Jika kita melihat Islam, pasti yang terbayang dalam benak kita adalah agama yang penuh rahmat dan kebaikan. Memang benarlah bayangan itu dalam kenyataan, sebab Islam di Indonesia, sejak zaman pra-kemerdekaan telah memberikan sumbangsih yang sangat besar bagi Indonesia sebagai kekuatan pembebas dari ikatan dan jeratan kolonialisme Hindia Belanda.
Bahkan, apabila kita mundur lebih jauh lagi sejak kedatangan VOC pada abad ke-17, sejarah mencatat bahwa umat Islam-lah yang telah nyata-nyata memusuhi Belanda untuk tidak datang ke Indonesia. H. J. Benda menyatakan dalam bukunya yang berjudul Continuity and Change in Southeast Asia, Belanda tidak pernah berurusan dengan "mudah" saat berhubungan dengan umat Islam. Benda menerangkan,
"Sering sekali, konsolidasi ekspansi kekuatan mereka diancam oleh pemberontakan-pemberontakan lokal yang diilhami Islam, baik yang dipimpin oleh penguasa-penguasa Indonesia yang telah mengikui iman Nabi, atau pada tingkat desa, oleh ulama-ulama fanatik...."
Di antara banyak pemberontakan dan peperangan yang dilakukan oleh umat Islam kepada Belanda, kita dapat menyebutkan misalnya Perang Padri pada 1821-1837 di Sumatra Barat, Perang Diponegoro di Jawa pada 1825-1830, dan yang paling lama dan paling berdarah adalah Perang Aceh pada 1873-1912. Â
Dari fakta inilah, T. Ibrahim Alfian, salah satu sejarawan asli Aceh menyatakan kurang tepat untuk kita menyebut Indonesia dijajah Belanda selama 350 tahun. Mohammad Natsir, Ketua Umum Masyumi, menjelaskan bahwa pernyataan 350 tahun ini lebih tepat apabila ditujukan untuk sebagian kecil wilayah Indonesia, bukan seluruhnya.
Setelah mengamati heroisme umat Islam dengan jihad-nya, Snouck Hurgronje menjelaskan bahwa, "sebuah pemerintahan orang kafir pada hakikatnya tidak sah di mata Islam." Oleh karena itu, Belanda adalah musuh seluruh umat Islam pada masa itu. Umat Islam harus mengusir Belanda dari kepulauan Indonesia, sekalipun mereka baru berhasil setelah Perang Dunia II.
Kebencian umat Islam terhadap Belanda memang sangat mendalam. Hal ini terbukti ketika ada fakta sejarah bahwa umat Islam pernah membenci sekali pakaian, adat, dan sekolah ala Eropa yang dicontohkan Belanda. Deliar Noer dalam buku The Modernist Muslim Movement in Indonesia, bahwa bencinya orang Islam terhadap pakaian orang asing dan tingkah lakunya, dengan menarik, pernah dilukiskan oleh Presiden Sukarno saat ia ingin melangsungkan akad nikahnya pada 1921:
"Ketua masjid dengan seenaknya saja menolak meresmikan pernikahan (upacara perkawinan saya) karena saya sedang pakai. Ia berkata:Â 'Anak muda, dasi sepenuhnya adalah cara berpakaian orang Kristen dan tidak sesuai dengan adat-istiadat Islam kita.'
Baca juga: Ijtihad dalam Islam Berkemajuan: Pendekatan Ijtihad Kolektif dalam Menjawab Tantangan Zaman'Tuan,' saya membalas, 'Saya sadar bahwa dulunya seorang pengantin hanyalah memakai pakaian asli kita sendiri, sarong (sarung). Tapi ini adalah cara kuno. Hukum kini telah modern.'
'Betul,' bentaknya, 'tetapi kemodernan kita hanyalah boleh sejauh pengantin memakai celana dan leher baju terbuka.'
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!