HAM masa lalu, khususnya yang terjadi pada masa Orde Baru.
Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang menguraikan tentang 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran menyisakan sejumlah PR besar bagi Indonesia. Sejak Presiden Prabowo Subianto dilantik dan resmi menjabat, pemerintahan baru yang dikomandoinya telah mencerminkan bentuk impunitas yang nyata terhadap PelanggaranCatatan tersebut menjadi satu perhatian yang serius, mengingat presidennya sendiri "diduga" terlibat dalam pelanggaran HAM berat masa lalu. Kegagalan untuk menghancurkan tembok besar penghalang penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat ini memiliki dampak besar terhadap penegakan hukum dan akuntabilitas aparat negara pasca-Reformasi. Oleh karena itu, implementasi keadilan transisi dan penghentian impunitas terhadap penjahat HAM era Orde baru menjadi sangat mendesak untuk dilakukan.
Dalam 100 hari pertama, pemerintahan baru Prabowo-Gibran menunjukkan indikasi yang kuat tentang upaya pemutihan terhadap berbagai kejahatan HAM pada masa Orde Baru. Kondisi ini semakin diperburuk dengan absennya upaya pemenuhan akuntabilitas negara, padahal institusi negara adalah pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan-kejahatan HAM tersebut. Berikut ini, setidaknya terdapat tiga peristiwa yang menegaskan upaya pemutihan ini berdasarkan laporan KontraS pada 20 Januari 2025.
Pernyataan Kontroversial Yusril Ihza Mahendra
Tepat setelah dilantik, pada 20 Oktober 2024, Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengeluarkan pernyataan yang terbilang kontroversial terkait dengan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Ia menyatakan bahwa dirinya menunggu arahan presiden terkait langkah penyelesaian ini, sambil menegaskan bahwa tidak perlu melihat ke masa lalu, karena bukti sudah tidak ada.
Pernyataan Yusril ini, menurut KontraS, bermasalah dalam dua hal. Pertama, pelanggaran HAM yang berat adalah kejahatan luar biasa yang diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Proses hukum untuk kasus-kasus ini sedang dan terus berlangsung, dengan berdasarkan penyelidikan pro-yustisia oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Tidak ada pihak, termasuk presiden sekalipun, yang berwenang mengintervensi proses penegakan hukum tersebut.
Kedua, penjelasan dalam UU Pengadilan HAM menyatakan bahwa pelanggaran berat HAM tidak memiliki kadaluwarsa. Meski peristiwa sudah terjadi untuk waktu yang lama, hal ini tidak menghapus kewajiban pidana terhadap para pelaku, sebagaimana seharusnya dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Sehari kemudian, pada 21 Oktober 2024, Yusril kembali melontarkan pernyataan yang semakin memperkeruh situasi. Ia menyatakan bahwa peristiwa Tragedi Mei 1998 bukanlah pelanggaran berat HAM, dengan mendasarkannya pada alasan, "tidak adanya genosida atau pembersihan etnis."
Pernyataan Yusril tersebut tidak hanya bertentangan dengan fakta penyelidikan Komnas HAM yang telah menetapkan peristiwa Mei 1998 sebagai pelanggaran berat HAM berupa Kejahatan terhadap Kemanusiaan, tetapi juga menunjukkan pemahaman yang keliru mengenai UU Pengadilan HAM. Berdasarkan Pasal 8 dan Pasal 9 UU Pengadilan HAM, pelanggaran berat HAM mencakup genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan sekadar pembersihan etnis (ethnic cleansing).
Mengaburkan Kebenaran dan Meremehkan Proses Hukum
Selain pernyataannya yang kontroversial, Yusril juga seolah meremehkan proses hukum yang telah berlangsung lama tapi belum membuahkan hasil. Pernyataannya yang mengatakan bahwa, "tidak ada pelanggaran berat HAM dalam beberapa waktu terakhir," bertentangan dengan fakta sejarah dan beberapa proses hukum yang hingga kini masih berjalan.
Padahal, kejahatan terhadap kemanusiaan pada bulan Mei 1998, seperti tindakan penculikan aktivis prodemokrasi dan kekerasan terhadap warga sipil, telah diakui sebagai Pelanggaran Berat HAM oleh Komnas HAM Republik Indonesia.
Sebagai tokoh pemerintahan yang berkedudukan sebagai Menteri, bahkan Menteri Koordinator, Yusril tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan bahwa sebuah peristiwa adalah pelanggaran HAM atau bukan. Fakta bahwa ia menggunakan posisinya sebagai menteri untuk menyampaikan informasi yang keliru menunjukkan adanya upaya sistematis untuk mengaburkan kebenaran dan melemahkan akuntabilitas hukum di negeri ini.