Mohon tunggu...
DAHLIA PURNAMASARI UINJKT
DAHLIA PURNAMASARI UINJKT Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nama saya Dahlia purnamasari. Mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Book

Anak Semua Bangsa (1980)

4 Mei 2023   22:49 Diperbarui: 4 Mei 2023   22:55 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak semua bangsa adalah novel kedua dari rangkaian empat novel (tetralogi) karya Pulau Baru yang dihasikan oleh Pramoedya Ananta Toer. Diterbitkan pada tahun 1980 oleh Hasta Mika, Jakarta, novel ini setebal 353 halaman dan terbagi menjadi 18 bagian. Pada tahun 2006 novel ini dicetak ulang oleh Lentera Dipantara.

Tiga novel lainnya dalam tetralogi ini adalah Bumi Manusia, Rumah Kaca dan Jejak Langkah. Peristiwa novel ini berlangsung pada awal abad ke-20. Itulah sebabnya beberapa istilah asing (Belanda) digunakan. Untuk menjelaskan istilah ini, Pramoedya Ananta Toer menggunakan catatan kaki.

Jika novel Bumi Manusia diakhiri dengan tidak berdayanya Minke dan Nyai Ontosoroh yang tidak berdaya membela dan melindungi Annelies  dari penculikan  Maurits Malema, berbeda dengan novel Anak Semua Bangsa yang diawali dengan suasana duka mengenai datangnya telegram dari Belanda yang mengabarkan meninggalnya Annelise. Meninggalnya Annelise menjadi awal baru bagi Minke untuk tumbuh menjadi pemuda berpendidikan Belanda yang sebelumnya berorientasi pada pemikiran Belanda yang terpalajar, menjadi Minke yang sadar akan lingkunganya sendiri.

Apa yang dipuji oleh orang-orang terpelajar Belanda ternyata diremehkan oleh teman-teman dekat Minke seperti Jean Marais dan Kommers. Awalnya Minke tersinggung. Teman-temannya menggambarkan dia seperti seorang pelayan. Kritikan teman-temannnya mendorong Minke untuk pergi berlibur ke sebuah desa. Di desa ini Minke bertemu dengan seorang petani bernama Kromodongso.

Kromodongso adalah seorang petani yang tidak mampu mempertahakan tanahnya dari tangan serakah perkebunan gula. Musuh Kromodongso tidak hanya datang dari bangsawan  Belanda yang kaya, tetapi juga pejabat desa yang menginginkan posisi layak di pabrik gula. Minke menyadari bahwa petani-petani itu tidak memiliki pelindung. Kemudia dia memutuskan untuk membela para petani. Minke mulai menulis koran. Namun yang pasti surat kabar tersebut  dibiayai oleh para pemilik modal gula tidak mau menerbitkan tulisan-tulisan tersebut.

Jakob Sumarjo berpendapat bahwa novel Anak Semua Bangsa ini seolah menangkap gerak peristiwa berbagai tokoh di Bumi Manusia dengan penjelasan rasional tentang sifat dan karakter kolonialisme Belanda di Indonesia. Novel kedua ini pada dasarnya adalah analisis kritis tentang apa yang membuat hidup begitu sulit bagi banyak orang.

Korrie Layun Rampan mengomentari Anak Semua Bangsa berjudul "Kemenangan dalam Kekalahan". Dalam tulisan tersebut, Korrie menjelaskan bahwa Anak Semua Bangsa secara menyeluruh menggambarkan pokok-pokok dan masalah utama kebangkitan bangsa terjajah di awal abad ke-20. Munculnya ide-ide baru dalam gelombang perubahan memberi kekuatan sugestif yang kuat pada pemikiran Minke.

Tokoh ini mulai memahami dunia di sekitarnya dan berbagai masalah yang dihadapi bangsanya. Selain itu, Korrie juga memuji bab terakhir novel ini yang disebutnya sebagai drama yang luar biasa, sangat menyentuh dan manusiawi. Tulisan ini juga mengklaim bahwa jika di Bumi Manusia pengenalan ide-ide baru terbatas pada individu, ketika penderitaan yang dialami dan dijalani berhenti menjadi penderitaan individu, maka di Anak Semua Bangsa ini dipahami sebagai sistem sosial tersendiri yang menganut kekejaman dan melahirkan eksploitasi manusia.

Artikel lain tentang Anak Semua Bangsa ditulis oleh Gomar Yhames Gultom dan diterbitkan oleh Sinar Harapan. Gultom menjelaskan dalam tulisannya bahwa Anak Semua Bangsa menggambarkan tragedi dan nasib bangsa terjajah, tidak lagi hanya sebagai individu, tetapi sebagai kelompok. 

Hal ini terungkap dari pemahaman batin sang protagonis Minke, yang tidak lagi melihat sekelilingnya dalam dimensi terbatas, hanya dibatasi oleh kelemahan pribadi. Minke juga peka terhadap penderitaan masyarakat pribumi, bahwa penderitaan yang dialaminya sendiri atas kehilangan Annelies hanyalah sebagian kecil dari penderitaan yang dialami banyak orang dalam lingkungan kolonial.

Keith Foulcher juga memberikan analisis menarik terhadap novel Anak Semua Bangsa dan Bumi Manusia. Keith menggambarkan kemampuan Pramoedya memadukan gaya penulisan populer dengan bahasan penting dalam dua novel.

Dalam tulisan Wina Armada S.A. terbitan Pelita  menjelaskan bahwa novel Anak Semua Bangsa lebih kental, lebih menarik dan lebih seru. Namun, novel ini tidak bisa berdiri sendiri, karena Pramoedya tidak lagi menghadirkan tokoh-tokoh para pelakunya. Seperti pada tulisan lainnya, tulisan ini juga menyatakan bahwa tokoh Minke dalam Anak Segala Bangsa berusaha mengenal bangsanya sendiri. 

Minke dan tokoh lainnya melihat kemunafikan orang Eropa yang dulu sering dipuji Minke sebagai seorang terpelajar Eropa. Selain itu, Wina juga memuji bahasa yang digunakan Pramoedya. Wina menjelaskan bahasa yang digunakan Pramoedya halus, manis dan metodis.



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun