Mohon tunggu...
Da'i Bachtiar
Da'i Bachtiar Mohon Tunggu... -

Kapolri, November 2001 - Juli 2005;\r\n\r\nDubes LBBP RI untuk Kerajaan Malaysia, Mei 2008 - Juni 2011;\r\n\r\nKetua Presidium LCKI, September 2005 - saat ini\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bentrokan dan Pahlawan ‘Demokrasi’

10 November 2012   00:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:41 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bulan November, kita akan selalu diingatkan akan suatu hari yang bersejarah bagi lahirnya negeri tercinta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu hari Pahlawan. Kadangkala terpikir oleh sementara tokoh, perlukah kita untuk selalu menyebutkan kata, NKRI, dengan penekanan pada pengertian dan pemahaman seluruh warga bangsa ini, tentang 'Negara Kesatuan'. Barangkali tidaklah perlu seluruh rakyat (warga bangsa) ini, mengerti dan memahaminya, cukuplah pada mereka yang tergolong kaum menengah keatas kita, yang jumlahnya konon menurut World Bank, sudah mencapai 57 juta orang, dan kalau setiap tahun bertambah 7 juta orang, maka pada tahun 2030, mencapai sekitar 190 juta orang. Saat itulah maka Indonesia, akan menjadi negara ke 7 dunia, yang dapat menggerakkan perekonomian dunia.

Renungan ini diketengahkan kepada bangsa ini, betapa concern-nya para pemimpin bangsa ini, untuk mensosialisasikan suatu amanat konstitusi akan perlu dipahaminya keberagaman (pluralisme) bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara atas dasar 4 (empat) pilar, yaitu : Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika. Beratlah bagi mereka yang ditugasi untuk mensosialisasikan-nya, karena tidak saja materi yang abstrak, tetapi juga sangat kompleks dan luas jangkauannya, sehingga diperlukan gerakan nasional yang masif, dan sistematis, dan menyatu dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat itu sendiri. Artinya substansi 4 (empat) pilar itu, akan masuk dan 'mengalir' dalam seluruh sistem yang ada dalam tatanan kehidupan bangsa ini, seperti dalam sistem ketatanegaraan, sistem pendidikan, sistem  perpolitikan, sistem keamanan negara, sistem pertahanan, sistem perekonomian, sistem sosial budaya, sistem hukum dan semua sistem lainnya. Kita ingat dulu, dimasa berlangsungnya program pemerintah orde baru, penataran P 4 (Pedoman Penghayatan dan PengamalanPancasila), begitu luasnya gerakan ini, dari tingkat pusat sampai daerah. Ada suatu anekdot, sewaktu ditanyakan 'bagaimana hubungan Pancasila dengan UUD 1945', dan dijawab 'hubungannya baik-baik saja'.

Kita patut bersyukur dan berterima kasih kepada pendiri bangsa ini, kini kita hidup telah 67 tahun di alam kemerdekaan dalam naungan NKRI dengan kebersamaan hidup dalam kemajemukan (plurarisme). Tapi benar, dan sebenarnyakah kita berada dalam kehidupan kemajemukan dengan kehidupan harmonis tanpa gesekan dan benturan diantara kita. Generasi pendiri bangsa ini, telah pergi meninggalkan kehidupan bangsa ini, tapi di alam kemerdekaan ini, belum habis satu generasi. Kehidupan harmonis yang kita dambakan bersama, seperti yang diidamkan pendiri bangsa ini, masih terganggu dengan berbagai bentuk gesekan, benturan yang terjadi.

Berbagai kasus dari kadar yang rendah hingga yang tinggi, dimulai dari: tawuran pelajar, mahasiswa, penyerangan antar desa/kampung, sampai dengan konflik antar etnik, golongan, bahkan agama, dikenal dengan kasus Ambon, Poso, yang berkepanjangan, baru-baru ini terjadi di Sulawesi Tengah, Barat, Selatan dan di Lampung, dan kedepan entah dimana lagi.

Mengapa kasus seperti ini terjadi dan terjadi lagi, tidakkah kita sudah menyepakati, bahwa bangunan bangsa terdiri dari bersatunya berbagai suku bangsa, agama, kelompok, golongan, dengan keragaman budaya dan bahasa, menjadi satu Kesatuan (unity).  Barangkali kita perlu kembali melakukan introspeksi bangsa ini,  betulkah kini telah mengerti dan paham tentang 'Kesatuan' yang sudah kita sepakati itu ?. Untuk itulah sebenarnya, kita semua masih punya 'pekerjaan rumah' besar, yakni mengartikan dan memahamkan 'Kesatuan' ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Rakyat menunggu lahir dan tampilnya Pahlawan-pahlawan yang membawa misi bangsa.

Siapakah sejatinya mereka itu, adalah mereka yang jiwanya telah terpatri prinsip-prinsip demokrasi, yang memberi makna diri kita merupakan bagian dari banyak yang lain (rakyat), sehingga kekuasaan pada yang banyak (rakyat), tidak memaksakan kehendak dirinya (kelompoknya), dan terasa nyaman dalam banyak keragaman, serta tidak merasa terasing dalam lingkungannya.

Akankah hadir ditengah-tengah kelompok, lingkungan masyarakat diseluruh  penjuru Republik ini, tokoh-tokoh seperti itu, sehingga patut mereka itu disebut pahlawan ?, tidakkah justru yang muncul memang tokoh atau yang ditokohkan mereka, hanya untuk membela kepentingan kelompoknya saja, tanpa mempedulikan keberadaan dan kepentingan kelompok lainnya.

Inilah justru yang terjadi, munculnya tawuran, penyerangan, dan konflik yang berkepanjangan;  Itu terjadi, karena mereka punya tokoh-tokoh yang memimpin dan menggerakkan. Yang pada gilirannya aparat pemerintah, dalam upaya mendamaikan mereka, sibuk mencari para tokohnya.  Dan celakanya tokoh- tokoh itu didekati, diberi perhatian, karena terjadinya konflik, artinya korban sudah berjatuhan.

Adakah sentuhan kepada tokoh itu dikala damai (belum terjadi konflik) ?, barangkali ini juga yang perlu dijadikan renungan, sejauh mana, seluruh komponen bangsa ini, baik yang sedang berada dalam pemerintahan dan non-pemerintahan, membangun komunikasi dengan tokoh-tokoh disegala lapisan masyarakat, terutama masyarakat pedesaan (rural) dan kota (urban).  Tetapi terhadap tokoh-tokoh dari kelompok manapun yang memang benar-benar berperan dan memenuhi unsur pelanggaran hukum, hendaknya hukum harus ditegakkan dengan prinsip negara harus lebih kuat daripada kekuatan kelompok manapun.

Itulah pentingnya dalam memperingati hari Pahlawan tanggal 10 November, tidak hanya kita mengenang dan bersyukur serta berterima kasih kepada pahlawan-pahlawan bangsa kita, yang telah berkorban demi bangsa dan negara ini, baik mereka yang melahirkan kemerdekaan ataupun pahlawan yang telah mengisi kemerdekaan ini, seperti: pahlawan revolusi (korban G30S/PKI), pahlawan tanpa tanda jasa (para guru), pahlawan devisa (para TKI), dan sebutan-sebutan pahlawan lainnya, termasuk lahirnya 'pahlawan demokrasi', yang kita inginkan dan mampu mengawal kehidupan bermasyarakat dalam bingkai plurarisme.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun