuan untuk melakukan aborsi yang tidak aman. Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia dan memiliki salah satu tingkat aborsi tidak aman tertinggi di dunia. Menurut Peraturan Pemerintah No. 61 yang disahkan pada tahun 2014 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 yang disahkan pada tahun 2016, aborsi hanya diperbolehkan dalam dua situasi: jika nyawa perempuan dalam bahaya atau jika kehamilan adalah hasil dari pemerkosaan dan dalam 40 hari pertama masa kehamilan. Dalam kasus terakhir, jika perempuan tersebut sudah menikah, baik dia maupun suaminya harus setuju. Aborsi adalah ilegal dalam semua kasus lainnya dan dapat dihukum dengan hukuman penjara dan denda.