Mohon tunggu...
Dahayu Vira
Dahayu Vira Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Berkuliah di Universitas Airlangga Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengurai Benang Merah: Keterkaitan antara Tingginya Angka Skizofrenia Berbasis Genetik dengan Kepercayaan terhadap Kejadian Supranatural di Indonesia

6 Juni 2024   19:03 Diperbarui: 6 Juni 2024   19:13 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Skizofrenia adalah suatu bentuk gangguan mental kompleks yang secara spesifik dapat memengaruhi pola pikir, persepsi, dan tindakan seseorang. Kondisi ini seringkali ditandai oleh adanya gejala kognitif yang mencakup berbagai aspek fungsi mental. Gejala kognitif dalam konteks skizofrenia ini meliputi gangguan pemikiran abstrak, keterlambatan dalam memproses suatu informasi yang diperoleh, penurunan daya ingat, dan kesulitan menafsirkan suatu masalah yang kompleks. Penyakit ini ditandai memungkinkan penderitanya untuk mengalami kesulitan dalam membedakan antara fantasi dan realita. Terdapat beberapa gejala dari penyakit ini, yang paling sering terjadi adalah mengalami kecemasan dan halusinasi. Halusinasi merupaka adanya gangguan persepsi yang menyebabkan seseorang mendengar, melihat,  atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Beberapa gejala spesifik skizofrenia yang lainnya meliputi adanya kesulitan berbicara, delusi kurangnya motivasi dan emosi yang cenderung tidak stabil. Penyakit  mental ini lebih sering ditemukan di lingkungan masyarakat terbukan dibandingkan dengan di lingkungan rumah sakit. Hal ini dikarenakan dukungan psikososial  dari orang-orang terdekat, serta diiringi dengan konsumsi obat-obatan sangat penting dalam mencegah gangguan skizofrenia.

Menurut penelitian, faktor genetik merupakan salah satu faktor utama dalam penyebaran angka kelainan skizofrenia pada masyarakat. Seseorang yang terlahir dari keluarga dengan skizofrenia berisiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit tersebut. Risiko seseorang menderita skizofrenia menignkat menjadi 40% apabila orang tersebut memiliki orang tua yang keduanya sama-sama menderita skizofrenia. Selain itu, kondisi pada masa kehamilan dan persalinan juga berpengaruh terhadap penyakit skizofrenia. Di Indonesia sendiri, terdapat lebih dari 19 juta penduduk usia di atas 15 tahun yang mengalami gangguan, dan 12 juta lebih mengalami depresi (Riskesdas, 2018). Selain itu, menurut data nasional tahu 2017 menunjukkan bahwa prevalensi skrizofrenia di Indonesia sebesar 0,17 persen dari seluruh rentang usia. Tingginya angka penderita skizofrenia ini selain dari faktor genetik, juga disebabkan oleh pengaruh lingkungan, seperti kurangnya kegiatan penyuluhan seputar skizofrenia, sehingga masyarakat cenderung menormalisasi hal tersebut dan berdampak juga kepada kepercayaan mereka terhadap hal mistis yang hingga saat ini masih marak terjadi di berbagai daerah di Indonesia.

Indonesia merupakan negara yang berbentuk kepulauan, serta memiliki beragam suku, adat istiadat, bahasa, dan agama. Adanya keberagaman tersebut dapat memengaruhi sikap maupun kebiasaan masyarakat dalam menjalani kehidupannya sehari-hari. Bagi masyarakat, tradisi merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka, karena sebuah tradisi dan kebudayaan mencakup keseluruhan yang kompleks seperti kepercayaan, norma, hukum, ilmu pengetahuan, serta kebiasaan dari suatu anggota masyarakat. Seluruh tradisi maupun kebudayaan tersebut sebagian besar memiliki sangkut paut dengan kepercayaan mereka terhadap kekuatan-kekuatan gaib dan spiritual yang diyakini telah mengakar kuat dalam budaya mereka selama berabad-abad. Selain itu, faktor lingkungan dan masyarakat sekitar yang menormalisasi hal tersebut dapat menghambat mereka untuk mencari bantuan profesional dan mengobati penyakit, sehingga penyebaran skizofrenia dapat  terus meningkat dan menyebar luas secara turun temurun.

Pada tahun 2021, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Pietkiewicz bersama dengan rekannya yang membuktikan bahwa terdapat hubungan antara budaya masyarakat dalam mempercayai hal supranatural terhadap gejala skizofrenia. Dalam studi ini, mereka mengungkap bagaimana pasien penderita skizofrenia tersebut mengalami gejala halusinasi, ketidakstabilan emosi, hingga ditahap seperti mereka sedang dirasuki dan hilang kesadaran. Namun, mereka cenderung menormalisasi hal tersebut dan meminta bantuan spiritual ke orang yang mereka anggap memiliki kemampuan spiritual yang baik seperti dukun dan paranormal, dibandingkan dengan mencari bantuan ke tenaga medis pada umumnya. Dalam studi ini, dapat disimpulkan bahwa orang yang berpotensi tinggi menderita gangguan skizofrenia cenderung lebih memiliki kepercayaan yang tinggi untuk meminta bantuan ke tenaga spiritual yang ahli dibandingkan dengan tenaga medis yang profesional. Hal ini juga dipengaruhi oleh masyarakat lingkungan sekitar, yang juga sudah mempercayai bantuan spiritual tersebut dari generasi ke generasi. Sama halnya dengan sebagian besar kasus pengidap skizofrenia di Indonesia, yang cederung mendapatkan dorongan dari pihak keluarga maupun masyarakat di lingkungan sekitar untuk menggunakan jasa dukun maupun "orang pintar" dibandingkan dengan tenaga kesehatan.

Meskipun kepercayaan tersebut sering dipandang sebagai sesuatu yang negatif bagi sebagian masyarakat, namun bagi beberapa masyarakat yang lain, memercayai hal supranatural ataupun mistis dianggap sebagai suatu hal yang mendatangkan kedamaian dan ketenangan batin. Tidak semua kegiatan supranatural digunakan untuk hal yang negatif, tetapi mereka juga melakukannya sebagai bentuk kegiatan mengucap syukur maupun mencari kedamaian dan ketenangan batin. Selain itu, budaya di Indonesia yang masih cenderung mengarah ke hal mistis juga  seringkali membawa masyarakat bersama-sama sehingga dapat memperkuat ikatan mereka, sekaligus melestarikan budaya yang sudah diwariskan oleh nenek moyang mereka. Namun, tentu adanya dampak positif yang diberikan dari adanya hal ini juga harus diimbangi dengan adanya kesadaran untuk menjaga kesejahteraan maupun mendukung kesehatan mental yang baik. Perlu dilakukannya pendekatan budaya secara sensitif agar dapat mendukung adanya penyembuhan para penderita skizofrenia pada masyarakat dan memberikan penyuluhan agar mereka dapat segera mengetahui gejala dan menjalani pengobatan mereka.

Skizofrenia adalah gangguan mental kompleks yang memengaruhi pola pikir, persepsi, dan tindakan seseorang, sering ditandai oleh gejala kognitif dan emosi seperti gangguan pemikiran abstrak, kecemasan, dan halusinasi. Faktor genetik menjadi salah satu penyebab utama penyebaran gangguan ini, dengan risiko yang lebih tinggi bagi individu yang memiliki riwayat keluarga dengan skizofrenia. Di Indonesia, prevalensi skizofrenia cukup signifikan, dan terkadang kepercayaan masyarakat pada hal mistis dapat memengaruhi cara mereka mencari bantuan dan perawatan. Penelitian menunjukkan bahwa seseorang cenderung mencari dukun atau spiritualis terlebih dahulu sebelum mencari bantuan medis profesional. Meskipun kepercayaan pada hal mistis kadang-kadang memberikan kedamaian batin, kita tetap harus meningkatkan pemahaman tentang kesehatan mental dan mempromosikan akses terhadap perawatan medis yang tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan pendekatan budaya-sensitif dan holistik. Namun adanya pendekatan ini harus dilakukan tanpa menghilangkan keaslian budaya masyarakat setempat agar budaya tersebut dapat terus diwariskan ke anak cucu mereka kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun