[Sumber gambar: http://belanegarari.com]
Alkisah sebuah negara yang kaya akan jenis bahan tambangnya. Wilayahnya terbentang dari Sabang sampai Merauke. Kekayaan mineralnya tak perlu lagi diragukan, tersebar mulai dari Pulau Sumatera, Bangka-Belitung, Jawa, Nusa tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Di Martabe (Sumatera Utara) kita akan jumpai emas, begitu pula di Pongkor (Bogor, Jawa Barat), Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Nikel tersebar di Sulawesi dan Maluku. Timahnya yang sungguh berlimpah di Pulau Bangka-Belitung. Tidak ketinggalan Aluminium juga ada di tambang bauksit Pulau Bintan dan Singkawang (Kalimantan Barat). Pasir Besi terhampar luas di pantai selatan Pulau Jawa. Mineral tembaga juga dimilikinya, di Nusa Tenggara dan Papua. Negara ini bernama INDONESIA.
[sumber gambar: http://saripedia.wordpress.com/]
Industri Pertambangan di Indonesia mulai berkembang pesat sejak Soeharto naik menjadi Presiden Indonesia. Di awal pemerintahannya, diterbitkan dua peraturan perundang-undangan penting yang menyangkut pertambangan: UU nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan UU nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Disinilah pertambangan mulai berkembang pesat, kas Negara yang pada mulanya kosong pun tak menghambat perkembangannya karena ditopang modal asing. Modal asing banyak yang masuk ke dalam negeri, DPR sepakati kontrak karya dengan beberapa perusahaan tambang luar negeri: PT Freeport untuk penembangan tembaga di Timika Papua, PT Newmont di Nusa Tenggara, dan PT INCO (sekarang bernama Vale) untuk penambangan nikel di Sorowako, Sulawesi Selatan. Produksi bahan tambang pun meningkat pesat yang sebagian besar darinya diekspor ke luar negeri.
Asal Mula Peningkatan Nilai Tambah
Berpuluh-puluh tahun disadari atau tidak sebuah ironi besar terjadi dalam Industri Pertambangan. Bahan galian mentah yang dikeruk dari bumi Indonesia diekspor dan didatangkan kembali ke Indonesia dalam bentuk barang jadi dengan harga yang berkali-kali lipat dari harga saat diekspor. Diekspor dalam masih bercampur tanah dibeli lagi dalam bentuk barang jadi: mesin, alat makan, kabel, alat elektronik dll. Sungguh ironi, Indonesia telah menjual tanah airnya sendiri. Pasal 33 UUD’45 mengamanatkan kepada Negara bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Berdasarkan pertimbangan di atas, 12 Januari 2009 Pemerintah mengesahkan UU nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan ini mengatur bahwa harus ada peningkatan nilai tambah bahan galian di dalam negeri sebelum diekspor. Kemudian untuk mendukung hal itu, PP no 23 tahun 2012 diterbitkan yang berisi tentang harusnya melakukan pengolahan dan pemurnian paling lambat sejak UU no 4 tahun 2009 berlaku yaitu pada 12 Januari 2014.
Tarik-Ulur Pelaksanaan Kebijakan Peningkatan Nilai Tambah
Seiring berjalannya waktu, ternyata tidak terlihat adanya keseriusan perusahaan-perusahaan untuk melakukan pembangungan fasilitas berupa smelter. Sekitar dua tahun sejak aturan berjalan justru terlihat gelagat yang buruk di Industri Pertambangan. Bahan galian tambang yang diekspor justru meningkat sangat pesat berkali-kali lipat baik nikel, tembaga, emas, bauksit, dan pasir besi. Perusahaan ternyata lebih memilih menggenjot produksi sampai batas waktu 5 tahun daripada bersiap-siap untuk membangun Smelter. Perusahaan menilai pembangunan smelter akan menghabiskan biaya tinggi sehingga lebih menguntungkan bagi mereka untuk meningkatkan produksi daripada membangun smelter. Pemerintah pun memberikan respon atas kasus ini dengan mengeluarkan Permen ESDM nomor 7 tahun 2012 yang isinya melarang ekspor bahan galian mentah. Industri pertambangan pun terguncang dan banyak yang bersiap-siap untuk PHK besar-besaran. Pendapatan devisa Indonesia pun menurun sehngga pemerintah mengambil jalan tengah dengan merevisi aturan tersebut padahal baru berjalan beberapa bulan. Permen ESDM nomor 11 tahun 2012 diterbitkan yang menyebutkan Perusahaan dapat mengekspor bahan galian asalkan mendapat rekomendasi dari Menteri ESDM. Rekomendasi ini diberikan setelah Perusahaan memenuhi persyaratan antara lain: status IUP Operasi Produksi dan IPR Clear and Clean, melunasi kewajiban pembayaran keuangan kepada negara, menyampaikan menyampaikan rencana kerja dan/atau kerjasama dalam pengolahan dan/atau pemurnian mineral di dalam negeri, dan menandatangani pakta integritas. Perusahaan pun mulai berinisiatif untuk mempersiapkan pembangunan Smelter agar dapat melakukan ekspor bahan galian. Sejumlah 168 perusahaan mengajukan rencana pembangunan Smelter.
[Sumber gambar: http://esdm.jatengprov.go.id]
Menjelang 12 Januari 2014 ternyata baru ada 10 perusahaan yang telah membangun smelter. (Sumber: Menteri ESDM RI, Jero Wacik) Pemerintah mulai berpikir ulang untuk menerapkan peraturan larangan ekspor tepat pada waktunya. Keraguan ini timbul karena pemerintah menilai belum semua perusahaan siap untuk melakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. PP nomor 1 tahun 2014 dan Permen ESDM nomor 1 tahun 2014 diterbitkan. Pemerintah merevisi batas kadar minimum konsentrat yang boleh diekspor menjadi tembaga 15 %. Pemerintah juga menunda larangan ekspor dan mewajibkan pengolahan pemurnian bahan galian sampai tahun 2017. Selain itu pemerintah juga menetapkan pajak progresif mulai 20% hingga 60% sampai tahun 2017. Pada 12 Januari 2017 sudah tidak diperbolehkan lagi ekspor bahan galian mentah. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah “Apakah peraturan ini efektif dalam peningkatan nilai tambah?” dan “Apakah pemerintah akan menunda lagi pelaksanaan secara menyeluruh atas UU nomor 4 tahun 2009 jika pada tahun 2017 nanti kondisi masih tidak memungkinkan?”
Refleksi Sederhana Peningkatan Nilai Tambah
Peningkatan nilai tambah mineral merupakan salah satu penunjang demi pembangunan Indonesia. Pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian bahan galian akan berdampak masif dan berkelanjutan bagi negara yaitu: terciptanya lapangan kerja baru, bertambahnya cadangan karena sumberdaya yang sebelumnya ekonomis akan menjadi ekonomis jika ada teknologi baru pengolahan bahan galian, dan bertambahnya pendapatan/devisa Negara karena nilai jual hasil pengolahan dan pemurnian akan bernilai lebih besar berkali-kali lipat. Di sisi lain kebijakan peningkatan nilai tambah ini dinilai terlalu dipaksakan karena beberapa pihak menilai kondisi belum terlalu siap dan khawatir bakal mengganggu kestabilan ekonomi karena investasi berupa infrastruktur dan suplai energi belum mencukupi.
Indonesia sudah terlalu menyia-nyiakan atas apa yang diberikan tuhan kepada bumi pertiwi Hasil tambang belum memberikan dampak yang signifikan bagi kemakmuran rakyat. Nilai pendapatan yang harusnya tinggi dari bahan galian yang dinilai malah dinikmati kalangan-kalangan tertentu dan bahkan uang yang harusnya digenggam kita dari mineral yang diolah dimurnikan malah berpindah ke tangan asing. Sudah cukup 40 tahun lebih kita terpedaya oleh kebijakan-kebijakan yang tidak memihak kepada rakyat dan tidak menguntungkan negara. Sudah cukup 50 tahun saja pasal 33 UUD’45 belum kita laksanakan secara maksimal untuk kemakmuran rakyat.
Pada tanggal 12 Januari 2017 pemerintah wajib menjamin pelaksanaan secara menyeluruh perundang-undangan yang berlaku dan tidak kompromi lagi dalam menanggapi keterlambatan proses persiapan menuju Indonesia tanpa ekspor bahan galian mentah. Kita butuh Presiden yang tegas hukum mirip Mantan Perdana Menteri Singapura yang berani menindak tegas dengan menghukum semua pihak yang melanggar dan mengkibuli kebijakan ini, tak peduli itu kwan, keluarga, konglomerat, atau bahkan tokoh bangsa sekalipun. Kita juga butuh Presiden yang nasionalis mirip Mantan Presiden Indonesia Ir Soekarno yang berani meneriakkan “Go to Hell with Your Aid” ketika ada negara lain berusaha mengintervensi kebijakan ini dan menginjak-injak harga diri Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri. Sudah saatnya Indonesia ini makmur atas apa yang dimiliki dan tidak bergantung pada kekuatan Asing. Kebijakan peningkatan nilai tambah bukan hanya tentang masalah ekonomi atau keuangan negara tetapi ini juga masalah kedaulatan atas kemerdekaan Indonesia sejak 70 tahun yang lalu untuk menjadi negara yang dapat berdiri diatas kaki sendiri.
[sumber gambar: http://sd.keepcalm-o-matic.co.uk]
Mari kita kawal bersama kebijakan peningkatan nilai tambah menuju “Indonesia yang Berdaulat atas Sumber Daya Alam nya”
“Kapan Indonesia Berdaulat atas Sumber Daya Alam nya?”
Pertanyaan di atas seharusnya dijawab oleh bangsa Indonesia sendiri.
SALAM
Ditulis di Kamar Sederhana di Salah Satu Sudut Kota Bandung, Jawa Barat.
14 Mei 2014 │ 19.30 WIB
Penulis adalah mahasiswa ITB jurusan teknik pertambangan angkatan 2011, alumni SMA 5 Surabaya, alumni SMP 1 Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H