Kompas, 27 November, mengangkat judul bidang perekonomian “memperbaiki diri”, salah satu yang menarik perhatian, bahwa sumbangan pariwisata Indonesia hanya 9% terhadap pertumbuhan ekonomi (produk domestic bruto / PDB), sementara Malaysia 14,4% dan Thailand 19,3%, ditambah jumlah turis mancanegara yang berkunjung ke Malaysia 27,4 juta orang dan ke Thailand 24,8 juta orang, sedangkan Indonesia sendiri masih sekitar 9 – 10 juta orang, yang konon mempunyai destinasi wisata yang jauh lebih banyak dan beragam, bahkan Indonesia punya destinasi yang popular di dunia seperti Bali.
Pertanyaan yang muncul tentu kita semua akan mencari jawabannya. Kita sendiri juga sudah banyak mengakui kondisi infrastruktur yang masih belum sepenuhnya mendukung, pengakuan itu menyadarkan Pemerintah sendiri untuk melancarkan program-program penggenjotan infrastruktur, walaupun segudang permasalahan yang menghalang.
Dengan upaya mengurangi subsidi BBM, maka dana tersebut telah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, tapi ternyata penyerapannya sangat lambat, alasan yang paling umum, masalah penyediaan tanah / lahan yang sulit berhadapan dengan pemilik tanah, apakah perorangan atau “hak ulayat”, tapi kini muncul alasan lain, walaupun masih “bisik-bisik”, yaitu takutnya para pejabat yang menjadi Pimpro (Pimpinan Proyek), takut bayang-bayang menjadi tersangka kasus korupsi (KPK, Kejaksaan dan Polri), bagaikan hantu yang selalu membayangi sepak terjang para Pimpro.
Kini telah dikeluarkan pula, Kebijakan Pemerintah untuk memberikan bebas visa kepada Warga Negara lain, pada Oktober 2015 sudah tercatat 75 Negara dikenakan bebas visa. Upaya-upaya tersebut, pada dasarnya untuk meningkatkan kunjungan turis ke Indonesia.
Untuk lebih menarik para wisatawan manca negara nampaknya juga perlu upaya-upaya yang lebih keras lagi, baik dari stake holder dalam negeri Indonesia, seperti Kementerian Pariwisata yang mendapat alokasi promosi pariwisata ataupun Kementerian lain yang punya hubungan baik berupa produk unggulan yang diminati, seperti kerajinan, pertanian, kuliner dan sebagainya.
Pemerintah Daerah, baik provinsi maupun Kabupaten/Kota itu sendiri, dan jangan lupa Perwakilan Indonesia di luar negeri, seperti KBRI, Konjen RI, Konsul-konsul RI, juga berperan untuk mempromosikan, sekalipun tidak cukup tersedia anggaran, tapi banyak cara untuk mencapai asal ada kemauan, seperti kerjasama dengan pihak ketiga, diantaranya dengan Kadin (Kamar Dagang Indonesia), Hipmi (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia), Iwapi (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia), para Asosiasi di bidang usaha dan jasa termasuk travel agency.
Semua yang dikemukakan diatas sudah diketahui oleh banyak pihak, tapi persoalannya, apakah mereka mengaplikasikannya secara bersinergi atau jalan sendiri-sendiri sesuai keinginan dan harapan masing-masing? Sepertinya apa yang telah dipahami bahwa egoisme sektoral antar Kementerian / Lembaga masih juga belum ada perubahan signifikan. Sekedar untuk bahan berdiskusi, saya coba mencatat beberapa bagian pengalaman selama bertugas di Malaysia.
Di Malaysia, pada bulan Agustus – September, setiap tahun mereka menyebutnya “Arab session”, karena pada saat itu hotel-hotel, mal-mal dan apartment dipenuhi oleh turis mancanegara dari Timur Tengah. Ciri paling Nampak, yaitu di Mal, banyak dilihat wanita yang berbaju “ebaya”, umumnya berwarna hitam yang menutup semua badan, kecuali matanya.
Menarik perhatian, untuk mengetahui mengapa mereka banyak datang ke Malaysia dengan Keluarganya (Istri/Suami dan anak-anaknya). Memang pada bulan Agustus – September adalah waktu libur musim panas, yang waktu hampir 2 bulan, menjadi pilihan masa liburan, karena hal-hal seperti, kebiasaan mereka ke Eropa atau Amerika kurang berminat lagi, sebagai dampak dari serangan teroris, sehingga orang-orang dari Timur Tengah, seperti muncul perasaan antipati oleh warga negara di kedua wilayah tersebut. Tapi apakah hanya itu? tapi mengapa hanya ke Malaysia? kenapa tidak ketempat lainnya? Informasi yang diperoleh melalui Dubes-dubes Timur Tengah yang ada di Kuala Lumpur didapat, bahwa orang-orang di Negara nya mengetahui Malaysia itu di rumahnya, bukan hanya dari internet, tapi melalui iklan-iklan di media massanya, seperti melalui siaran Televisi, Majalah, Koran termasuk selebaran suplemen Majalah dan Koran setempat.
Perlu juga diperhatikan bahwa apa yang diiklankan itu, mereka akan menemuinya sesuai di lapangan, misalnya harga-harga barang ataupun tarif/jasa hotel, persis dengan yang diiklankan. Apakah dari pihak Malaysia, melakukan kampanye pariwisata ke negara-negara lain dengan membawa tim kesenian dan lain-lain? Ada, tetapi tidak banyak dilakukan, tetapi lebih banyak melalui iklan tersebut dan juga dibuat video klipnya, kemudian ditayangkan di negara yang bersangkutan. Sebagai contoh “kasus tari pendet” yang ditayangkan oleh Malaysia di iklan Discovery Channel, yang menjadi heboh pada Agustus 2009, yang menimbulkan reaksi luas dari publik di Indonesia.
Kita coba bandingkan dengan apa yang selama ini dilakukan oleh pihak Indonesia. Pada suatu hari dari suatu Provinsi di Sumatera, ada acara promosi masakan dari provinsi itu, dilibatkanlah staf Kedutaan RI di Kuala Lumpur dan Duta Besar diminta untuk memberi sambutan. Acara dilakukan dengan menyewa restaurant dari Hotel Bintang Lima di Kuala Lumpur dan menutup untuk umum.