Mohon tunggu...
Dahlan J Gassing
Dahlan J Gassing Mohon Tunggu... ASN -

Optimis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Merombak Urutan Pancasila, Idealkah?

14 November 2017   19:00 Diperbarui: 14 November 2017   19:25 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bertahun-tahun lamanya setelah kelahiran Pancasila. Pada tanggal 1 juni 1945 saat Soekarno memperkenalkannya dalam sidang Badan Penyelidik Usaha -Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Urutannya tidak pernah dipermasalahkan. Hanya redaksi sila pertama versi Piagam Djakarta yang menjadi perdebatan, sampai pada akhirnya tercapai kompromi seperti redaksi dan urutan Pancasila seperti yang kita lihat sekarang ini. 

Tapi pasca peringatan Hari Pahlawan tahun ini, sebuah ide untuk merombak urutan Pancasila muncul.  berawal dari kesalahan urutan pengucapan  Pancasila oleh seorang Gubernur, maka muncullah ide untuk merombak urutan Pancasila. Idenya adalah mendekatkan urutan sila kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan sila pertama : Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Sang Gubernur, maraknya aksi terorisme, radikalisme dan aksi kekerasan lainnya di tanah air salah satunya disebabkan jarak sila pertama dengan sila kelima terlalu jauh.  

Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan  Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu  Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Begitu urutan dalam mukaddimah UUD 1945.  

Kalimat penutup yang mengiringi sila terakhir menunjukkan visi dan misi utama sebuah alasan untuk membentuk negara kesatuan Republik Indonesia.  Untaian kaimat-kalimat yang disodorkan Bung Karno memiliki makna yangsangat hebat. Redaksi yang digunakan juga sudah sangat canggih. 

Urutan kepentingan juga sudah terwakili dengan sangat sistematis. Sehingga alasan mendekatkan sila pertama dan kelima hanya karena radikalisme seperti membuat semakin jauh panggang dari apinya. Radikalisme seharusnya sudah dapat dilawan dengan mengagungkan  kemanusian yang adil dan beradab. Terorisme tidak perlu dilakukan jika setiap warga negara memandang kemanusian lebih mulia dari harga diri itu sendiri. 

Dan pada endingnya saat terorisem, radikalisme dan aksi-aksi kekerasan lainnya menjadi nol, maka kita semua dapat memiliki daya dan dana yang cukup untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tenaga tidak perlu terkuras habis mengurusi terorisme, konsentrasi tidak perlu terbuyarkan dengan radikalisme dan puncaknya stabilitas kondisi dapat  memberikan jaminan pencapaian perwujudan keadilan sosial.     

Permasalahan utama tentang Pancasila bukan pada urutan, melainkan pada pengamalan. Urutan Pancasila sudah ideal, namun pengamalan nilai-nilai Pancasila yang tidak ideal. Pncasila tinggal urutan tulisan yang dibacakan di upacara-upacara bendera. Semua peserta upacara mengikuti bacaan saat diucapkan. Pembina upacara membacakan , peserta menirukan. Pemimpin melupakan Pancasila, rakyat juga mengaburkannya. 

Hukum aksi reaksi terjadi. Kejadian kesalahan pengucapan Pancasila sudah sering dipertontonkan oleh public figur di negeri ini. Dan itu sudah cukup memberikan gambaran di mana Pancasila disembunyikan oleh mereka.  Rakyat hanya bisa pasrah dan bertanya : kalau pengucapan saja salah, bagaimana pengamalannya?. Kalau pejabat saja kurang memahami, bagaimana rakyatnya?. 

Pancasila memang sudah teruji kesaktiannya pada peristiwa-peristiwa yang dilaluinya. namun bukan mustahil jika Pancasila akan mati dibumi pertiwi ini. Karena sesakti bagaimanapun Joko Tingkir (Sultan Hadiwijaya) sang Pendiri kerajaan Pajang, mampu bertarung dan membunuh dua binatang sakti di zamannya, toh pada akhirnya sang Sultan telah wafat. Kerajaan Pajang hanya tinggal kenangan.

Demikian halnya dengan Pancasila. Meski Pancasila tidak berwujud makhluk yang bisa mati. akan tetapi sejarah juga telah mengajarkan bagaimana berbagai ideologi-ideologi yang pernah hebat di zamannya telah pergi mendahului kita. Perawatan yang kurang, pemahaman yang kurang, serta pengamalan yang setengah hati telah menjadi faktor utama hancurnya sebuah ideologi. Dan bukan mustahil jika kematian Pancasila dapat terjadi di pangkuan Ibu Pertiwi yang tercinta, jika kita semua tidak mampu merawat dan mengamalkannya.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun