sumber : Dokpri (buku dunia Pondok Pesantren dan The writing is my passion)
Sebagai Kurator dan editor buku antologi di grup Kelas Belajar Menulis Nusantara (KBMN) asuhan Om Jay dan Bu Kanjeng, saya telah mengkuratori buku antologi lebih dari selusin. Tiap buku yang saya garap tak kurang dari 30 peserta. Artinya lebih dari 360 naskah penulis saya baca sebelum menjadi buku dan didistribusikan kepada penulisnya.
Dari sekian banyak buku yang saya kuratori terus terang ada 2 buku yang memiliki kontradiksi. Yaitu buku Dunia Pondok Pesantren (DPP) dan The power Of Wriring (TPOW). Maksud kotradiksi di sini adalah perbedaan yang mencolok dari tingkat kesulitan mewujudkannya menjadi buku. Buku antologi Dunia Pondok Pesantren para penulisnya memang berasal dari luar cyrcle KBMN, saya hubungi japri lalu add ke grup. Sedangkan TPOW dari anggota grup KBMN.
Dari segi ikatan emosional penulis DPP dengan saya tak sekuat para penulis TPOW yang interaksi hampir setiap hari di grup KBMN. Kedua aktifitas penulis DPP sangat heterogen, ada yang pedagang, pengusaha, ibu rumah tangga, pimpina  ponpes, ketua yayasan, Guru PNS dan guru swasta serta lainnya. Sedangkan penulis TPOW mayoritas para guru di Nusantara dari guru SD hingga dosen pun ada yang ikut nulis di buku ini.
Perbedaan latar belakang penulis ini menjadikan proses penyelesaian 2 buku ini berbeda ekstrim. Buku DPP hampir 1 tahun sedangkan buku TPOW hanya 1 bulan. Malah sempat di bulan ke-10 saya hampir hopeless karena naskah belum mencapai 10, sempat kepikiran untuk membubarkan namun tidak jadi karena ada tambahan penulis yang mengirimkan naskah hingga 3 orang. Â Saya perpanjang Dead line buku DPP sampai bulan oktober tanggal 30 dan mengubah pendekatan.
Tadinya menunggu penulis mengirim naskah menjadi setiap hari saya menanyakan naskah kepada anggota yang belum kirim dan memposting tulisan dari penulis yang sudah mengirim naskahnya. Rupanya dengan sering ditanyakan lumayan ada perkembangan dalam  1 bulan  ada penambahan hingga 10 naskah dan setelah hampir 1 tahun akhirnya 30 naskah pun terkumpul, dan buku jadi diterbitkan.
Rasanya nano-nano melihat tampilan buku ini. Benar-benar buku yang penuh perjuangan dan ekstra kesabaran dalam mewujudkannya. Menguras energi, waktu dan kuota yang lumayan ekstra. Ada rasa bangga dan bahagia dalam hati bahwa dari sekian buku yang saya garap tak ada yang mangkrak atau gagal cetak. Â Saya dengar ada beberapa kurator yang terpaksa membatalkan alias tak melanjutkan buku, karena batas kuota minimal yang diharapkan tak kunjung tercapai.
Dalam tulisan ini saya ingin berbagi tips kepada para penulis pemula atau  yang mau mencoba menjadi kurator dan editor agar tak mengalami kegagalan dalam mengawal sebuah buku antologi hingga naik cetak dan diterima para penulisnya.
Pertama : Buatlah tema yang aktual dan menarik minat untuk ditulis banyak orang. Yang sekiranya banyak orang yang mengalami hal tersebut. Misalnya Kisah Cinta Monyetku atau 17 Tahun Masa Terindah, dan seterusnya. Intinya pilih tema yang kalau ngajakin orang dijamin 90% mengalami hal tersebut.
Kedua : Jika bisa upayakan anggota penulisnya dari satu komunitas atau lembaga. Misalnya Komunitas Penulis Guru Nusantara, Komunitas Guru Pegiat Literasi, Guru Banten Raya, dan seterusnya. Sehingga ada kesamaan rasa, misal tema Baduy di Mata Orang Banten, maka semua orang Banten akan ikut menulis apa yang ia ketahui tentang suku asli Banten sesuai pengetahuan dan pengalamannya.