Konsep gender lahir akibat dari proses sosiologi dan budaya yang berkaitan dengan pembagian peranan dan kedudukan antara laki laki dan perempuan dalam sebuah lingkungan masyarakat. Sebagian besar masyarakat menggangap peran sosial perempuan jauh tertinggal dan bersifat pasif dibandingkan dengan laki  laki dan hal ini tidak terjadi secara alamiah, tetapi akibat adanya konstruksi budaya. Budaya dan norma yang berlaku pada sebagian masyarakat indonesia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pekerja peremuan lebih banyak diperkerjakan di sektor domestik dibandingkan di sektor publik, meskipun setiap perempuan Indonesia memiliki hak untuk memilih menjalani peran di sektor domestik maupun di sektor publik.
Kesetaraan gender adalah seperti sebuah frase (istilah) "suci" yang sering diucapkan oleh para aktivis sosial, kaum feminis, politikus, bahkan hampir oleh para pejabat negara. Pada tataran praktis, istilah kesetaraan gender hampir selalu diartikan sebagai ketimpangan yang dialami perempuan. Oleh karena itu, istilah kesetaraan gender sering diasosiasikan dengan istilah-istilah diskriminatif terhadap perempuan, seperti: subordinasi yang menindas. Kekerasan dll. .Konsep gender timbul sebagai hasil dari proses sosial dan budaya yang terkait dengan pembagian peran dan posisi antara laki-laki dan perempuan dalam lingkungan masyarakat. Banyak masyarakat menganggap peran sosial perempuan jauh tertinggal dan bersifat pasif dibandingkan dengan lakilaki, namun hal ini bukanlah keadaan alami, melainkan hasil dari konstruksi budaya. Kesetaraan gender adalah konsep yang menekankan perlunya praktik yang merata dan peluang yang sama untuk semua individu, tanpa mengaitkan jenis kelamin mereka. Prinsip ini mencoba untuk melawan ketidaksukaan berbasis gender dan menciptakan komunitas di mana laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama, peluang yang sama, dan akses yang sama ke sumber daya dan kehidupan yang lebih baik.
Perkembangan dibidang ketenagakerjaan juga membawa dampak permasalahan, masalah tenaga kerja khususnya tenaga kerja perempuan saat ini terus berkembang dan semakin kompleks mengikuti perkembangan ketenagakerjaan. Pada masa perkembangan tersebut pergeseran nilai dan tata kehidupan akan banyak terjadi, menghadapi pergeseran nilai dan tata kehidupan, pengawasaan ketenagakerjaan dituntut untuk mampu mengambil langkah kedudukan laki-laki. Secara tidak langsung, hal ini teradopsi dalam lingkungan kerja, sehingga kedudukan perempuan seolah-olah dinomorduakan. Budaya yang kurang menghargai perempuan ini juga terdapat dalam dunia kerja. Tidak jarang perempuan mendapatkan perlakuan yang semena-mena dan hak-haknya seringkali tidak diperhatikan. Hal ini tentu menimbulkan kerugian bagi pekerja perempuan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa memang benar perempuan memiliki perbedaan jika dbandingkan pekerja laki-laki, misalnya pekerja perempuan membutuhkan cuti haid, melahirkan dan fasilitas menyusui, sedangkan pekerja laki-laki tidak. Namun, tidak bisa dimungkiri, perusahaan membutuhkan baik pekerja laki-laki, maupun pekerja perempuan. Pekerja perempuan mempunyai kelebihankelebihan jika dibandingkan dengan pekerja laki-laki, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian, idealnya tidak ada perbedaan perlakuan antara pekerja laki-laki dengan pekerja perempuan oleh perusahaan.
Konsep  laki-laki  yang  wajib  mencari  nafkah  dan perempuan  mengurus  rumah  tangga, merupakan salah satu penyebab masih sangat rendahnya rasio TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) perempuan Indonesia yaitu di  bawah  1  dan  lebih rendah  dari TPAK  laki-laki.  Dari  nilai  rasio TPAK tersebut  dapatmenunjukkan masih belum tercapainya kesetaraan gender di bidang ketenagakerjaan antara laki-laki dan  perempuan. Meskipun  demikian  perempuan  bekerja  yang bertujuan  untuk  memenuhi kebutuhan ekonomi terus meningkat walaupun proporsinya masih lebih kecil dibandingkan laki-laki. Perempuan terdoronguntuk lebih  dapat  mengekspresikan dirinya  dengan  berpartisipasi  di pasar kerja agar dapat membantu suami mendapatkan penghasilan tambahan.
Data menunjukkan bahwa TPAK perempuan di Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. misalnya, pada tahun 2023, rasio TPAK perempuan adalah 60,18% sementara laki-laki mencapai 86,97%. Hal ini mencerminkan adanya kesenjangan gender yang signifikan dalam akses ke pasar kerja.
Â
Salah satu hal yang menyebabkan persentase TPAK sangat berbanding jauh yaitu kesenjangan upah. pada tahun 2022, kesenjangan upah berdasarkan gender di Indonesia mencapai 22,09%, meningkat dari 20,39% pada tahun sebelumnya. Ini berarti bahwa rata-rata upah buruh laki-laki adalah 22,09% lebih tinggi dibandingkan dengan buruh perempuan. di tahun 2024, kesenjangan upah rata-rata per jam juga tercatat sebesar 17%, dengan laki-laki mendapatkan upah yang lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Ketimpangan gender dalam ketenagakerjaan di Indonesia dipengaruhi oleh norma sosial dan budaya patriarki yang masih kuat. Peran tradisional yang menempatkan perempuan sebagai pengurus rumah tangga menghambat partisipasi mereka dalam angkatan kerja. Masyarakat sering kali memandang pekerjaan perempuan sebagai sekunder dibandingkan dengan tanggung jawab domestik. Meskipun ada kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, pelaksanaan di lapangan seringkali tidak optimal. Kurangnya penegakan hukum dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi faktor penghambat dalam mencapai kesetaraan gender di tempat kerja. dalam konteks komparatif, jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Swedia atau Norwegia, Indonesia masih tertinggal dalam hal kesetaraan gender di tempat kerja. Negara-negara tersebut memiliki kebijakan yang lebih kuat dan sistem perlindungan yang lebih baik untuk pekerja perempuan.
Kesetaraan gender akan terwujud apabila tidak ada diskriminasi gender. Penanaman sikap pekerja keras harus ditanamkan kepada laki-laki maupun perempuan. Sebab, perempuan tidak dapat bergantung selamanya kepada laki-laki. Perempuan juga harus belajar untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, perempuan harus mempunyai keahlian. Pendidikan bukan hanya berfungsi untuk membentuk keahlian, tetapi juga sebagai kunci untuk mewujudkan kesetaraan gender di masyarakat, terutama dalam bidang pekerjaan. Melalui pendidikan yang optimal, perempuan akan memperoleh keahlian yang membuatnya dapat bersaing dengan laki-laki dalam bidang pekerjaan Terjunnya perempuan ke dalam bidang pekerjaan, menjadi seuatu bukti bahwa perempuan juga dapat menunjukkan eksistensinya dalam ranah pekerjaan yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki. Apabila profesionalitas perempuan dalam bidang pekerjaan telah diakui, maka perusahaan pun akan mempertimbangkan penghasilan yang sesuai dengan kinerjanya.