A. Pendahuluan
Konfrontasi antara Dinasti Safawi dan kaum Sunni merupakan salah satu babak penting dalam sejarah Islam yang berlangsung sejak awal pendirian dinasti ini pada tahun 1501 M. Shah Ismail I, pendiri Dinasti Safawi, tidak hanya mengubah Iran (Persia) menjadi pusat ajaran Syiah, tetapi juga secara aktif menentang sama sekali dominasi Sunni di wilayahnya, yang saat itu menjadi mazhab mayoritas di sebagian besar dunia Islam. Langkah-langkah ini memicu ketegangan besar dengan kekuatan Sunni lainnya, khususnya Kekaisaran Ottoman, dan berdampak pada aspek politik, sosial, dan agama di wilayah tersebut.
B. Latar Belakang Sejarah
Sebelum munculnya Dinasti Safawi, Iran adalah wilayah yang didominasi oleh Sunni dengan berbagai aliran dan tradisi. Namun, dengan berdirinya Safawi dan deklarasi Syiah sebagai agama resmi kekhalifahan, terjadi perubahan besar dalam dinamika keagamaan di Iran. Langkah ini bukan hanya berdampak pada masalah agama, melainkan juga strategi politik untuk memperkuat legitimasi kekuasaan Safawi dan membedakan diri dari kekuatan Sunni di sekitarnya.
C. Pemberlakuan Syiah sebagai Agama Resmi
Shah Ismail I secara agresif memaksakan konversi ke ajaran Syiah di seluruh Iran. Kebijakan ini diterapkan dengan berbagai cara, mulai dari propaganda agama hingga tindakan kekerasan terhadap mereka yang menolak. Kebijakan ini termasuk:
- Penghancuran Tempat Ibadah Sunni: Masjid-masjid Sunni ditutup atau diubah menjadi masjid Syiah. Ulama-ulama Sunni dipaksa meninggalkan Iran atau mengonversikan secara paksa aqidah mereka untuk berpindah ke Syiah.
- Pemberlakuan Penghinaan terhadap Khalifah Sunni:Â Khalifah pertama (Abu Bakar), kedua (Umar), dan ketiga (Utsman) dianggap sebagai tokoh yang merampas hak Ali bin Abi Thalib sebagai penerus sah Nabi Muhammad dalam pandangan Syiah. Penghinaan terhadap mereka menjadi bagian dari ritual keagamaan Safawi, yang dikenal sebagai tabarra.
- Ekspansi Syiah ke Wilayah Sunni:Â Safawi juga berusaha menyebarkan ajaran Syiah ke wilayah-wilayah lain, termasuk Irak dan Azerbaijan, yang pada saat itu mayoritas penduduknya adalah Sunni. Hal ini memicu konflik dengan penguasa Sunni di wilayah tersebut.
D. Perang dan Konflik dengan Kekaisaran Ottoman
Salah satu dampak terbesar dari kebijakan Safawi adalah konfrontasi langsung dengan Kekaisaran Ottoman, yang merupakan kekuatan Sunni terbesar pada saat itu. Hubungan antara Safawi dan Ottoman ditandai oleh serangkaian perang dan konflik militer yang panjang.
1. Perang Chaldiran (1514)
Pertempuran Chaldiran adalah salah satu titik balik penting dalam sejarah konflik antara Safawi dan Ottoman. Dalam pertempuran ini, pasukan Safawi di bawah Shah Ismail I dikalahkan oleh pasukan Ottoman yang dipimpin oleh Sultan Selim I. Kekalahan ini menunjukkan bahwa, walau Safawi memiliki kekuatan militer yang besar, mereka masih belum mampu menandingi superioritas militer milik Kekhalifahan Ottoman. Pertempuran ini juga menandai akhir dari upaya Shah Ismail untuk menyebarkan ajaran Syiah ke wilayah Anatolia dan lebih jauh ke barat.
2. Dampak Kekalahan Chaldiran
Kekalahan di Chaldiran memiliki dampak yang mendalam terhadap kebijakan dalam negeri Safawi:
- Pembatasan Ekspansi Syiah:Â Setelah kekalahan ini, Safawi lebih fokus pada konsolidasi kekuasaan di wilayah Iran daripada ekspansi ke wilayah Sunni di luar perbatasan mereka.
- Reformasi Militer: Shah Ismail dan penerusnya menyadari bahwa mereka harus memperkuat angkatan bersenjata mereka untuk menghadapi ancaman dari Ottoman dan kekuatan Sunni lainnya. Hal ini mengarah pada reformasi militer besar-besaran di bawah Shah Abbas I.
E. Kebijakan Anti-Sunni di Iran
Setelah kekalahan di Chaldiran, Dinasti Safawi memperkuat kebijakan anti-Sunni di dalam negeri. Langkah-langkah ini termasuk:
- Penganiayaan terhadap Ulama Sunni: Ulama-ulama Sunni yang masih bertahan di Iran ditangkap, dipaksa masuk Syiah, atau diusir. Banyak dari mereka yang melarikan diri ke wilayah Kekaisaran Ottoman.
- Penggunaan Tabarra sebagai Alat Politik: Tabarra, praktik mengutuk musuh-musuh Ali dan pengikutnya, menjadi bagian dari kebijakan kekhalifahan. Kebijakan ini digunakan tidak hanya untuk memperkuat identitas ke-Syiah-ah dinasti mereka, tetapi juga sebagai alat politik untuk menekan elemen-elemen Sunni di masyarakat.
F. Reaksi Kekaisaran Ottoman
Kebijakan Safawi ini memicu reaksi keras dari Kekaisaran Ottoman, yang merasa bahwa Safawi mengancam stabilitas wilayah Sunni. Sultan-sultan Ottoman, terutama Selim I dan penerusnya, melakukan upaya besar-besaran untuk menekan pengaruh Safawi di wilayah-wilayah perbatasan dan untuk mendukung populasi Sunni yang teraniaya di Iran.
1. Propaganda Anti-Syiah
Ottoman menggunakan propaganda anti-Syiah untuk memobilisasi dukungan terhadap kebijakan mereka melawan Safawi. Syiah dianggap sebagai ancaman terhadap kesatuan dunia Islam, dan Ottoman menggunakan retorika ini untuk mendapatkan dukungan dari penguasa dan ulama Sunni lainnya.
2. Perang Habsburg-Ottoman- Safawi
Konflik antara Safawi dan Ottoman juga melibatkan kekuatan Eropa, seperti Kekaisaran Habsburg. Persaingan ini sering kali dimanfaatkan oleh kekuatan Eropa untuk melemahkan kedua kekhalifahan Muslim ini. Dengan demikian, konflik Sunni-Syiah tidak hanya menjadi masalah regional, tetapi juga bagian dari politik global pada saat itu.
G. Dampak Konfrontasi pada Masyarakat Sunni di Iran
Konfrontasi antara Safawi dan Sunni menyebabkan penderitaan besar bagi masyarakat Sunni di Iran. Mereka dipaksa untuk memilih antara konversi paksa ke Syiah atau menghadapi penganiayaan. Banyak yang melarikan diri ke wilayah Kekaisaran Ottoman, sedangkan yang lainnya terpaksa hidup di bawah tekanan berat. Ini mengakibatkan hampir hilangnya komunitas Sunni di banyak bagian Iran hingga saat ini.
H. Konsekuensi Jangka Panjang Konfrontasi
Konfrontasi antara Safawi dan Sunni memiliki konsekuensi jangka panjang bagi dunia Islam:
- Pemisahan Identitas Keagamaan:Â Konflik ini mengukuhkan pemisahan identitas antara Syiah dan Sunni, dengan Iran menjadi pusat utama Syiah di dunia Islam, sedangkan Ottoman menjadi pelindung utama Sunni.
- Pola Persekutuan Politik: Perseteruan antara Safawi dan Ottoman membentuk pola persekutuan politik yang terus mempengaruhi hubungan internasional di dunia Muslim hingga hari ini.
- Warisan Kultural dan Teologis: Konflik ini juga meninggalkan warisan kultural dan teologis yang mendalam. Banyak tradisi dan praktik Syiah di Iran hari ini, seperti perayaan Asyura, mendapatkan bentuknya selama periode ini sebagai respons terhadap penindasan dari penguasa Sunni.
I. Kesimpulan
Konfrontasi antara Safawi dan Sunni adalah salah satu aspek paling signifikan dari sejarah Dinasti Safawi. Kebijakan agresif Safawi terhadap Sunni dan respons keras dari Kekaisaran Ottoman telah menciptakan siklus kekerasan dan permusuhan yang memperdalam perpecahan dalam dunia Islam sampai hari ini. Meskipun dinasti ini jatuh pada awal abad ke-18, dampaknya terhadap hubungan Sunni-Syiah masih terasa, baik di Iran, Turki, maupun di seluruh dunia Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H