Menjadi Kurator dan Editor Buku
Bagi penulis pemula, naskah tulisannya bisa masuk dalam sebuah buku saja itu merupakan anugrah dan hal istimewa.Â
Apalagi jika namanya sebagai salah satu penulis dalam buku bersama atau antologi ada di cover buku tersebut. Berbunga-bunga hatinya, dan seperti apa rasa bahagianya tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Intinya senang dan gembira luar biasa.
Setelah naskah penulis pemula ada di beberapa buku antologi, biasanya muncul rasa ingin punya buku solo namun akan terjadi perang batin, apakah kumpulan tulisan saya yang dihimpun sekian ratus halaman ini layak diterbitkan jadi buku?.
Rasanya belum bagus, banyak kekurangan baik bahasa maupun isinya belum sempurna. Nanti sajalah setelah diperbaiki dan dilengkapi.
Bila perang batin pada penulis pemula antara melanjutkan terbitkan buku atau nanti saja tak didampingi penulis senior yang pandai memotivasi, mental penulis pemula yang ragu terhadap kelayakan isi bukunya untuk diterbitkan, dipastikan tak akan terbit.Â
Jika berkonsultasi pada penulis senior, dan dapat motivasi yang mampu meneguhkan hati penulis pemula bahwa naskahnya sudah bagus dan layak terbit, maka nasib naskah dari penulis pemula itu akan terbit.
Saya ungkapkan ini berdasarkan pengalaman pribadi. Setelah beres di kelas belajar menulis PGRI asuhan Om Jay atau Dr. Wijaya Kusumah, ada ajakan ikut Nubar atau Nulis Bareng tema : Literasi Solusi di Tengah Pandemi dan Writing is My Passion. Saya penasaran ingin punya buku solo.Â
Maka naskah saya dibantu bu Aam dan Bu Kanjeng guru menulis saya, maka buku solo saya terbit dengan judul : Jurus Jitu Menjadi Penulis Bermutu. Melayang rasanya saking tak percaya saat buku solo pertama saya tiba dipangkuan. Senengnya lebih dari perasaan jika kita ada yang memberi uang merah seratus ribuan.
Sejak itulah rasa percaya diri saya makin kuat, karena merasa sudah lulus dari KBM gelombang 20, maka saya langsung menerima tawaran untuk menjadi editor bagi teman sekantor bernama Bu Eulis yang menerbitkan buku perdananya.Â