Dalam konteks siber misalnya, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mencatat selama tahun 2018 Indonesia mengalami 232,45 juta serangan. Sementara berdasarkan penelitian Forst & Sullivan yang diprakarsai Microsoft pada 2018, kejahatan siber di Indonesia bisa menyebabkan kerugian mencapai 34,2 miliar dollar AS atau setara Rp 478,8 trilun.
Perang atau ancaman nonmiliter ini berlangsung tanpa adanya bentrokan fisik, bahkan orang yang kalah tidak merasakan bahwa dirinya sudah berada dalam posisi yang ditaklukkan.
Inilah peperangan Generasi Keempat (4 GW). Peperangan asimetris, peperangan nonlinier yang menggunakan seluruh sarana dan prasarana yang ditujukan, terutama untuk menghancurkan kemampuan bertempur musuh. Pemahaman peperangan generasi keempat ini identik dengan perang semesta (Prabowo, 2009).
Karena itulah Pasal 4 ayat (2) UU No. 23 tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional (SDN) untuk Pertahanan Negara menjelaskan ada tiga bentuk ancaman yang harus diantisipasi. Yaitu ancaman militer; ancaman nonmiliter; dan ancaman hibrida (keterpaduan ancaman ancaman militer dan ancaman nonmiliter).
Dalam buku Konsep Sistem Pertahanan Nonmiliter, Suryokusumo dkk (2016) menjelaskan perang nonmiliter jauh lebih kompleks dan rumit mengingat dimensinya tidak terbatas tetapi bisa mencakup berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pihak yang terlibat dalam memperjuangkan kepentingannya bertumpu pada aksi-aksi nonkekerasan bahkan menggunakan pihak ketiga (proxy war).
Fenomena Economic Hit Man seperti pengakuan Jhon Perkins, lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, serta Timor Timur adalah contohnya nyata peperangan nonmiliter yang kita hadapi, dan sayangnya, kita beradap pada pihak yang kalah. Dalam bahasa Suryo Prabowo, TNI tidak pernah kalah dalam pertempuran, tapi heart and mind (hati dan pikiran) penduduk tidak dibina agar berpihak Pemerintah Indonesia. Akhirnya Timor-Timur lepas.
Ancaman nonmiliter ini harus disadari oleh semua anak bangsa. Karena itu rakyat dengan profesi apapun harus sadar adanya tanggung jawab kebangsaan yang diemban. Sehingga semua keputusan yang diambil harus mempertimbangkan Merah Putih. Terutama di kalangan Pemerintahan dan para politisi.
Hal ini penting untuk diingatkan. Karena sampai ada ekonom yang sempat menjadi pejabat tinggi pernah mengatakan, "...nasionalisme sudah kuno, masukin saja ke dalam saku..." seperti disinggung Prof. Sri-Edi Swasono dalam artikelnya, Menegakkan Keberdaulatan Ekonomi Kita (2018).
Dalam konteks itulah, impor cangkul yang sempat dikesalkan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu misalnya, juga harus dianggap sebagai alarm alias peringatan keras. Bahwa, impor cangkul merupakan bentuk ancaman nonmiliter terhadap pertahanan negara. Betapa lemahnya kita sampai alat pertanian yang telah dikenal dan digunakan sejak dulu tersebut sekarang diimpor.
Apakah itu juga pertanda bahwa kondisi petani kita saat ini lebih memprihatinkan dibanding kehidupan Marhaen, petani yang ditemui Bung Karno di wilayah Bandung bagian selatan pada tahun 1920-an?
Tapi yang pasti, saat ini kita telah mencapai beberapa kemajuan namun kita harus jujur, kita masih tertinggal dalam ekonomi, ilmu pengetahuan dan berbagai sektor lainnya dari negara-negara berkembang dan maju lainnya.