Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Khadafi
Muhammad Irfan Khadafi Mohon Tunggu... -

Kau tau teman,"bermimpilah, karna tuhan tidak akan pernah tidur"

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Genggaman Erat Cinta Fatamorgana

1 Oktober 2014   21:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:46 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gengaman Erat Cinta Fatamorgana

Karya : Muhammad Irfan Khadafi

“Terima Kasih”

Dengan buku novel di tangan kiriku, aku duduk di kursi berbahan beludru biru dekat pintu gerbong otomatis yang disandarkan membelakangi kaca besar di sebuah kereta listrik commuter. Tepat disamping kananku, Seorang ibu ber-daster agak kusut dan bolong-bolong kecil serta anak laki-lakinya yang berkaos merah dengan celana pendek itu duduk. Ibu itu memberikanku dua buah permen berwarna merah dan orange di dalam kaleng yang dipegang oleh kedua tangan kecil anaknya itu. Namun aku menolak penawaran tersebut. Sebab saat ini aku sedang tidak mood untuk ngemil ataupun makan. Selain itu, semua karena tenggorokanku ini yang agak sakit kalau makan. Bahkan sekedar mengemut permen yang manis rasanya itu saja butuh pengorbanan lebih. Dan hasilnya, sama sekali tak ada rasa. Hambar. Karena itu aku menolak penawaran dari mereka.

Aku kembali melanjutkan membaca novelyang dari tadi aku pegang di tangan kiriku. Sebelum berbicara dengan ibu tadi, untung saja aku telah menandai batas bacaanku dengan menyelipkan telunjuk kiriku disela-sela novel yang begitu tebal ini. Sebab, novelitu sama sekali tidak ada pembatas untuk para pembacanya.

Kereta ini semakin melaju kencang melawan angin yang tetap bertahan di udara. Itu dapat ditebak dari hasil suara gesekan antara rel dengan roda kereta listrik ini yang setiap detiknya pasti ada suara yang timbul.

“gdug,,gdug,,gdug,,gdug”

Suasana menjadi gelap gulita secara tiba-tiba. Entah mengapa. Aku tak bisa membaca sedikitpun kata yang ada di novel ini karna keadaan gelap. Hanya beberapa detik suasana berubah dengan cepatnya. Kulihat kembali kaca lebar yang ada tepat di hadapanku. Penampakan alam terbentang luas di mataku. Seolah-olah aku seperti terbang di udara yang selalu menggoyang-goyangkan pohon kesana kemari tak tentu arah. Kereta yang ku naiki ini sekarang berada tepat di atas jembatan rel yang menghubungkan kembali dua tanah yang terpisah cukup jauh.

Namun keindahan dunia yang fana ini amatlah sebentar. Ibaratkan kita menikmati angin yang berhembus sepoi-sepoi dan dengan sangat cepat angin itu berlalu. Seperti itulah perumpamaan dunia ini. Baru saja aku menikmati indahnya alam, namun itu sangat cepat berlalu. Punah. Kemudian berganti latar menjadi tanah yang berwarna kecokelatan. Perjalanan ini begitu melelahkan dan juga membuat pinggang serta leherku ini pegal. Walaupun tempat duduk yang ku duduki ini sangatlah empuk dan juga tersedianya fasilitas air conditioner yang begitu dingin, namun daging yang membalut tulang dudukku ini tetap saja merasa kepanasan.

Aku sungguh bosan. Bosan terhadap banyak kata yang berjejer panjang di setiap kertas novelku ini. Padahal jarang sekali aku bosan terhadap kata-kata. Apalagi terhadap buku yang disebut novel itu. Aku mengadahkan wajah ke arah sekitar. Gerbong ini sangat penuh. Sehingga banyak sekali orang yang rela berdiri tegak berjam-jam hanya untuk sampai ke tempat tujuan mereka masing-masing. Tetapi yang anehnya, disamping kiriku ini masih ada satu kursi yang kosong. Tidak ada seorangpun yang mendudukinya. Kenapa salah satu dari mereka tidak ada duduk di sini? Apa mungkin mereka tidak melihat bahwasanya kursi ini kosong? Tapi sepertinya kurang masuk akal kalau mereka dengan jumlah yang begitu banyaknya sama sekali tidak melihat kursi ini kosong.

“Saya boleh duduk disini?”

Suara wanita yang tiba-tiba datang membuatku merespon cepat melihat ke arahnya. Wanita berbalut daging itu datang dengan paras sangat cantik. Dengan shall bermotif garis putih-hitam yang menghiasi bagian belikat nya serta jilbabnya yang berwarna pink itu membuat ia semakin menarik bagiku. Siapakah gerangan? Apakah wanita itu adalah bidadari yang di turunkan tuhan hingga menembus bagian atas gerbong ini, hanya untukku?

“O, Silahkan,,” ucapku.

Wanita itu pun duduk di samping kiriku. Rambutnya yang hitam pekat bertebaran ke segala arah sehingga mengenai wajahku. Bau yang berasal dari rambutnya itu begitu wangi. Membuat bulu-bulu hidungku menjadi kecut karna bau rambutnya yang sangat menyengat itu. Karna merasa bosan dengan novel, aku masukan novel yang kupegang ke dalam tas sandang berwarna coklat miliku. Kemudian meletakan tas tersebut di atas pangkuan paha. Lalu dari sekian lama kami terdiam,

“Mau kemana?” tanya nya.

“Sa, Saya? Saya mau ke,,ke kamar kecil”

“Apa, Kamar kecil?”

Dia tertawa kecil dan merasa heran pada jawabanku. Terlihat dari raut kedua matanya yang indah itu. Kerah bajuku mulai basah dengan keringat karena grogi. Kestabilan Pikiranku buyar. Jantungku berdetak tak karuan. Seharusnya aku tidak mengatakan itu. Tapi entah mengapa tiba-tiba jawabanku bisa senganar tadi.

“Oh bukan-bukan. Maksudku, aku hanya ingin memesan teh dingin”

Sialnya diriku. Lagi-lagi terulang kembali. Serasa apapun yang ku katakan selalu salah. Pikiranku hancur. Kikuk. Namun berbalik arah dengan pikiranku sekarang, hati ku tetap merasa bahagia dan senang walaupun pikiran hancur lebur.

Aku langsung memalingkan wajah dari hadapan wanita itu. Menepuk jidad berulang kali. Sesekali aku melirik wanita itu. Sepasang matanya yang indah itu melihat-lihat sekitar. Entah apa yang ia cari. Namun tiba-tiba terdengar.

“Hmm,, mbak saya pesan 2 teh dingin, ya. Nih sisanya buat mbak aja.”

Kulihat wanita itu mengajak seorang nenek tua bicara. Nenek yang berada tak jauh dari depan tempat duduk wanita tersebut. Namun, Nenek tua itu tidak mendengar ucapan wanita tersebut. Benakku bertanya-tanya “Kenapa nenek tua itu tidak mendengarnya?” Atau mungkin karena pendengarannya yang kurang jelas sehingga nenek tua itu tidak mendengar ucapan wanita ber-shall itu sama sekali. Ah sudahlah. Lagi pula aku ini siapanya wanita itu. Kulihat kembali ketika nenek tua itu melihat kearah kerumunan, wanita itu hanya menaruh uang dan mengambil sendiri 2 teh dingin.

Wanita itu menyuguhkan teh dingin ke hadapanku yang ia beli dari nenek tua tadi.

“Terima kasih”

Kemudian aku raih teh tersebut dengan tangan kananku. Ia tersenyum padaku. Dan akupun membalas senyumnya dengan senyuman juga. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba datang menyerang hatiku. Apa mungkin itu rasa cinta? Apa sepertinya aku jatuh cinta padanya? Jika benar aku mencintainya di sini, apa mungkin cintaku ini kan abadi?

“hai, ada apa? Kok dari tadi bengong,”

“Oh, maaf. Gak ada apa-apa kok.”

Tanpa ku sadari ternyata tangan kananku masih tersangkut di gelas plastik bening yang berisi teh tersebut. Dan tangannya juga masih tersangkut sama sepertiku. Mungkin ia berbuat seperti itu karna takut teh nya nanti tumpah. Dengan cepatnya aku ambil teh dari tangannya yang begitu putih tersebut.

Kereta ini berhenti. Wanita itupun berdiri tegak. Merapikan tas sandangnya yang sempat berantakan. Pintu di dekatku itu terbuka dengan sendirinya.

“Aku duluan ya, senang mengenalmu. Ya, walaupun tempat tujuanmu saja aku belum tau. Tapi aku seperti sudah sangat mengenalmu.”

“a,a, iya.”

Aku tak bisa berkata yang lainnya selain itu. Rasanya mulutku susah sekali berbicara saat berada dihadapannya. Ia keluar bersama banyak orang lainnya. Ia sudah agak jauh. Karena rasa penasaranku yang sudah seperti gunung yang menahan isinya untuk keluar, aku berteriak sekuat mungkin agar wanita itu dapat mendengar suaraku.

