Pada tahun 1956, jurnalis Belanda Willem Oltmans melakukan sebuah perjalanan yang membawanya ke beberapa negara Eropa bersama dengan Presiden Sukarno dari Republik Indonesia. Perjalanan ini tidak hanya penting secara politik, tetapi juga menjadi titik balik bagi Oltmans dalam memahami pemimpin Indonesia yang memiliki kepribadian menarik ini.
Tulisan Oltmans, dalam bukunya Bung Karno Sahabatku, memberikan perspektif mendalam tentang hubungan diplomatik yang penuh ketegangan antara Belanda dan Indonesia, serta bagaimana kesan personal yang ia dapatkan dari Presiden Sukarno ternyata bertentangan dengan persepsi yang dominan berkembang di Belanda saat itu.
Dalam kunjungannya ke Jerman Barat pada bulan Juni 1956, Presiden Sukarno disambut dengan kehormatan oleh Presiden Heuss dan Kanselir Adenauer, meskipun protes keras dilayangkan oleh Menteri Luar Negeri Belanda, Joseph Luns. Luns mencoba menghentikan kunjungan tersebut, tetapi nyata-nyata tidak berhasil. Presiden Jerman dan Kanselirnya memilih untuk memprioritaskan hubungan bilateral dengan Indonesia yang lebih bermanfaat bagi mereka, sehingga mengabaikan protes Luns.
Bagi Oltmans, ini adalah momen yang begitu signifikan. Ia mencatat bagaimana kehadiran Presiden Sukarno di Jerman Barat, serta kunjungan kerjanya ke perusahaan-perusahaan besar, seperti Krupp, Siemens, dan Mercedes-Benz, menandakan pergeseran penting dalam hubungan ekonomi Indonesia dengan Eropa, sekaligus mengancam dominasi ekonomi Belanda di bekas koloninya.Â
Saat berada di Jerman Barat, Oltmans kembali bergabung dengan rombongan Presiden Sukarno, seperti yang sebelumnya ia lakukan di Italia. Meskipun kehadirannya tidak resmi, ia diundang untuk sarapan oleh kepala keamanan Presiden Sukarno, Pak Umargatab.
Dalam suasana yang santai, Oltmans ditanyai tentang latar belakang dan niatnya, sebuah ujian yang menurutnya berhasil ia lewati. Kejadian ini menunjukkan bagaimana Presiden Sukarno dan timnya, meskipun hati-hati, dapat menanggapi situasi dengan cara yang tidak konfrontatif dan penuh diplomasi. Bagi Oltmans, pengalaman ini memperkuat rasa hormatnya terhadap cara Presiden Sukarno berinteraksi dengan orang asing, terutama jurnalis dari Belanda.
Sebelum bertemu Presiden Sukarno, Oltmans memiliki pandangan bahwa Presiden Indonesia tersebut adalah seorang pemimpin yang memusuhi Belanda. Namun, setelah berinteraksi langsung dengannya, terutama selama perjalanan di Italia dan Jerman Barat, Oltmans mulai melihat sisi lain dari Sukarno. Sukarno, menurut Oltmans, adalah sosok yang ramah terhadap orang Belanda, meskipun ia berada dalam posisi politik yang bertentangan dengan Belanda dalam konflik Papua Barat.
Bagi Oltmans, ini adalah sebuah kejutan besar. Pengalamannya bersama Presiden Sukarno, yang dituduh oleh banyak pihak adalah sikap yang tidak peduli dengan ekonomi, menunjukkan bahwa sang presiden sebenarnya memiliki pandangan ekonomi yang matang dan ambisi untuk menjalin hubungan ekonomi baru dengan negara-negara di luar Belanda.
Pada tahun 1956, Indonesia berada dalam krisis politik yang dalam. Sistem demokrasi yang diadopsi dari model Westminster Inggris tidak berfungsi dengan baik. Kabinet jatuh satu per satu, dan proses pengambilan keputusan sering kali terhambat oleh keragaman politik yang ada.
Presiden Sukarno, yang dikenal sebagai seorang pemimpin karismatik, mulai meragukan apakah demokrasi a la Barat cocok untuk negaranya. Ia kemudian melakukan perjalanan panjang ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Cina, untuk mencari inspirasi untuk Indonesia tentang bagaimana membenahi sistem politik dan ekonomi di negaranya.