Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu.

Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Islam Agama Rasional: Penggunaan Akal dalam Memahami Wahyu Menurut Muhammad Abduh

14 Desember 2024   13:15 Diperbarui: 30 November 2024   15:22 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pesantren dan madrasah (Sumber: PPMI Mesir)

Muhammad Abduh menggarisbawahi pentingnya akal sebagai alat untuk memahami wahyu dan kebenaran agama. Menurutnya, akal bukanlah lawan dari wahyu, melainkan sarana yang diberikan Tuhan untuk memahami wahyu. Dia menolak pandangan bahwa agama dan akal tidak dapat berdampingan. Bahkan, ia menyatakan bahwa Islam adalah agama yang didasarkan pada rasionalitas dan tidak bertentangan dengan akal sehat.

Dalam pandangan Abduh, ada banyak aspek dalam agama yang hanya dapat dipahami dan diyakini melalui akal. Ini termasuk pengetahuan tentang eksistensi Tuhan, kemampuan-Nya untuk mengutus para rasul, pengetahuan-Nya tentang wahyu yang diturunkan, serta keinginan-Nya untuk memberikan pesan tertentu melalui para rasul. Menurutnya, meskipun ada aspek-aspek agama yang melampaui pemahaman manusia, tidak ada yang benar-benar bertentangan dengan akal atau logika. Maka, ini berarti bahwa Islam tidak menuntut umatnya untuk percaya pada hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal sehat.

Abduh menyatakan bahwa teologi Islam, atau ilmu kalam, dibangun di atas landasan rasionalitas. Dia menjelaskan bahwasanya para teolog menggunakan rasionalitas sebagai metode utama dalam argumen teologis mereka, meskipun kadang-kadang mereka juga merujuk pada tradisi (naql) setelah menetapkan prinsip-prinsip dasar. Dalam hal ini, Abduh mengakui bahwa dalam sejarah Islam, penggunaan akal sering kali diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan teologis. Ketika muncul berbagai perbedaan pendapat tentang masalah teologi seperti apakah Al-Qur’an itu makhluk atau azali atau tentang kehendak bebas dan takdir, para ulama dan teolog menggunakan akal mereka untuk menyelesaikan perdebatan ini.

Menurut Abduh, sebelum kedatangan Islam, pendekatan agama yang ada lebih bersifat dogmatis dan mengandalkan kepercayaan tanpa mempertimbangkan rasionalitas. Agama sering kali dipertentangkan dengan akal dan pemahaman terhadap ajaran agama lebih didasarkan pada keyakinan buta (taqlid buta) dan kepercayaan terhadap mukjizat tanpa pembuktian rasional.

Abduh menyoroti bahwa agama-agama sebelum adanya Islam, dan agama lain di luar Islam, lebih mengedepankan hal-hal yang tidak masuk akal dan sering kali melibatkan kekaguman berlebihan terhadap keajaiban (mukjizat) dan imajinasi yang tidak berdasarkan penalaran logis.

Dia menekankan bahwa akal dapat menjadi alat yang kuat untuk membela dan memperjelas ajaran Islam ketika digunakan dengan benar. Akal memungkinkan umat Islam untuk menghadapi tantangan intelektual dari filsafat Yunani dan pandangan dunia lainnya, serta memberikan respons yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.

Dalam rangka menjadi pedoman hidup dan hujjah tentang keesaan Allah dan kemahakuasaan-NyaAbduh menekankan bahwa al-Qur’an datang dengan pendekatan baru yang menekankan pada penggunaan akal dan logika dalam memahami wahyu. Al-Qur’an mengajak manusia untuk berpikir dan merenung, serta memberikan bukti-bukti yang menunjukkan kebesaran Allah melalui penciptaan-Nya.

Islam, melalui wahyu Al-Qur’an, mulai memperkenalkan metode yang mengutamakan penggunaan akal. Al-Qur’an memberikan argumen-argumen yang dapat diterima oleh nalar dan mengajak manusia untuk berpikir secara kritis tentang fenomena alam dan tanda-tanda Tuhan yang ada di alam semesta.

Al-Qur’an juga mengandung argumen-argumen rasional yang ditujukan kepada lawan-lawan debat Nabi Muhammad ﷺ pada masa pewahyuan di Mekah dan Madinah. Wahyu tidak menuntut manusia untuk menerima isinya hanya karena berasal dari Tuhan, tetapi juga memberikan bukti-bukti dan argumentasi yang masuk akal sehingga akal dapat menerima kebenaran tersebut. Ini menunjukkan bahwa dalam Islam, penggunaan akal tidak hanya diperbolehkan, tetapi juga diharuskan.

Dalam konteks ini, Al-Qur’an menjelaskan bahwa ketetapan-ketetapan Tuhan dalam alam semesta tidak berubah dan bahwa manusia harus menggunakan akal untuk memahami dan mengikuti hukum-hukum tersebut. Tidak seperti agama lain di luar Islam yang sering kali menekankan dogma dan doktrin tanpa berdasarkan hujjah di kitab sucinya (bahkan cenderung bersifat khayalan yang tak masuk akal). Allah menekankan pentingnya akal dalam menjalankan Islam dan kehidupan pada umumnya, sebagaimana dalam Surah Ar-Ra’d ayat 11 dinyatakan bahwa,

“Baginya (manusia) ada (malaikat-malaikat) yang menyertainya secara bergiliran dari depan dan belakangnya yang menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS Ar-Ra’d: 11)

Menurut Abduh, penyimpangan dalam pemahaman agama sering kali terjadi karena penolakan terhadap penggunaan akal ataupun menggunakannya secara berlebihan tanpa memerhatikan dalil-dalil dalam wahyu. Dia mengkritik kaum yang terlalu mengandalkan wahyu tanpa mempertimbangkan akal, yang menurutnya mengarah pada dogmatisme yang kaku dan tidak bisa dipertahankan. Begitu pula, dia juga mengkritik mereka yang terlalu mengandalkan akal tanpa bimbingan wahyu, yang bisa mengarah pada spekulasi filosofis yang tidak berdasar dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Abduh menegaskan bahwa Islam, melalui Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad ﷺ, telah menciptakan harmoni yang sempurna antara wahyu dan akal. Wahyu memberikan petunjuk ilahi yang tidak dapat dicapai oleh akal semata, sedangkan akal memungkinkan manusia untuk memahami wahyu dengan cara yang mendalam dan logis. Kombinasi ini, menurut Abduh, adalah kekuatan utama Islam yang membedakannya dari agama-agama lain yang mungkin tidak memberikan tempat yang layak bagi rasionalitas.

Sekali lagi, dalam hal ini Abduh menekankan bahwa Islam adalah agama yang mengakui dan mendorong penggunaan akal. Al-Qur'an, sebagai sumber utama ajaran Islam, tidak hanya memberikan tuntunan spiritualitas bagi pemeluknya, tetapi juga mengandung banyak dorongan bagi manusia untuk menggunakan akalnya dalam memahami dunia dan fenomena alam.

Al-Qur’an sering kali mengajak manusia untuk berpikir, merenung, dan mencari pengetahuan tentang alam semesta, yang menunjukkan bahwa iman dalam Islam bukanlah iman yang buta. Namun, hal ini harus dilandasi oleh pemahaman dan pengetahuan yang benar-benar berdasarkan akal pikiran (akal budi).

Islam mendorong umatnya untuk menjelajahi segala aspek kehidupan dan segala ciptaan-ciptaan-Nya, sebagaimana dijelaskan dalam ayat,

“Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke (penciptaan) langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS Al-Baqarah: 29).

Dia melihat bahwa Islam tidak pernah menolak pengetahuan ilmiah atau filosofis, asalkan pengetahuan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar keimanan. Dalam Islam, pencarian ilmu pengetahuan adalah bagian dari ibadah dan Al-Qur’an sendiri mendorong manusia untuk mengeksplorasi alam semesta dan memahami tanda-tanda Tuhan di dalamnya.

Singkatnya, kesimpulan dari pemikiran Abduh menyatakan bahwa Islam adalah agama yang rasional dan berlandaskan pada prinsip tauhid yang kuat. Wahyu memberikan pedoman yang diperlukan bagi manusia, sedangkan akal membantu untuk menafsirkan dan memahami pedoman tersebut dalam mempraktikkan dan menjalankannya di kehidupan sehari-hari. Tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal dalam Islam, melainkan keduanya saling melengkapi.

Referensi

Abduh, Muhammad. The Theology of Unity (Risālat Al-Tawḥīd). Diterjemahkan oleh Ishaq Musa’ad dan Kenneth Cragg. London: George Allen & Unwin LTD, 1966.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun