Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Relawan - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pertemuan Langka Willem Oltmans dengan Presiden Sukarno: Mengungkap Citra Asli Bapak Bangsa Indonesia di Balik Hubungan Diplomatik yang Memanas

27 Desember 2024   10:00 Diperbarui: 23 November 2024   03:41 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soekarno berpidato (Sumber gambar: Roso Daras via Kumparan)

Pada malam pergantian tahun 1956, Willem Oltmans, seorang jurnalis asal Belanda yang kompeten dan terkenal dengan keobjektifanya, mendapatkan kesempatan langka untuk menghabiskan waktu bersama Presiden Sukarno di Istana Merdeka, Jakarta.

Pengalaman ini memberinya perspektif baru tentang sosok Sukarno dan bagaimana hubungan Indonesia dengan Belanda berkembang di era pasca-kolonial. Willem Oltmans dalam bukunya Bung Karno Sahabatku menceritakan perjalanannya selama di Indonesia, hubungannya dengan Presiden Sukarno, dan refleksinya tentang ketegangan diplomatik yang saat itu sedang memanas.

Pada malam tahun baru 1956, Oltmans, yang sudah 26 hari berada di Indonesia, menyaksikan inspeksi Batalyon Garuda I yang bersiap untuk misi perdamaian PBB ke Mesir dan Gaza. Saat inspeksi selesai, Oltmans, yang telah saling kenal dengan Presiden Sukarno secara pribadi, dipanggil oleh presiden yang terkejut ketika melihatnya di antara para jurnalis Indonesia. Mereka kemudian menghabiskan waktu bersama untuk makan malam di Istana Merdeka sambil menonton film, dan Oltmans dalam pertemuan itu mendapatkan kehormatan luar biasa sebagai tamu pribadi Presiden Sukarno.

Pengalaman ini sangat mengejutkan bagi Oltmans. Ia datang dengan pandangan yang ia dapati dari pers-pers di Belanda bahwa Presiden Sukarno adalah orang yang tidak baik, angkuh, dan tak bersahabat, sehingga ia tidak akan mengindahkannya karena sosoknya yang asli Belanda tulen akan dinilai sebagai warisan kolonial Belanda, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Presiden Sukarno memperlakukannya dengan hangat, jauh dari citra yang dibentuk oleh banyak media di Belanda yang menggambarkan Sukarno sebagai sosok yang penuh dengan kebencian terhadap orang Belanda.

Menurut Oltmans, pertemuan ini memberikan pelajaran penting bagi dirinya sebagai jurnalis: tidak selalu benar mempercayai gambaran yang dibentuk media tentang seorang tokoh besar. Oltmans mengamati bahwa Presiden Sukarno tidak pernah memusuhi individu Belanda, meskipun Sukarno telah lama berjuang melawan kolonialisme Belanda. Presiden Sukarno sangat hangat dan bersahabat, terutama terhadap orang-orang di lingkarannya, baik itu pejabat tinggi maupun rakyat biasa.

Oltmans menyadari bahwa Presiden Sukarno dipandang sebagai "Bapak Bangsa" oleh rakyat Indonesia, bukan hanya pemimpin politik. Dalam tradisi khas budaya Jawa, Presiden Sukarno amat dihormati sebagai figur ayah bagi bangsa, yang pada hakikatnya ia diposisikan sebagai sosok yang dapat mempererat hubungan emosional antara Sukarno dan rakyatnya. Bagi Oltmans, hubungan ini jauh melampaui formalitas politik; itu adalah ikatan cinta antara pemimpin dan rakyatnya.

Selama berada di Jakarta, Oltmans juga mendalami isu-isu politik yang menghangat di antara Indonesia dan Belanda, terutama akibat permasalahan Papua Barat. Banyak tokoh Indonesia, termasuk mantan Wakil Presiden Hatta, merasa bahwa Belanda telah mengingkari janji mereka untuk menyerahkan Papua sebagai bagian dari kesepakatan Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Oltmans kemudian juga mencatat bahwa semua pihak di Indonesia, baik pendukung maupun oposisi dari Presiden Sukarno, bersatu keharmonian di dalam tuntutan agar Papua diserahkan kepada Indonesia.

Namun, di sisi lain, ia juga menyaksikan bagaimana kebijakan luar negeri Belanda, di bawah Perdana Menteri Willem Drees dan Menteri Luar Negeri Joseph Luns, memperburuk hubungan pemerintahannya dengan Indonesia. Meskipun telah dilakukan diplomasi senyap oleh pejabat Belanda, seperti Duco Middelburg, upaya tersebut sering kali gagal karena ditolak oleh pemerintah di Den Haag. Bagi Oltmans, ketidakmampuan pemerintah Belanda untuk mengelola hubungan dengan Indonesia adalah bagian dari kegagalan mentalitas pasca-kolonial yang masih melekat di pemerintah Belanda.

Sebagai seorang jurnalis, Oltmans menghadapi tantangan yang besar. Meskipun ia mampu mengakses banyak informasi langsung dari sumber-sumber penting di Indonesia, khususnya Presiden Sukarno dan pejabat tinggi lainnya, media di Belanda tidak selalu siap untuk menerima pandangannya. Artikel-artikelnya yang menyajikan realitas di lapangan, sering kali ditolak karena dianggap terlalu kontroversial atau tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah Belanda terhadap Indonesia.

Misalnya, ketika ia mencoba menerbitkan pandangan Middelburg yang kritis terhadap kebijakan Belanda terhadap Indonesia, artikel tersebut dilarang terbit. Bahkan ketika ia menulis tentang dukungan bulat masyarakat Indonesia terhadap tuntutan Papua, salah satu surat kabar terbesar Belanda, NRC, menolak menerbitkan artikel itu dengan alasan bahwa "pembaca NRC belum siap" untuk menerima kebenaran yang disampaikan Oltmans.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun