A. Hukum Menyerang dalam Perang Dunia I
1. Kegagalan Rencana Von Schlieffen
Pada permulaan Perang Dunia I, Jerman mencoba menerapkan strategi menyerang secara cepat melalui rencana Von Schlieffen, yang dirancang untuk merebut wilayah Prancis dalam waktu singkat. Strategi ini melibatkan:
- a) Manuver Melalui Belgia: Tentara Jerman akan menyerbu Prancis melalui Belgia yang netral, demi mengecoh perhatian pasukan Prancis.
- b) Memancing Pasukan Prancis:Â Strategi ini bertujuan untuk memancing pasukan Prancis masuk ke Germania Selatan, sehingga dapat menciptakan peluang bagi Jerman untuk memotong "leher" dari pertahanan pasukan Prancis.
Namun, kelemahan strategi ini terletak pada pengalihan kekuatan pasukan Von Kluck ke Jerman bagian selatan, sehingga melemahkan kemampuan Jerman untuk menyelesaikan serangan dengan efektif. Akibatnya, serangan gagal mencapai tujuannya dalam waktu yang direncanakan.
2. Sukses di Front Timur
Meskipun gagal di Eropa Barat, Jerman berhasil menerapkan hukum menyerang dengan sukses di Front Timur. Di bawah komando Von Hindenburg, pasukan Jerman yang lebih kecil mampu mematahkan serangan besar dari Rusia dengan menggunakan prinsip kecepatan dan mobilitas.
3. Perang Statis dan Stagnasi
Setelah kegagalan awal perang bergerak cepat, Perang Dunia I berubah menjadi perang statis atau perang parit (trench warfare). Pasukan dari kedua pihak bertahan di parit-parit sepanjang ratusan kilometer, berbulan-bulan lamanya saling berhadapan tanpa kemajuan signifikan.
Barulah setelah Sekutu diperkuat oleh pasukan dan senjata dari Amerika Serikat, strategi serangan terus-menerus yang diusulkan Jenderal Foch---"Frappa Toujours" atau "pukul terus-menerus"---berhasil mengusir Jerman secara perlahan, hingga akhirnya mencapai kemenangan.
B. Perang Dunia II: Kebangkitan Perang-Gerak-Cepat
Pada Perang Dunia II, teknologi dan ilmu militer membawa kebangkitan Perang-Gerak-Cepat. Tan Malaka mencatat bagaimana strategi Jerman, di bawah Hitler, berhasil mengatasi perang statis yang sebelumnya mendominasi Perang Dunia Pertama.
1. Kegagalan Lini Maginot
Para ahli militer Prancis membangun Garis Maginot, sebuah sistem pertahanan parit modern yang terdiri dari beton dan besi lengkap dengan gudang makanan serta gudang berisi senjata. Mereka berasumsi bahwa perang parit akan kembali mendominasi seperti pada akhir Perang Dunia I. Namun, kemajuan teknologi Jerman mampu mengatasi kekebalan dari Garis Maginot melalui:
- a) Manuver dari Belakang:Â Pasukan Jerman menghindari serangan frontal dan menyusup melalui celah di front utara Prancis, sehingga melewati pertahanan Maginot.
- b) Penggunaan Pesawat Udara:Â Pesawat-pesawat Stuka Jerman memainkan peran penting dalam menciptakan ketakutan dan menekan pertahanan Prancis dari udara.
- c) Kecepatan Serangan: Ketika pasukan Prancis masih menunggu serangan dari depan, pasukan Jerman dengan kendaraan bermotor telah jauh memasuki wilayah Prancis, memaksa pemerintahnya menyerah.
Kejatuhan Maginot menandai runtuhnya perang statis dan kembalinya perang bergerak cepat yang mendominasi Perang Dunia II.
2. Elemen Kunci Perang-Gerak-Cepat
Dalam Perang Dunia II, Tan Malaka menyoroti pentingnya tiga anasir utama dalam strategi menyerang yang mengandalkan ilmu dan teknologi modern:
- a) Kecepatan (Speed): Kecepatan adalah inti dari perang bergerak cepat. Pasukan bermotor, tank, dan pesawat tempur memungkinkan serangan yang mengejutkan dan efektif terhadap musuh yang kurang siap.
- b) Perputaran (Mobility): Mobilitas memungkinkan pasukan untuk bermanuver di berbagai medan perang, sehingga dapat menghindari pertahanan musuh yang kokoh dan menyerang dari sisi yang lemah.
- c) Kodrat Tembakan (Firepower):Â Kekuatan tembakan, baik dari tank, pesawat, maupun kapal perang, memberikan tekanan psikologis dan fisik yang besar terhadap musuh, sehingga dapat menciptakan peluang untuk serangan lebih lanjut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H