Kejatuhan Bashar Al-Assad yang tampaknya hampir kini menjadi kenyataan yang tak terelakkan. Dimulai dengan serangan penuh kejutan dari faksi-faksi pemberontak yang berbasis di Provinsi Idlib, Suriah bagian barat laut. Kemudian, serangan besar-besaran terhadap rezim Assad dengan cepat mengubah peta peperangan. Serangan tersebut berhasil menggulingkan kota-kota besar, termasuk Aleppo, Hama, dan Homs, dengan sedikit perlawanan dari pasukan pemerintah yang semakin terisolasi.
Kejatuhan rezim ini merupakan titik balik yang sangat penting dalam sejarah Suriah era modern. Setelah ayahnya, Hafez Al-Assad, memimpin Suriah selama 29 tahun dengan tangan besi, Bashar Al-Assad naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 2000 dengan mewarisi struktur politik yang ketat dan represif.
Awalnya, masih terdapat harapan bahwa Bashar bisa membawa perubahan yang lebih terbuka dan sedikit lebih lunak dibandingkan dengan ayahnya. Akan tetapi, harapan tinggallah harapan, setelah terbukti dalam tindakannya saat menanggapi protes damai pada tahun 2011 yang memicu perang saudara berkepanjangan.
Rezim Assad pun dikenang sebagai pemerintahan yang sangat brutal dalam menanggapi setiap bentuk protes, oposisi, dan perlawanan. Dengan bantuan dari sekutu-sekutunya---khususnya Rusia dan Iran---Assad berhasil bertahan dan mengatasi sebagian besar pemberontakan yang terjadi selama bertahun-tahun. Rusia dengan kekuatan udaranya yang kuat, ditambah Iran yang mengirimkan penasihat militer serta dukungan kepada kelompok Hezbollah di Lebanon, memainkan peran utama dalam mempertahankan rezim Assad.
Namun, kali ini keadaannya sangat berbeda. Melalui serangan yang dimulai dari Provinsi Idlib, HTS dan kelompok pemberontak lainnya berhasil mengalahkan pasukan Assad dengan cepat, bahkan tanpa banyak perlawanan dari pasukan Assad.
Kota-kota besar yang sebelumnya berada di bawah kendali Assad, seperti Aleppo dan Homs, segera jatuh dengan sangat cepat. Serangan dari timur dan selatan yang juga didukung oleh faksi pemberontak ini secara efektif mengisolasi Damaskus, ibu kota yang merupakan pusat kekuasaan Assad.
Dalam waktu yang singkat, pasukan pemberontak berhasil memasuki Damaskus kota yang menjadi benteng terakhir rezim Assad. Kejatuhan ini menandai berakhirnya lima dekade kekuasaan keluarga Assad yang telah membentuk politik Suriah.
Dampak Kejatuhan Assad pada Kekuatan Wilayah dan Pengaruh Iran
Kejatuhan rezim Assad ini tentunya akan mengubah tatanan politik dan kekuatan di wilayah Timur Tengah, terutama sangat berpengaruh bagi Iran. Sebelumnya, Suriah di bawah kekuasaan Bashar Al-Assad memainkan peran penting dalam hubungan antara Iran dan Hezbollah.
Suriah merupakan jalur strategis untuk mentransfer senjata dan amunisi ke kelompok Hezbollah di Lebanon, serta sebagai tempat strategis bagi Iran dalam membangun kekuatan kawasannya. Kini, dengan runtuhnya rezim Assad, pengaruh Iran di kawasan ini akan mengalami pukulan yang telak.
Penyusutan kekuatan Assad juga berdampak pada Hezbollah, kelompok militan yang sangat bergantung pada support dari Iran. Setelah terlibat dalam perang selama satu tahun dengan Israel, posisi Hezbollah menjadi semakin menyusut, dan masa depan kelompok ini kini dipertanyakan.
Selain itu, kelompok-kelompok yang didukung Iran di wilayah lain, seperti Houthi di Yaman, juga terlibat dalam pertempuran intensif dan telah menjadi sasaran serangan udara terus-menerus.
Iran dan sekutu-sekutunya, yang membentuk apa yang disebut sebagai "Axis of Resistance", kini menghadapi kerugian signifikan. Faksi-faksi militan di Irak, serta Hamas di Gaza, kini harus beradaptasi dengan perubahan besar dalam geopolitik di kawasan ini. Semua ini memberikan dampak langsung terhadap situasi keseimbangan kekuatan di Timur Tengah, yang akan dirasakan dalam waktu yang lama.