Keputusan USC ini kemudian juga menuai kritik tajam dari berbagai kelompok aktivis, organisasi HAM, dan publik. Hussam Ayloush, Direktur Eksekutif CAIR-LA, menyebut langkah ini sebagai upaya menutupi Islamofobia dan rasisme anti-Palestina dengan dalih keamanan. Kritik serupa juga datang dari aktivis HAM yang menilai institusi universitas telah gagal dalam melindungi mahasiswanya dari serangan berbasis identitas agama dan keyakinan politik. Kritik ini menunjukkan pentingnya institusi pendidikan untuk berdiri teguh pada prinsip inklusivitas dan melawan diskriminasi, alih-alih menyerah pada tekanan dari kelompok-kelompok yang bertujuan untuk membungkam pandangan yang berbeda.
Direktur Eksekutif CAIR-LA, Hussam Ayloush, mengatakan, "Serangan yang tidak jujur dan memfitnah terhadap Asna tidak lebih dari manifestasi tipis-tipis Islamophobia dan rasisme anti-Palestina, yang telah dijadikan senjata melawan mahasiswa di seluruh negeri yang berbicara untuk hak asasi manusia---dan untuk kemanusiaan Palestina."
Kita dapat simpulkan bahwa salah satu bentuk manifestasi dari penyakit hati Islamofobia dan rasisme anti-Palestina yang paling mencolok di Amerika, ternyata terjadi di lingkungan akademik. Mahasiswa dan profesor yang menyuarakan dukungan untuk Palestina sering kali menghadapi konsekuensi serius, seperti:
- Penangguhan atau pemecatan:Â Beberapa profesor yang vokal terhadap kebebasan Palestina, seperti Jodi Dean, telah dinonaktifkan dari jabatan mereka. Langkah ini mencerminkan tekanan yang diterima institusi akademik untuk membungkam pandangan pro-Palestina.
- Pelabelan dan dehumanisasi:Â Retorika yang menggambarkan Muslim dan Palestina sebagai "barbar," "teroris," atau "biadab" menciptakan stigma yang memengaruhi kesempatan akademis dan profesional individu dari latar belakang ini.
Pendekatan ini tidak hanya menindas kebebasan berbicara, tetapi juga mengabadikan narasi kebencian yang melembaga, menghambat upaya menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan.
Narasi yang mendiskreditkan Muslim dan Palestina sebagai kelompok biadab atau teroris tidak hanya menyakitkan secara individu, tetapi juga memiliki dampak sistemik yang luas. Hal ini mendorong diskriminasi berbasis institusi, memperkuat stereotipe negatif, dan merugikan upaya untuk mencapai keadilan global. Oleh karena itu, langkah-langkah berikut sangat penting untuk dilakukan oleh organisasi dan individu:
- Penolakan terhadap narasi kebencian: Institusi akademik, media, dan pemerintah harus tegas menolak penggunaan istilah-istilah dehumanisasi terhadap kelompok tertentu.
- Dukungan terhadap kebebasan berbicara: Perlindungan terhadap mahasiswa dan profesor yang menyuarakan pandangan pro-Palestina harus dijamin.
- Peningkatan literasi terhadap isu Palestina:Â Masyarakat perlu diberdayakan untuk memahami sejarah dan konteks konflik Palestina secara menyeluruh, agar tidak mudah terpengaruh oleh narasi yang memanipulasi fakta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H