D. Analisis Kritis: Perbandingan dengan Inggris
Tan Malaka memperbandingkan parlemen di Jerman dengan parlemen di Inggris. Perbedaan utama antara kedua negara ini terletak pada:
- Proses Pengangkatan Pejabat Pemerintah: Di Inggris, pejabat pemerintah dipilih oleh parlemen, yang mewakili suara rakyat. Sebaliknya, di Jerman kala itu, kaisar memiliki kekuasaan penuh untuk mengangkat dan memecat pejabat, tanpa campur tangan parlemen.
- Kontrol atas Pemerintah: Parlemen Inggris memiliki kekuasaan untuk menurunkan menteri yang gagal menjalankan tugasnya. Sementara itu, parlemen Jerman kala itu tidak memiliki mekanisme untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, sehingga mereka hanya menjadi alat pelaksana keputusan kaisar.
- Kesadaran Politik Rakyat: Di Inggris, perkembangan demokrasi didorong oleh kesadaran politik rakyat yang lebih kuat dan independen. Di Jerman kala itu, rakyat tidak memiliki kebebasan yang sama karena sistem sosial yang feodal dan militeristik.
E. Dampak Lemahnya Parlemen Jerman
- Minimnya Perwakilan Rakyat: Karena parlemen didominasi oleh elite bangsawan, dan militer, kebutuhan rakyat menjadi sering diabaikan. Kaum buruh dan kelas bawah tidak memiliki perwakilan yang mampu memperjuangkan kepentingan mereka.
- Konsolidasi Kekuasaan Pemerintah: Sistem ini memungkinkan pemerintah untuk menjalankan kebijakan tanpa pengawasan efektif. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan rakyat, terutama kaum sosialis, yang berusaha memasuki parlemen tetapi terus-menerus dihalangi oleh sistem yang tidak adil.
- Keterbelakangan Demokrasi: Tidak seperti di Inggris, di mana parlemen menjadi pusat pengambilan keputusan, parlemen Jerman hanya berfungsi sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan kaisar. Hal ini menghambat perkembangan demokrasi di Jerman hingga tahun 1918.
F. Kekalahan Kaum Liberal dalam Pertarungan dengan Bismarck
Dalam pembahasan ini, Tan Malaka menyoroti bagaimana parlemen Jerman, khususnya kaum Liberal, gagal mempertahankan prinsip-prinsipnya di hadapan otoritarianisme Kaisar Bismarck. Kekalahan politik kaum Liberal menggambarkan lemahnya representasi rakyat di Jerman dan dominasi mutlak pemerintah. Analisis ini memperlihatkan bagaimana kebijakan politik yang otoriter, bahkan ketika dipimpin oleh pemimpin cerdas seperti Bismarck, dapat berdampak buruk ketika parlemen gagal menjalankan perannya sebagai penyeimbang kekuasaan.
1. Kekalahan Kaum Liberal: Dinamika Kekuasaan antara Parlemen dan Pemerintah
Dalam upaya menyisipkan gagasan mereka ke dalam kebijakan pemerintah, kaum Liberal Jerman terpaksa bernegosiasi dengan Bismarck. Namun, seperti yang Tan Malaka tuliskan, hasil akhirnya adalah kekalahan telak bagi kaum Liberal.
- Negosiasi yang Tidak Seimbang: Pada pembacaan kedua dan ketiga rancangan kebijakan (Begrooting), kaum Liberal tidak mampu mempertahankan prinsip mereka. Dalam negosiasi tersebut, Bismarck menunjukkan dominasi absolutnya dengan menolak setiap kompromi. Tan Malaka mencatat, “Bismarck mau atau semua atau sekali-kali tidak.” Ini menunjukkan pendekatan otoriter Bismarck yang memaksa lawan politiknya untuk tunduk atau menyerah sepenuhnya.
- Kegagalan Moral dan Politik Kaum Liberal: Kaum Liberal akhirnya membatalkan sendiri usulan-usulan yang telah mereka perjuangkan. Tan Malaka kemudian mengkritik sikap menyerah ini sebagai kelemahan moral dan politik yang tidak hanya merugikan kaum Liberal, tetapi juga rakyat Jerman. Dengan membenarkan kebijakan pemerintah, kaum Liberal ikut menanggung konsekuensi buruk dari keputusan yang tidak berpihak pada rakyat.
2. Dampak Kelemahan Parlemen terhadap Rakyat dan Negara
Kelemahan parlemen Jerman membawa konsekuensi besar bagi rakyat dan masa depan negara:
- Ketergantungan pada Kepemimpinan Bismarck: Kecerdasan dan keberhasilan Bismarck sering kali dianggap sebagai keberuntungan bagi Jerman. Namun, Tan Malaka memperingatkan bahwa sistem pemerintahan yang bergantung pada satu individu sangatlah berisiko besar. Jika penerus Bismarck tidak memiliki kemampuan yang setara, kelemahan sistem pemerintahan Jerman akan terungkap dan menimbulkan celaka bagi negara.
- Peran Parlemen dalam Perang Dunia: Ketika Perang Dunia I meletus, parlemen Jerman terus mengesahkan permintaan pemerintah untuk mendukung perang, meskipun keputusan tersebut bertentangan dengan prinsip damai yang mereka klaim anut. Tan Malaka mencatat bahwa bahkan kaum progresif, kecuali Sosialis seperti Liebknecht, turut mendukung kebijakan perang pemerintah. Sikap ini menunjukkan bahwa parlemen tetap menjadi alat pemerintah, bahkan dalam isu yang berlawanan dengan kehendak rakyat.
3. Kegagalan Parlemen dalam Menggunakan Hak-Haknya
Tan Malaka mengidentifikasi dua hak utama yang seharusnya menjadi senjata parlemen dalam memperjuangkan kepentingan rakyat: hak inisiatif dan hak interpelasi.
- Hak Inisiatif: Hak ini memberikan kewenangan bagi anggota parlemen untuk mengajukan rancangan undang-undang yang bertujuan memperbaiki kondisi masyarakat, khususnya rakyat kecil. Namun, dalam praktiknya, parlemen Jerman jarang menggunakan hak ini secara efektif. Dominasi pemerintah dan ketakutan terhadap otoritas kaisar membuat hak inisiatif menjadi senjata yang tidak pernah digunakan.
- Hak Interpelasi: Hak ini memungkinkan parlemen meminta penjelasan dari pemerintah mengenai tindakan-tindakannya. Hak ini bertujuan mencegah tindakan sewenang-wenang oleh pejabat pemerintah. Namun, parlemen Jerman gagal memanfaatkan hak ini sebagai alat pengawasan. Ketidakberanian parlemen untuk menantang pemerintah membuat hak ini kehilangan fungsinya sebagai mekanisme check and balance.
4. Faktor-Faktor Penyebab Kelemahan Parlemen Jerman
Tan Malaka mengidentifikasi beberapa faktor yang menjelaskan mengapa parlemen Jerman tetap menjadi alat pemerintah hingga abad ke-20:
- Budaya Ketundukan pada Otoritas: Bangsa Jerman, sebagaimana dikatakan Tan Malaka, tidak memiliki karakter keras hati seperti bangsa Inggris. Budaya ini menyebabkan parlemen Jerman cenderung tunduk pada pemerintah daripada menantang otoritas kaisar.
- Pengaruh “Momok Bismarck”: Keberadaan Bismarck sebagai tokoh dominan selama masa awal parlemen Jerman meninggalkan dampak psikologis. Generasi parlemen berikutnya tetap dihantui oleh bayang-bayang Bismarck, yang dikenal dengan pendekatan kerasnya terhadap lawan politik.
- Dominasi Kaum Elite dalam Parlemen: Sistem pemilihan yang tidak adil, khususnya di wilayah Pruissen, memastikan bahwa parlemen didominasi oleh wakil dari golongan bangsawan, militer, dan hartawan. Representasi rakyat kecil sangat minim, sehingga parlemen tidak berfungsi sebagai suara rakyat yang sejati.
5. Pelajaran yang Dapat Diambil dari Sejarah: Pentingnya Parlemen yang Kuat
Kisah parlemen Jerman di bawah Bismarck menawarkan pelajaran penting:
- Kebutuhan akan Independensi Parlemen: Parlemen yang kuat dan independen adalah elemen esensial dalam demokrasi. Ketika parlemen menjadi alat pemerintah, keseimbangan kekuasaan akan hilang, dan rakyat akan kehilangan perlindungan terhadap kebijakan jahat dan kejam yang merugikan mereka.
- Pentingnya Keteguhan Prinsip Politik: Kegagalan kaum Liberal dalam mempertahankan prinsip mereka menunjukkan bahwa kompromi yang berlebihan dapat merusak legitimasi parlemen. Wakil rakyat, dalam hal ini, harus memiliki keberanian untuk menantang otoritas yang tidak adil, bahkan jika menghadapi risiko kekalahan.
- Mekanisme Pengawasan yang Efektif: Hak inisiatif dan hak interpelasi adalah alat penting untuk mengawasi pemerintah. Parlemen harus memastikan bahwa hak-hak ini digunakan secara maksimal untuk melindungi kepentingan rakyat.
Bersambung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H