Mohon tunggu...
didologic
didologic Mohon Tunggu... Dosen - Logika Si Otak Udang

Seorang Dosen, Seorang Suami, Seorang Ayah, Seorang Hamba Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Broken Home Impact On Broken Life"

3 Desember 2018   11:47 Diperbarui: 3 Desember 2018   14:00 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Istilah 'broken home' terdiri dari dua kata ("broken"="patah" & "home"="rumah"), jika diartikan secara harafiah istilah 'broken home' berarti 'rumah patah'. Istilah ini bukan untuk menggambarkan sebuah rumah yang patah atau rusak, tetapi istilah ini untuk menggambarkan sebuah situasi rumah tangga yang berantakan, sebuah situasi rumah tangga yang tidak harmonis, identik dengan pertengkaran dan perceraian.

Banyak orang berpendapat bahwa keluarga yang dikategorikan "broken home" hanya untuk keluarga yang orang tuanya bercerai, padahal tidaklah hanya sebatas soal perceraian. Sebuah keluarga dikatakan "broken Home" ketika sudah tidak ada lagi keharmonisan, tidak ada lagi kehangatan komunikasi sesama anggota keluarga, tidak saling mendukung satu dengan yang lain, ketika suami dan isteri memiliki kesibukan yang mengabaikan kepentingan keluarga, sehingga anak merasakan kesepian dan memilih bergaul keluar, berusaha mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang lain.

Perceraian bukanlah sebab, melainkan perceraian hanyalah sebuah akibat dari keegoisan orang tua, suasana yang timbul hanyalah perkelahian yang tak kunjung berhenti. Kedua kubu saling mempertahankan pendapatnya, sang ayah membela pendapat yang menurut dia patut di pertahankan, dan sang ibu hanya bisa menuduh sambil mempertahankan kebenaran yang menurut dia benar.

Tanpa disadari suasana yang demikian membuat banyak anak tidak betah di rumah, mereka 'broken', tidak ada kehangatan, keakraban, kasih sayang, perhatian, dan pada akhirnya mereka harus mengambil keputusan untuk mencari kehidupan di luar rumah. Mereka mulai menjejali suasana baru yang dapat menyingkirkan bayang -- bayang suasana rumah yang "semberawut", yang terus ada di dalam pemikiran mereka. 

Seiring dengan berjalannya waktu mereka akan mulai menikmati kehidupan yang diterima dari lingkungan luar rumah dan harus dicatat bahwa tidak melulu lingkungan luar rumah mengarah kepada hal yang negatif, meskipun yang terjadi kebanyakan mengarah kepada hal --hal yang negatif.

Banyak anak 'broken home' yang mencari pelarian dengan melakukan hal -- hal yang negatif, terjerumus dalam lingkup kehidupan yang kelam, narkoba, seks bebas dan kriminalitas. Salahkah mereka ? tentu tidak, mengapa ? karena status sebagai anak 'broken home' merupakan beban bagi mereka. 

Dimasa muda mereka seharusnya mereka merancang angan setinggi mungkin, menentukan titik mimpi yang harus mereka capai, bermanja ria dengan rangkulan hangat orang tua. Namun mereka tidak memiliki kesempatan melakukan hal-hal itu, justru mereka harus menanggung beban yang mengganggu pemikiran mereka, yang menutup ruang gerak mereka, langkah mereka diiringi dengan kekesalan, kekecewaan, pertanyaan mengapa semua ini harus terjadi. 

Mereka terlalu muda untuk menjadi tua, terlalu cepat untuk menanggung beban yang demikian, terlalu cepat untuk menjalani kehidupan dengan banyak pertanyaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun