A. Pendahuluan
Pemikiran Dr. Shabbir Akhtar yang disajikan melalui Yaqeen Institute for Islamic Research menawarkan sebuah analisis komparatif yang kaya antara pandangan Islam dan Kristen tentang Isa ('Isa ) serta implikasi etika dan teologis dari tokoh tersebut. Melalui pendekatan ini, kita dapat melihat bagaimana kedua tradisi agama Abrahamik ini memandang Isa, bukan hanya sebagai figur spiritual semata, melainkan juga sebagai teladan moral, pembawa ajaran, dan penghubung antara hukum agama, kasih sayang, serta keadilan sosial.
Dalam kajian singkat ini, kami akan menguraikan secara komprehensif pemikiran Akhtar dengan mengacu pada sumber-sumber Kristen (Bibel) dan Islam (Al-Qur'an). Selain itu, kami juga akan menyorot dimensi historis, etis, dan sosioreligius yang muncul dari wacana tersebut.
B. Konsep Penyembahan dan Pengikut: Muslim dan Kristen terhadap Isa
Dalam perspektif Islam, Isa ('Isa ) dihormati sebagai nabi dan pemimpin yang diutus kepada Bani Israil, tetapi bukan untuk disembah. Umat Muslim meyakini bahwa Isa adalah manusia pilihan yang menerima wahyu Ilahi, bukan representasi Ilahiah secara personal.
Sebaliknya, umat Kristen memandang Isa sebagai sosok yang tak terpisahkan antara kemanusiaan dan keilahiannya. Bagi mereka, Isa adalah "Firman yang menjadi manusia" (Yohanes 1:14) sehingga pengajarannya tidak dapat dilepaskan dari hakikat ilahinya. Dalam pandangan Kristen, etika Isa yang berpijak pada kasih (agape) terkait erat dengan statusnya yang ilahi.
Baca juga: Menghidupkan Warisan Salahuddin Al-Ayyubi: Pelajaran Berharga untuk Pemimpin Negara Muslim Modern1:14 Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepadanya sebagai anak tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran. (Yohanes 1:14 versi TB)
Menurut Dr. Akhtar, kaum Muslim mengkritik sebagian umat Kristen karena dianggap lebih menekankan penyembahan terhadap Isa ketimbang mengikuti ajarannya secara praksis. Sebaliknya, Muslim menekankan pengikutan ajaran Nabi Muhammad tanpa menyembahnya. Di sisi lain, umat Kristen menolak dikotomi ini dengan menegaskan bahwa kemuliaan dan keilahian Isa menjadi landasan moral untuk menjalankan etika kasih yang diajarkannya.
C. Kesinambungan Hukum dan Para Nabi dalam Pandangan Isa dan Islam
Isa, sebagaimana dicatat dalam Gospel Matius (5:17-20), menegaskan pentingnya hukum Taurat dan para nabi sebelumnya. Ini beresonansi dengan konsep Islam yang melihat kerasulan Muhammad sebagai kelanjutan risalah para nabi terdahulu.
5:17 "Janganlah kamu menyangka, bahwa aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. 5:18 Karena aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini, satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi. 5:19 Karena itu siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum Taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menduduki tempat yang paling rendah di dalam Kerajaan Sorga; tetapi siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah-perintah hukum Taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga. 5:20 Maka aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar dari pada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. (Matius 5:17-20 versi TB)
Dalam narasi Kristen, kabar gembira (Gospel) merupakan semacam "Taurat baru" yang diwahyukan langsung melalui perkataan dan kehidupan Isa kepada para muridnya. Sementara, dalam Islam, Al-Qur'an dipahami sebagai wahyu tertulis terakhir dalam bahasa Arab yang melengkapi dan menyempurnakan hukum-hukum sebelumnya.
Meskipun ada perbedaan konseptual antara Injil lisan yang ditekankan dalam Kekristenan awal dengan konsep wahyu tertulis dalam Islam, keduanya menyiratkan kesinambungan: Hukum Tuhan dan nilai-nilai moral yang dibawa oleh para nabi terdahulu tetap relevan. Dengan demikian, Islam dan Kristen sama-sama mengakui keterhubungan ajaran Isa dengan tradisi Yahudi sebelumnya.
D. Etika Cinta Kasih (Agape) dan Keadilan Sosial dalam Kristen dan Islam
Dalam kekristenan, etika Isa berpusat pada kasih tanpa syarat (agape), melampaui cinta kepada sesama yang seiman. Ajaran ini memuat ide untuk mencintai semua manusia, bahkan kepada musuh-musuh pribadi. Sementara dalam Islam, etika hukum harus ditopang oleh keadilan sosial yang kuat dan ditambah dengan belas kasih serta rahmat. Meskipun Islam tidak secara eksplisit mewajibkan mencintai musuh dengan cara yang sama seperti dalam kekristenan, Islam menekankan perlakuan adil dan bermartabat terhadap pihak yang berbeda-beda.
Akhtar menekankan bahwa perbedaan ini tidak bersifat saling menegasi. Islam mengakomodasi konsep keadilan dan kasih sayang, sedangkan Kristen memuliakan cinta kasih yang melampaui batas-batas sentimen manusiawi. Keduanya dapat dilihat sebagai spektrum nilai moral yang saling melengkapi dengan Islam menggarisbawahi pentingnya hukum dan keadilan dan Kristen menekankan cinta mendalam yang menerobos sekat identitas dan permusuhan.
E. Ikatan Iman di Atas Ikatan Darah: Isa dan Nabi Muhammad
Isa dalam Markus (3:31-35) menekankan ikatan spiritual di atas ikatan darah. Hal ini selaras dengan semangat Islam yang juga memprioritaskan persaudaraan iman di atas kesetiaan buta pada kekerabatan atau suku.
3:31 Lalu datanglah ibu dan saudara-saudara Isa. Sementara mereka berdiri di luar, mereka menyuruh orang memanggil dia. 3:32 Ada orang banyak duduk mengelilingi dia, mereka berkata kepadanya: "Lihat, ibu dan saudara-saudaramu ada di luar, dan berusaha menemui engkau." 3:33 Jawab Isa kepada mereka: "Siapa ibuku dan siapa saudara-saudaraku?" 3:34 Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekelilingnya itu dan berkata: "Ini ibuku dan saudara-saudaraku! 3:35 Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudaraku laki-laki, dialah saudaraku perempuan, dialah ibuku." (Markus 3:31-35 versi TB)
Nabi Muhammad pun menempatkan iman sebagai dasar utama pembentukan komunitas (ummah), meskipun beliau tetap peduli pada keluarganya. Dengan demikian, baik Isa maupun Muhammad telah mengubah paradigma dari loyalitas etnosentris menuju loyalitas berdasarkan iman dan nilai-nilai moral universal.
F. Konsep Murid, Sahabat, dan Pembentukan Komunitas Disiplin
Isa digambarkan sebagai pemimpin spiritual yang mengajarkan disiplin hukum moral kepada murid-muridnya (para "disciples" atau hawariyyun). Ia memiliki teman, murid biasa, murid rahasia, dan para pendukung yang membentuk satu komunitas belajar dan pelayanan. Tindakan Isa yang bersifat "pastoral"---menggembalakan umat, memberi teladan, dan mengatur perilaku mereka---memberi gambaran tentang pentingnya "disiplin" dalam membimbing komunitas.
Nabi Muhammad juga membentuk komunitas iman yang disebut sahabat (ashab) dan para pengikut yang didisiplinkan oleh wahyu ilahi. Meski terminologi berbeda, esensi yang muncul adalah bahwa baik Isa maupun Muhammad memimpin komunitas yang menanamkan kedisiplinan, ketaatan pada nilai moral, solidaritas, serta pembentukan karakter spiritual yang matang.
G. Tidak Ada Murid Isa Zaman Sekarang, tetapi Teladan Moral Tetap Berlaku
Akhtar menegaskan bahwa tidak mungkin seseorang menjadi murid Isa dalam arti historis hari ini, sebab generasi itu telah berlalu. Namun, inti ajaran moralnya dapat dan seharusnya diteladani.
Tentu manusia modern tak dapat memikul salib secara harfiah, tetapi dapat meneladani sifat-sifat moral Isa, seperti kejujuran, kasih pada orang asing, serta menolak kesaksian palsu. Hal ini berlaku pula bagi umat Islam yang menghormati Isa sebagai nabi dan teladan moral yang agung.
Di sisi lain, Akhtar mengkritik sebagian polemis Kristen yang mencemarkan nama Nabi Muhammad dengan fitnah dan kesaksian palsu. Perilaku semacam ini bertentangan dengan semangat ajaran Isa tentang kebenaran dan kasih sayang lintas iman. Ketaatan etis adalah tolok ukur nyata kesetiaan pada figur yang dikagumi, entah itu Isa atau Muhammad .
H. Inspirasi Pelayanan Sosial dan Kedermawanan
Isa yang dikenal sebagai penyembuh dan pemberi belas kasih menginspirasi banyak misi Kristen dalam bentuk pelayanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial. Aksi filantropis Kristen yang berpijak pada perintah Isa untuk mengasihi mereka yang terpinggirkan sangatlah lazim dalam sejarah penyebaran misi gereja.
Demikian pula dalam Islam, sifat rahmat Nabi Muhammad dan nilai-nilai Al-Qur'an (Qur'an 57:27; 9:128; 48:29) mendorong umat Muslim untuk bersikap welas asih, peduli terhadap fakir miskin, anak yatim, dan kelompok rentan lainnya.
Kemudian, Kami meneruskan jejak mereka dengan (mengutus) rasul-rasul Kami dan Kami meneruskan (pula dengan mengutus) Isa putra Maryam serta Kami memberikan Injil kepadanya. Kami menjadikan kesantunan dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya. Mereka mengada-adakan rahbaniah (berlebih-lebihan dalam beribadah). Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka. Akan tetapi, (mereka mengada-adakannya dengan tujuan) mencari keridaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Maka, kepada orang-orang yang beriman di antara mereka Kami berikan pahalanya dan di antara mereka banyak yang fasik. (QS Al-add: 27)
Sungguh, benar-benar telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, dan (bersikap) penyantun dan penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS At-Taubah: 128)
Nabi Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengannya bersikap keras terhadap orang-orang kafir (yang bersikap memusuhi), tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud (bercahaya). Itu adalah sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Taurat dan Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu makin kuat, lalu menjadi besar dan tumbuh di atas batangnya. Tanaman itu menyenangkan hati orang yang menanamnya. (Keadaan mereka diumpamakan seperti itu) karena Allah hendak membuat marah orang-orang kafir. Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS Al-Fat: 29)
I. Kepemimpinan Isa: Pelayanan, Kerendahan Hati, dan Teladan Politik
Isa menolak paradigma kepemimpinan yang menekankan kehormatan duniawi dan status sosial tinggi. Ia merendahkan dirinya, bahkan mencuci kaki para muridnya, sebagai simbol bahwa pemimpin sejati adalah pelayan bagi yang dipimpinnya.
Pola kepemimpinan ini juga tercermin dalam Islam, di mana Nabi Muhammad selalu bersikap lembut, mengutamakan kemaslahatan ummat, dan menolak kesombongan politik dan ekonomi apa pun.
Kedua figur ini, Isa dan Muhammad , menentang struktur kekuasaan yang menindas serta mendorong kepemimpinan yang berbasis kerendahan hati dan kasih sayang. Dalam konteks ini, Akhtar menunjukkan bahwa nilai universal yang terkandung dalam misi kenabian keduanya dapat menjadi pijakan etis bagi lintas komunitas iman.
J. Bagaimana Isa akan Memperlakukan Muslim di Masa Kini?
Beberapa organisasi Kristen lintas iman berupaya merefleksikan bagaimana Isa akan bersikap terhadap umat Muslim jika ia hadir hari ini. Mengacu pada karakter Isa sebagai penyayang, pengasuh, dan pendukung keadilan sosial, dapat disimpulkan bahwa Isa akan memperlakukan Muslim dengan rasa hormat, kasih sayang, dan pengertian.
Ia akan menghormati kepercayaan mereka, sebagaimana Allah telah menanamkan rahmat pada pengikutnya. Pertanyaan kritis muncul: Bagaimana Isa menilai perilaku sebagian politikus atau tokoh masyarakat Barat yang mengatasnamakan dirinya mengikuti ajaran Isa, tetapi berperilaku bertentangan dengan ajaran cinta kasihnya?
K. Kesimpulan
Pemikiran Dr. Shabbir Akhtar membentangkan jembatan konseptual antara Islam dan Kristen dalam memahami sosok Isa dan ajarannya.
Di satu sisi, ada pengakuan Islam atas status kenabian Isa, keterkaitan ajarannya dengan hukum dan para nabi terdahulu, serta nilai moral yang dapat diteladani.
Di sisi lain, Kristen menekankan kesatuan antara keilahian dan etika Isa, yang menjadikan ajarannya tak terpisahkan dari inti keberadaannya.
Meskipun terdapat perbedaan teologis yang signifikan, nilai-nilai kemanusiaan yang diajarkan Isa---kasih sayang, keadilan sosial, kerendahan hati, dan pelayanan kepada kaum tertindas---merupakan warisan bersama yang dapat dimaknai ulang dan diterapkan oleh komunitas Islam dan Kristen di era kontemporer.
Secara holistik, analisis Dr. Akhtar menegaskan bahwa figur Isa dan Nabi Muhammad , ketika dikaji secara mendalam keduanya sama-sama menawarkan kerangka moral yang mengajak umat manusia menembus batas-batas identitas keagamaan, suku, atau bangsa, dan menuju kesadaran bersama tentang pentingnya etika, kasih sayang, dan tanggung jawab sosial.
Referensi
Akhtar, Shabbir. "Finding and Following Jesus: The Muslim Claim to the Messiah." Yaqeen Institute for Islamic Research, 24 Desember 2018. https://yaqeeninstitute.org/read/paper/finding-and-following-jesus-the-muslim-claim-to-the-messiah?utm_campaign=finding-and-following-jesus-paper&utm_medium=email&_hsenc=p2ANqtz-8v_ypPaxVN9FFSRL49WU0tGhgeYOTaH9JTOL4U7iL9ekqas7jXw_T6oNZwgoIy1pfJULtoShe4mZKBnUFGlZXsuOwIufkEuwi6-kl6TCV6Hpr91Qo&_hsmi=337027883&utm_content=finding-and-following-jesus-email-paper-cta&utm_source=hs-general.
Kementerian Agama Republik Indonesia. Al-Qur'an Kemenag. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, 2022. https://quran.kemenag.go.id/.
Saritoprak, Zeki. Islam's Jesus. Gainesville: University Press of Florida, 2020. https://books.google.co.id/books?id=NYLSEAAAQBAJ.
Yayasan Lembaga SABDA (YLSA). Alkitab SABDA. Surakarta: Yayasan Lembaga SABDA (YLSA). , 2005. https://alkitab.sabda.org/home.php.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H