“Membaca aku ada, menulis aku abadi.” Jika urusan membaca, para santri sudah terbiasa membaca Qur’an, hadis, tafsir dan lainnya. Tinggal yang perlu dilakukan adalah berkarya. kita bisa mencontoh Karl Marx, Douwes Dekker, Plato, Abu Hamid Al-Ghazali, mereka adalah orang-orang yang berhasil mempengaruhi orang lain dengan karyanya.
Di Indonesia, salah satu ulama besar yang terkenal di dunia, yaitu Syeikh Ihsan bin Dahlan Jampesi. Beliau terkenal dengan kitab syarahnya (Sirajut Thalibin) yang menjelaskan tentang karya terakhir Imam Al-Ghazali, Minhajul Abidin. Beliau adalah penulis yang cakap, bahkan karyanya dijadikan pegangan di luar dan dalam negeri. Beliau pernah berkata, “Orang yang menulis sesungguhnya telah meletakkan akalnya dalam tingkatan-tingkatan derajat dan kehormatannya di atas manusia lain.”
Namun, bukan berarti berkarya harus mempunyai pengaruh global. Maksudnya dengan berkarya kita bisa mengubah suatu kebiasaan atau budaya yang salah dengan mencontohkannya langsung, dan juga berkarya dapat melatih daya pikir dan daya pemahaman seseorang atas suatu isu. Berkarya juga tidak melulu menulis, sekarang sudah zaman digital, apa saja bisa dilakukan untuk menyebarkan dakwah Islam tanpa terhambat tempat dan waktu.
Zaman Digitalisasi Bagi Santri
Di zaman digital ini untuk mendapatkan informasi sangatlah mudah, tinggal search di Google saja sudah dapat ratusan hingga ribuan informasi dalam beberapa detik. Namun, karena itulah juga internet menjadi lemah dan berbahaya.
Bayangkan saja jika ada seseorang yang menyebar hoaks, dan orang yang membacanya terlanjur menganggap kalau semua yang ditulis di internet adalah kebenaran, maka kebohongan sekecil dan sebesar apapun akan dipercaya begitu saja.
Nah kalau sudah begitu bukan hanya penyebar hoaks yang salah, tapi masyarakatnya kita yang juga sudah sakit. Hal itu sudah menyalahi konsep balig, karena syarat manusia disebut balig itu bukan dari umurnya, tapi dari kemampuan membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Semakin mudah membagi informasi, semakin mudah juga hoaks menyebar. Maka di sinilah letak kontribusi santri. Kita sebagai seseorang yang belajar agama khususnya, harus tahu akan hukum-hukum Islam, tentang mana yang haram, halal, wajib, sunah, mubah, sahih, hasan, daif, dan lain-lain.
Kita harusnya, sebagai santri, menyebar di dunia internet untuk menghapus apa-apa yang salah dan jauh dari ajaran Islam dengan ajaran yang sesuai nabi yaitu Qur’an dan sunah. sertakan dalil-dalil sahih serta tafsirnya ketika dakwah agar orang tersebut kembali beriman, urusan dia bertobat atau tidaknya kita serahkan kepada Allah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Ar-Ra’d ayat 11)
Selain dari urusan hukum agama, kita juga bisa berdakwah tentang akhlak nabi Muhammad SAW dan sahabatnya, tentang bagaimana beliau tidur sampai bagaimana beliau makan dan tidur kembali. Semuanya ada contoh dalam hadis. Contoh sikap nabi kepada alam, nabi Muhammad SAW selalu mencontohkan untuk tidak merusak alam, karena Allah SWT berfirman di Q.S. Al-Araf ayat 56 yang menyatakan larangan merusak alam.
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.”
Namun, jika melihat keadaan saat zaman penjajahan sampai zaman sekarang, reformasi. Siapa pun penguasanya, pasti akan merusak alam berlebih. Dahulu,
Belanda terkenal dengan kerja rodi yang memaksa bumiputra menanam dan memaksa tanaman untuk tumbuh. Komoditas berjumlah besar juga dieksporkan untuk ditukarkan menjadi uang atau kekayaan fana lainnya.