Mohon tunggu...
Dahlan Latif Widiyanto
Dahlan Latif Widiyanto Mohon Tunggu... -

"... bukan secara kebetulan aku dilahirkan berbangsa Indonesia, bersuku bangsa Jawa dan beragama Islam, setidaknya semua itu dapat membantuku berdiri dengan benar di serba-serbi kefanaan dunia..."

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budayakan Keluar dari Tempurung

29 Agustus 2010   14:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:37 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masihkah kita ingat, berapa lama kita telah diajak untuk mengenal lingkungan di mana tempat kita tinggal? Bisa dikatakan pengenalan dan pengetahuan tentangnya juga kita peroleh sebelum duduk di bangku sekolah, atau di luar bangku sekolah? Oleh bapak atau ibu kita, saudara tua kita, kakek dan paman, selain juga guru dan kawan kita. Diawali dari lingkup keluarga sendiri, kemudian bertahap pada masyarakat tempat kita tinggal, desa atau kota, suku, agama, bangsa dan negara, sampai pada dunia dan alam semesta kita, berikut pada hidup dan matinya. Itulah mengapa dalam karakteristik suatu masyarakat yang sering mengkait-kaitkan soal kepribadian yang bisa diterima atau ditolak oleh lingkungan sekitarnya.

Kembali pada sejarahnya, bangsa kita diakui kebesarannya karena kepribadiannya, kepribadian yang bukan secara perseorangan semata, melainkan secara kolektif menjelma menjadi jati diri bangsa. Betapa bangsa ini dari Majapahit bukan hanya sebatas wilayahnya saja yang besar dan meluas sampai ke Madagaskar daratan Afrika, tetapi secara prinsip kepribadian yang kolektif, bangsa kita waktu itu memiliki kesadaran untuk menjadikan bangsanya lebih besar. "Yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo wani", "sadumuk bathuk, sanyari bumi", "dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung", banyak hal yang yang secara personal dan kolektif mampu memberikan motivasi. Di lain pihak didukung secara fair play oleh mereka yang berkuasa saat itu, dengan memotivasi dan memberikan apresiasi secara ksatria.

Sebenarnya bukan hanya sebatas terbuai akan kekaguman saja yang diharapkan, siapapun akan bangga dulu sekali kita pernah menjadi besar dan kuat. Nenek moyang kita yang pelaut dengan jiwa explorer-nya, tidaklah didapatkan begitu saja saat mereka dilahirkan di muka bumi ini. Jiwa-jiwa yang oleh orang-orang itu disebut sebagai kepribadian tak akan datang dengan sendirinya, tetapi karena dibentuk oleh keadaan dan kesadaran, dari keluarga, masyarakat bangsa dan negara.

Seringkali kita keblinger dengan alam yang begitu memanjakan kita semua. Kalau dahulu kala kita bisa mengelola dan mempertahankannya sebagai karunia yang belum tentu dimiliki bangsa lain, entah kenapa justru sekarang menjadikan suatu cita-cita tertunda. Tanpa sadar kita didramatisir oleh keromantisan "mangan ra mangan asal kumpul", "alon-alon asal klakon", dan petuah-petuah lainnya "andap asor" itu.

Bangganya berada di zaman keemasan, tapi itu dahulu, yang jelas kita sekarang berada di arena "kala bendhu", mari kita hayati dengan tidak terburu nafsu, "ojo kagetan, ojo gumunan, ojo dumeh", karena karena akan sia-sia saja segala yang "subur makmur gemah ripah loh jinawi" yang kita miliki itu tanpa adanya capaian untuk "tata tentrem kerto raharjo".

Segala yang ada dan kita miliki sekarang memang mesti kita nikmati dan syukuri, namun tanpa melupakan bahwa "dunia tak sebatas daun kelor", sampai kita tak sadar bahwasanya di dunia yang maha luas ini kita telah begitu jauh ketinggalan. Pandangan kita terlalu sempit dan terbatas pada kesenangan yang sudah di depan mata, hingga tanpa sadar secara perlahan dan pasti kita memposisikan diri sebagai "katak dalam tempurung" dari generasi ke generasi, melompat-lompat di tempat yang sama. Pernah suatu ketika, secara kebetulan, pandangan ini menerobos keluar dari tempurung, tapi yang didapat hanya mantram sakti "gumunan dan kagetan" saja, ujung-ujungnya menjadi orang lain dalam tempurung milik sendiri.

Tidak sebatas kekuatan dan keberanian saja untuk melompat keluar dari tempurung, kemudian melompat sejauh-jauhnya secara berulang-ulang di luar tempurung, segalanya akan sia-sia saja tanpa adanya kesadaran dalam diri anak seorang manusia. Sekali lagi mari kita ingat dengan baik-baik, tidaklah secara kebetulan saja Majapahit sampai ke Madagaskar dan nenek moyang kita yang pelaut, melainkan karena "yen wani ojo wedi-wedi, yen wedi ojo wani-wani" untuk melompat "keluar dari tempurung".

Salam Satu Jiwa.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun