Apa yang terjadi? Isi restaurant itu hanya dihadiri tamu-tamu dari Indonesia sendiri, seperti Gubernur dan Istri, Ketua DPRD dengan Istri, para Bupati/Walikota masing-masing dengan istri, sedangkan tamu dari luar hanya seorang Menteri Malaysia dengan Istrinya, yang kebetulan keduanya turunan dari provinsi itu. Cerita lainnya, pada suatu peresmian bantuan bangunan Sekolah Dasar di salah satu Kabupaten Provinsi Sumbar, bangunan itu bantuan dari masyarakat di Malaysia kepada korban gempa Padang pada tahun 2009, dalam acara disajikan tarian khas daerah itu, dengan menggotong “patung”; selama dalam pertunjukan Bupati bercerita bahwa tim tari dengan patung itu telah dibawa keliling di Eropa dan Amerika, dalam rangka mempromosikan pariwisata daerahnya; sudah berapa turis yang datang ke daerah ini? Jawaban Bupati, katanya, “belum ada dampaknya”.
Dari cerita pengalaman di atas, nampaknya ada sesuatu yang perlu kita ubah untuk promosi wisata ke negara sasaran, tidak lagi mengutamakan dengan mengirimkan tim kesenian, baik dari pusat maupun daerah-daerah, karena akan memakan ongkos yang besar dan hasil yang kurang, kecuali hanya untuk jalan-jalan atau membuka wawasan tim kesenian ke mancanegara. Tapi promosi wisata melalui media setempat, nampaknya akan lebih efektif dan biaya yang juga relatif tidak besar. Persoalannya, siapkah kita untuk tidak “jalan-jalan” ke luar negeri dibiayai negara (APBN / APBD)? Barangkali bila mau berubah, maka perubahan ini merupakan bagian dari “revolusi mental”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H