“hey, tapi aku belum mengetahui siapa namamu,”

Sepertinya ia dapat mendengarku perkataanku tadi. Terlihat dari gerakan mulutnya bahwasanya ia sedang memberitau sesuatu. Tapi karna suara di dalam gerbong ini lebih keras, sehingga suara wanita itu tidak dapat aku dengar sedikitpun.

Aku teringat. Aku ambil kamera yang ada di dalam tas sandang kulit milikku. Kemudian aku mencoba memfokuskan lensa ke arah wanita itu. Tepat sekali sebelum aku ingin memfotonya, ia menoleh ke arahku kembali dengan senyuman yang menghiasinya. Dengan cepat aku pencet tombol yang biasa digunakan untuk memfoto. Klik. Pintu otomatis itu pun tertutup. Aku pun mencoba untuk memeriksa apakah di dalam memori ini tersimpan foto wanita ber-shall itu.

“Ah,, tidak mungkin. Ini tidak mungkin.”

Foto wanita itu sama sekali tidak ada. Yang terlihat hanyalah keadaan sekitar wanita tersebut. Namun ia tidak terlihat sama sekali di foto ini. Benakku bertanya-tanya, “Kemana wanita itu pergi”. Tiba-tiba tanganku sebelah kiri menyentuh sesuatu yang bersifat kaku. Secara spontan, penglihatanku menuju sesuatu yang bersifat kaku itu. Ternyata secarik kertas putih dengan tinta hitam dan juga foto yang menyertainya. Kertas itu ditulis tangan dengan sangat indahnya.

“Aku Sangat Mencintaimu, Dre.”

Aku sungguh sangat heran dengan isi surat ini. Entah bagaimana wanita itu bisa tau namaku tanpa aku beri tahu sedikitpun? Saat aku melihat fotonya, foto itu ternyata adalah foto wanita ber-shall itu. Aku merasa aneh kembali. Di foto tersebut wanita tersebut terlihat sangat jelas. Padahal saat aku memfotonya tak lama tadi, wanita itu sama sekali tak terlihat. Rasa heran ini sudah seperti sangat menggumpal, bulat utuh. Akupun memperhatikan kembali foto tersebut secara detail. Di ujung bawah sebelah kanan foto itu terdapat tulisan “Tahun 1998”. Ternyata foto itu sudah diambil sejak 2 tahun yang lalu.

***

“Apa yang telah ku bilang padamu, sudah bertahun-tahun bangku itu tetap saja kosong. Tidak ada yang berani menempatinya sama sekali.”

Suara lelaki berjas coklat yang berbicara dengan temannya itu terdengar sampai ke gendang telingaku. Kali ini aku tetap duduk seperti 3 tahun yang lalu dengan pakaian yang sama saat pertama kali aku bertemu dengan wanita itu dan juga di kereta yang sama. Aku masih ingat sekali wajahnya yang begitu mempesona. Lelaki berjas coklat itu melihatku dengan sangat dalam. Kemudian ia berbisik pelan di depan telinga temannya itu. Aku tak tahu apa yang mereka bicarakan. Tapi sepertinya ia sedang membicarakan diriku.

Secara tiba-tiba kereta ini mengeluarkan suara yang begitu mengagetkat banyak jiwa. Lampu berwarna merah darah itu berkelap-kelip setiap detiknya. Aku tidak tahu sedikitpun apa maksudnya semua ini.

“gubrraaaaakkkk”

Aku terbaring lemas dengan darah di bagian kepalaku. Tanganku yang terhimpit oleh besi-besi kereta sudah tidak bisa digerakkan lagi. Kedua tanganku seperti telah ditelan bulat-bulat oleh tumpukan besi. Apa ajalku datang sekarang? Apa mungkin tuhan akan memanggilku sekarang juga? Aku belum mempersiapkan diri sama sekali untuk bertemu dengannya. Kenapa engkau ingin memanggilku sekarang, tuhan? Aku masih belum puas dengan dunia ini.

Mataku mulai berkunang-kunang, tak jelas. Tampak oleh ku wanita ber-shall itu telah hadir tak jauh dari hadapanku. Ia menghampiriku. Ia menurunkan tubuh indahnya itu tepat dihadapan wajahku. Lalu ia berkata dengan senyuman yang pernah aku lihat darinya.

“Akhirnya, kau adalah temanku. Masuklah bersama-sama denganku untuk menjadi bahan dasar api neraka.”

Muhammad Irfan Khadafi

Kota Hujan, 30 september 2014

Tulisan Ini Juga saya posting di  wordpress saya,   dafichester.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun