Mohon tunggu...
Dafid Riyadi
Dafid Riyadi Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Dasar di Kabupaten Bandung

Menyukai bincang-bincang pendidikan, sastra dan literasi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sistem Zonasi dan Pendidikan Gratis

26 Mei 2024   12:35 Diperbarui: 27 Mei 2024   20:08 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Memasuki bulan Mei dan Juni artinya gelaran rutin sekolah kembali diselenggarakan. Yaitu, penerimaan calon peserta didik baru. Kegiatan yang juga dihadapi harap-harap cemas bagi orangtua yang akan menyekolahkan putera puterinya ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dan untuk proses penerimaan peserta didik baru tahun ini masih menggunakan sistem zonasi. Meskipun menuai pro dan kontra, tetapi pemerintah tetap menjadikan zonasi sebagai prioritas pertama diterima tidaknya calon peserta didik baru di sekolah negeri.

Dengan semangat agar keberadaan sekolah dinikmati oleh masyarakat setempat, sistem zonasi dirasa ampuh dijadikan dasar penerimaan siswa baru. Tetapi penerapan sistem zonasi ternyata masih menyisakan permasalahan. Yang paling kentara adalah belum memenuhi rasa keadilan masyarakat terkait hak untuk mendapatkan pendidikan gratis. Penerapan sistem zonasi nyatanya menimbulkan kluster baru di tengah masyarakat yakni daerah spesialis sekolah swasta.

Disaat penduduk yang tempat tinggalnya berada dalam kawasan zonasi sekolah yang telah ditetapkan menikmati layanan pendidikan gratis, lain halnya dengan klaster baru tersebut. Mereka yang tinggal jauh dari sekolah negeri, harus rela merogoh kocek lebih dalam demi mendapatkan pendidikan, baik di tingkat menengah ataupun jenjang sekolah atas.

Disini saya tidak berbicara masalah kualitas sekolah. Seperti kita ketahui, banyak sekolah swasta yang memiliki prestasi dan layanan yang melebihi sekolah negeri. Tetapi saya berbicara mengenai masalah finansial. Karena bagaimnapun sekolah di sekolah negeri dan sekolah di sekolah swasta jelas terdapat perbedaan dalam hal keuangan sekolah. Jika di sekolah negeri, masyarakat tidak perlu mengeluarkan uang SPP, uang ujian, uang praktek dan lain sebagianya terkait dengan layanan pendidikan. Yang perlu dipersiapkan orangtua hanya untuk kebutuhan pribadi siswa, seperti seragam dan peralatan sekolah. Sedangkan di sekolah swasta, ada nominal-nominal yang harus dikeluarkan oleh orang tua, bahkan untuk sekadar biaya pendaftaran.

Hal ini jelas menimbulkan rasa ketidakadilan. Bukankah seluruh warga masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dalam hal kewajiban, seluruh warga sama-sama harus membayar pajak dan bentuk bentuk kewajiban penduduk lainnya. Tetapi ketika berurusan dengan hak, dalam hal ini hak mendapatka pendidikan, kluster yang saya maksud, tidak memperoleh hak yang sama sebagai warga negara.

Sebetulnya tidak ada masalah dengan penerapan sistem zonasi. Hanya saja perlu dipertimbangkan perbandingan jumlah penduduk dengan keberadaan sekolah. Begitupun dengan pemerataan sekolah. Karena di kawasan atau di daerah tertentu memiliki dua sampai tiga sekolah negeri, sedangkan ada beberapa daerah yang malah tidak memiliki sekolah negeri sama sekali.

Jangan dulu berbicara kualitas sekolah. Seperti kita ketahui, dulu orang tua bisa memilih untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah yang konon dilabeli embel-embel sekolah faporit. Sedangkan untuk saat ini, masyarakat diarahkan untuk menyekolahkan anaknya di sekolah terdekat. Jadi yang diperlukan saat ini adalah penambahan jumlah sekolah, terutama di kluster tadi, agar masyarakat di daerah tersebut bisa mendapatkan layanan pendidikan gratis seperti halnya masyarakat lainnya.

Mungkin tidak terlalu bermasalah bagi keluarga muda yang baru menyekolahkan satu anak, lalu bagaimana dengan orangtua yang mempunyai anak lebih dari satu? Maka biaya pendidikan yang harus dikeluarkan pun tentu akan lebih banyak. Apakah hal-hal seperti ini luput dalam pembahasan ketika akan meluncurkan sistem zonasi? Apakah memang yang menjadi dasar pemikiran hanyalah daerah perkotaan dimana jumlah sekolah negeri melimpah bahkan ada yang bersebelahan? Ataukah mungkin kluster ini dibiarakan ada, demi rasa keadilan bagi sekolah swasta?

Pertanyaan-pertanyaan yang  tentunya hanya bisa dijawab oleh pihak-pihak berwenang di bidang pendidikan. Demi rasa keadilan, demi pendidikan yang layak dan demi masa depan generasi muda bangsa Indonesia. Apakah akan ada solusi bagi kluster-kluster non sekolah negeri ini? Ataukah akan tetap dibiarkan seperti ini? Atau barangkali jika tidak ada kemungkinan membangun sekolah baru di kluster tersebut, setidaknya ada terbersit untuk memberikan subsidi pendidikan bagi mereka sebagai solusi. Semoga.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun