Saat pertama kali membaca buku-buku Harun Yahya di perpustakaan kampus dulu, saya terkagum-kagum dengan argumen-argumennya yang seolah begitu meyakinkan. Sebagai seorang Muslim yang sedang belajar biologi, saya menemukan "jawaban" yang tampaknya memuaskan tentang perdebatan evolusi dan penciptaan. Namun seiring waktu, setelah mendalami baik sains maupun agama, saya menyadari bahwa pemikiran Harun Yahya justru mengerdilkan keduanya.
Mari kita bicara jujur. Penolakan membabi-buta Harun Yahya terhadap teori evolusi telah menciptakan dikotomi palsu antara sains dan Islam. Dia memaksa kita untuk memilih: percaya pada evolusi atau percaya pada Allah. Seolah-olah keduanya tidak mungkin berjalan beriringan. Bukankah ini bentuk pemikiran yang justru meremehkan kebesaran Allah?
Saya masih ingat bagaimana di salah satu bukunya, Harun Yahya dengan bangga menunjukkan fosil-fosil yang menurutnya membantah evolusi. "Lihat!" seolah dia berteriak, "Fosil ini sama persis dengan makhluk hidup modern. Mana bukti evolusinya?" Argumen yang terdengar meyakinkan, sampai Anda menyadari bahwa dia secara selektif hanya menunjukkan fosil-fosil yang mendukung argumennya, mengabaikan ribuan fosil transisi yang telah ditemukan.
Yang membuat saya prihatin, pemikiran seperti ini telah menyebar luas di dunia Muslim. Banyak yang menelan mentah-mentah argumennya tanpa sikap kritis. Padahal, jika kita membaca sejarah Islam, para ilmuwan Muslim terdahulu justru sangat terbuka pada observasi dan pemikiran rasional. Sejak kapan kita menjadi takut pada bukti ilmiah?
Bayangkan jika Ibn al-Haytham, bapak metode ilmiah dari abad ke-10, hidup di zaman sekarang. Apakah dia akan setuju dengan pendekatan Harun Yahya yang menolak bukti ilmiah demi mempertahankan interpretasi literal? Saya ragu. Ibn al-Haytham terkenal dengan ucapannya: "Pencari kebenaran bukan orang yang mempelajari kitab-kitab kuno... tetapi orang yang meragukan apa yang dia pelajari dan yang menyelidiki fakta."
Ironinya, sementara Harun Yahya mengklaim membela Islam, pendekatannya justru membuat banyak Muslim muda merasa harus memilih antara iman mereka dan pemahaman ilmiah. Saya sering bertemu mahasiswa Muslim yang mengalami krisis iman ketika mempelajari biologi evolusi, karena mereka telah diindoktrinasi bahwa menerima evolusi berarti menolak Allah.
Kita perlu berhenti berpikir bahwa Allah yang Maha Kuasa bisa "terancam" oleh teori ilmiah. Justru pemahaman kita tentang kompleksitas evolusi seharusnya menambah kekaguman kita pada kebesaran-Nya. Bukankah lebih menakjubkan membayangkan Allah menciptakan sistem yang begitu kompleks yang memungkinkan kehidupan berkembang, daripada membayangkan-Nya seperti tukang patung yang membentuk setiap spesies satu per satu?
Yang sering dilupakan adalah bahwa teori evolusi tidak berbicara tentang asal usul kehidupan atau eksistensi Allah. Ia hanya menjelaskan mekanisme bagaimana kehidupan berkembang setelah diciptakan. Sama seperti teori gravitasi menjelaskan bagaimana benda-benda berinteraksi, bukan siapa yang menciptakan gravitasi.
Sudah saatnya kita meninggalkan pemikiran dikotomis ala Harun Yahya. Islam tidak pernah takut pada ilmu pengetahuan. Sejarah peradaban Islam dipenuhi dengan ilmuwan Muslim yang dengan gagah berani mengejar pemahaman tentang alam semesta, karena mereka yakin bahwa mempelajari ciptaan Allah adalah bentuk ibadah.
Bagi generasi Muslim saat ini, tantangannya adalah bagaimana mengintegrasikan pemahaman ilmiah modern dengan keimanan, bukan menolak salah satunya. Kita perlu pendekatan yang lebih dewasa dan nuansa dalam memahami hubungan sains dan agama. Pendekatan yang mengakui bahwa kebenaran bisa datang dari berbagai sumber, dan bahwa kompleksitas alam semesta justru mencerminkan kebesaran Penciptanya.
Ketika saya melihat mahasiswa-mahasiswa Muslim yang ketakutan mempelajari evolusi karena pengaruh pemikiran Harun Yahya, saya merasa sedih. Mereka telah kehilangan kesempatan untuk mengagumi kompleksitas penciptaan Allah melalui lensa sains. Padahal, bukankah Al-Quran sendiri berkali-kali menyeru kita untuk mengamati dan memikirkan alam semesta?