"Hallo bou, selamat pagi, apakah bisa memasak ketupat untuk hari Sabtu, Bou?" tanyaku pada namboruku. Namboru adalah istilah kata bibi, adik ayah dalam bahasa Batak.Â
"Oh, lihat nanti ya, karena bou mau tanya teman bou buat sarang ketupatnya." jawab bouku.
"Bukannnya banyak yang jual sarangnya di pasar, bou? " kembali aku bertanya.
"Itu berbeda sarang ketupat lontong dengan sarang ketupat ketan." jawab namboruku.
"Ok, bou."
Penggalan percakapan singkat pada dua hari sebelum hari raya Idul Fitri. Kami berencana memesan ketupat untuk acara silahturahmi keluarga di Pondok Aren pada hari pertama Idul Fitri.
Keesokan harinya, aku memastikan pesanan ketupat tersebut namun pesan Whatsapp di hpku berdering. Sebuah kabar yang sungguh tak menyenangkan karena saudara yang akan kami kunjungi ternyata tidak ada di rumahnya. Aku merasakan kekecewaan namun tak mungkin ku batalkan pesanan ketupat itu. Aku menghargai usaha namboruku yang sudah membalas iya.
Aku menghibur diriku. Ketupat itu tetap ku pesan sesuai janjiku kepada namboruku. Tak apa ketupat itu bisa ku makan bersama keluargaku. Tak setiap saat namboruku berkata iya ketika aku memesan ketupat. Jadi, ini namanya ketupat keberuntungan.
Tepat sore hari Jumat, masuk sebuah pesan Whatsapp, saudara yang akan kami kunjungi ternyata mengatakan bahwa kami bisa berkunjung ke rumahnya di hari Sabtu sore. Wah, kabar sukacita yang tak disangka-sangka. Untunglah pesanan ketupat itu tidak ku batalkan. Benar-benar ketupat keberuntungan hahaha...
Keesokan paginya ketupat ketan itu telah mendarat dengan manis di atas meja makan. Kami siap membawanya. Keberuntungan berulang ketika saudaraku di Cibubur mengabarkan hendak datang ke rumahku. Aku menunggunya dan mengajaknya ke rumah Saudaraku di Pondok Aren.