Mohon tunggu...
Da'i Bachtiar
Da'i Bachtiar Mohon Tunggu... -

Kapolri, November 2001 - Juli 2005;\r\n\r\nDubes LBBP RI untuk Kerajaan Malaysia, Mei 2008 - Juni 2011;\r\n\r\nKetua Presidium LCKI, September 2005 - saat ini\r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Korupsi, Polri, KPK, Ada Apa ?

7 November 2012   05:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:50 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum hilang dalam ingatan publik di Republik yang 'paling demokratis' didunia ini, dan negara demokratis ketiga terbesar penduduknya didunia, tentang kasus 'Cicak-Buaya' yang berbulan-bulan menjadi topik berita media yang sangat bebas tapi 'bertanggung jawab' itu.  Sampai akhirnya seorang Presiden, baik sebagai Kepala Negara, maupun Kepala Pemerintahan, 'terpaksa atau dipaksa', setidaknya karena tekanan publik, untuk membentuk 'tim delapan'.

Terhadap tim, yang dibentuk Presiden ini, ada kalangan yang setuju, ada pula yang tidak. Bagi yang setuju, mereka memahami, bagaimana suatu persoalan yang menyangkut proses penegakkan hukum, yang telah cukup lengkap 'aturan mainnya', artinya persoalan dalam ranah hukum, menjadi suatu yang kompleks, sampai masuk pula keranah politik. Inilah sikap kehati-hatian yang sering ditampilkan Presiden SBY dalam menanggapi sejumlah persoalan bangsa ini, sehingga bagi kalangan tertentu dianggap sebagai sikap yang lamban. Begitulah bagi mereka yang tidak setuju, mengapa harus membentuk tim segala, karena Presiden telah dilengkapi perangkat yang cukup lengkap, dari Menteri yang membidanginya, ada pula Dewan Penasihat Presiden, ada staf khusus Presiden (dari banyak kalangan ahli), dan perangkat pemerintahan lainnya, karena yang dibutuhkan adanya kecepatan keputusan yang segera agar tidak menambah berkembangnya menjadi isue yang meluas, yang menghabiskan energi, bagi suatu persoalan kecil saja.

Kasus 'Cicak-Buaya' memang telah berlalu,  kini muncul kembali suatu kasus yang menyangkut dua institusi yang sama, yaitu Polri dan KPK. Substansinya memang berbeda, tapi riuhnya dalam berita media dan opini yang berkembang, tidak kalah serunya seperti kasus Cicak -Buaya. Lagi-lagi persoalan ini, menuntut 'campur tangan' Presiden. Kali ini Presiden, tidak membentuk Tim apapun, untuk memberikan arahan (direction)-nya. Cukup bertemu dengan pihak terkait (Kepala Polri dan Pimpinan KPK), sikap seperti ini, sudah memberikan kesan positif publik, ditambah lagi, direktif yang disampaikan melalui media massa, sepertinya memenuhi harapan sebagian besar publik. Apa yang telah dilakukan Presiden ini, telah mengubah pandangan sementara publik, yang, menganggap Presiden yang 'lamban' ataupun 'ragu-ragu', sementara sirna, bak pepatah yang mengatakan 'panas setahun, sirna karena hujan sehari '.  Pantaslah kemudian  berbagai survey, menunjukkan popularitas SBY meningkat. Walaupun hal tersebut, bukanlah tujuan, ataupun keinginan pribadi SBY, tapi setidaknya, SBY memahami aspirasi yang berkembang pada publik saat itu.

Dibalik terpenuhinya harapan publik dan meningkatnya popularitas SBY, ada pihak yang merasa 'terkalahkan' yaitu Polri. Secara institusional tidak ada masalah, tapi barangkali manusia-manusia yang mengawakinya, dari Pimpinan tertinggi Polri hingga pada level pimpinan bawahannya, merasakan ada semacam kekecewaan. Institusi Polri, yang secara konstitusioanal menjadi bawahan Presiden, tentu akan patuh dan tunduk kepada perintah Presiden. Setelah itu, kalau tekanan terus bertubi- tubi kepada Polri, maka hal tersebut akan bisa berakibat pada 'demoralisasi' anggota Polri, khususnya para pimpinannya. Isue, tentang adanya para petinggi Polri yang akan mengundurkan diri, bukan hal yang mustahil. Seperti yang terjadi pada kasus 'Cicak-Buaya', dimana Kapolri waktu itu, Jenderal Polisi Bambang Hendarso, berusaha keras untuk menahan keinginan seperti itu.

Mengapa kita cegah terjadinya demoralisasi pada pimpinan Polri ?. Perlu kita lihat apa yang menjadi amanat konstitusi kepada Polri. Betapa luas dan besar tanggung jawab Polri dalam mengemban fungsi keamanan negara, dengan jumlah penduduk yang besar (240 juta orang) dengan wilayah sangat luas, memerlukan peran dan kehadirannya, untuk mengawal berjalannya kehidupan masyarakat sehari-hari yang dinamis, agar terjamin keamanannya, ketertibannya, serta terayominya dari berbagai bentuk gangguan.

Sementara, terjadinya gesekan dengan KPK dalam menangani korupsi, sebenarnya merupakan sebagian saja dari tugas penegakkan hukum yang jauh lebih luas, yang ditangani oleh Polri. Kehadiran KPK memang dikehendaki oleh bangsa ini, karena untuk menangani kasus korupsi,  tidak cukup hanya ditangani oleh lembaga penegak hukum yang ada (Kejaksaan, Polri). Dengan demikian tiga lembaga ini yang 'mengeroyok' kasus korupsi, sehingga ruang gerak para pelaku (koruptor) untuk melakukan kasus korupsi akan semakin sempit.

Bersyukur berkesempatan untuk menjadi bagian dari kehadiran KPK. Dengan berpegangan pada undang-undang yang mendasarinya, seperti UU No. 2/2002 tentang Polri, UU No. 30/2002  tentang KPK, dan UU No. 8/1981 tentang KUHAP, maka mulailah KPK untuk mejalankan tugasnya. Waktu itu sebagai pimpinan Polri, saya bersama pimpinan KPK, menyetujui untuk menyusun MOU,  dalam rangka untuk mensinkronisasikan kerjasama berdasarkan atas kewenangan masing-masing. Polri-pun telah menyiapkan para perwiranya, sepertinya untuk jabatan-jabatan deputi, direktur dan para penyidik. Khusus untuk para penyidik Polri, menyiapkan 50 perwira terbaiknya, yang berpangkat  Ajun Komisaris Polisi (Kapten), Komisaris Polisi (Mayor), untuk ditugaskan ke KPK. Mulai saat itulah, sebenarnya Polri bertekad untuk memperkuat KPK, dengan menugaskan para perwira terbaiknya, sekalipun sebenarnya masih banyak diperlukan dalam kalangan Polri sendiri.  Dukungan Polri terhadap KPK, karena dilandasi kesadaran bahwa, dengan kewenangan pada 3 lembaga penegak hukum, harapan besar bagi bangsa ini, mampu menyelesaikan salah satu masalah bangsa ini. Apalagi kewenangan yang extraordinary dimiliki oleh KPK, sehingga apa yang menjadi kendala bagi Polri dan Kejaksaan, dapat dipecahkan.

Kita coba anatomi dimana sumber-sumber korupsi itu. Hal yang pertama, lihatlah pada lingkup:  pada badan/lembaga/institusi atau pejabat yang ditugasi dan atas dasar kewenangannya, menerima, mengumpulkan 'uang' untuk Negara. Contoh: pajak, cukai, PNBP, Keuntungan BUMN, BUMD, bagi hasil, konsesi, dll.  Lingkup kedua, yaitu: pada badan/lembaga/institusi atau pejabat yang diberi kewenangan menggunakan/membelanjakan 'uang' negara. Contoh: pengadaan barang (procurement), pengalihan aset negara, dll.  Sedangkan lingkup ketiga, yaitu aparat penegak hukum, seperti: Polri, Kejaksaan, Pengadilan, Pengacara, dan badan/lembaga yang diberikan kewenangan penyidikan.  Lingkup keempat, yaitu para pejabat negara/pemerintah, pegawai apapun status dan pangkatnya, karena tugas dan kewajibannya memiliki kewenangan atas berbagai perizinan dan pelayanan umum, baik tingkat pusat maupun daerah.

Setelah dimengerti dan difahami, lingkup sumber korupsi, maka sebaiknya segera dilakukan pemetaan kondisi korupsi yang dihadapi bangsa ini.  Disinilah sebenarnya diperlukan semacam 'forum' koordinasi dan kerjasama antar KPK, Polri dan Kejaksaan.  Hal ini sebenarnya juga masih dalam lingkup tugas KPK, dalam melakukan koordinasi dengan Polri maupun Kejaksaan. Kalau koordinasi ini, tidak dimulai dari sejak awal ataupun dalam apa yang dinamakan 'grand strategy' penanganan korupsi, maka tidaklah kita heran, kalau dalam pelaksanaan dilapangan timbul berbagai permasalahan, seperti yang dialami saat ini.

Itu juga sebenarnya, merupakan salah satu upaya untuk mengurangi ego sektoral. Walaupun sebenarnya, penyidik pada KPK juga penyidik Polri, penuntut umum pada KPK, juga penuntut umum pada Kejaksaan, jadi sebenarnya mengapa koordinasi menjadi sulit atau barang mahal. Kita tidak bermaksud menggiring pada pola pengkaplingan kasus-kasus korupsi untuk ditangani oleh ketiga lembaga ini, tetapi membangun sinergi melalui keterbukaan (transparansi) atas dasar kerjasama saling mendukung dan mengangkat integritas dan kebanggaan sesama lembaga penegak hukum yang diberi amanah untuk memberantas korupsi, hendaknya dijadikan pilihannya.

Selanjutnya, dalam alam demokrasi yang serba transparan dan dunia media masa yang seperti kita alami sekarang, dibutuhkan kearifan kita untuk melayani media; kita juga berharap jangan ada keinginan dari pihak manapun untuk memanfaatkan media untuk suatu kepentingan, bahwa satu diantaranya lebih berhasil dibanding lainnya.  Bukankah kita bangun kerjasama yang kompak, tanpa memandang, 'siapanya' tapi 'apanya' yang telah dihasilkan untuk bangsa tercinta ini ?.  Kondisi ini dirasakan publik, dimana pihak satu dengan yang lainnya, dalam menyampaikan informasi dan penjelasannya kepada publik melalui media, dengan menunjukkan kewenangan masing-masing, kurang pada upaya mencari solusinya terhadap permasalahan yang dihadapi.

Oleh karena itu, sebenarnya kita semua sebagai bangsa yang ingin merubah citranya didunia, yang masih memberikan penilaian negatif terhadap Indonesia, sebagai negara dalam daftar urutan 100 dari 183 negara yang diukur (Corruption Perception Index 2011, Transparency International Indonesia), yang  artinya masih jauh dari negara  'bersih' dari korupsi.  Banyak yang berharap dari para pemimpin pada tiga lembaga penegak hukum ini, terutama kepada pimpinan Polri dan pimpinan KPK, untuk selalu membangun semangat kerjasama yang paling hakiki, sebagaimana apa yang telah ditunjukan oleh para pahlawan bangsa, dengan 'pengorbanan yang tanpa pamrih'. Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun