Tulisan Tan Malaka tentang Hukum Menyerang telah menguraikan prinsip penting dalam strategi militer yang berkaitan dengan mobilitas dan efektivitas dalam mencapai kemenangan. Melalui analisis sejarah, ia menjelaskan bagaimana hukum ini dapat diterapkan secara efektif dalam perang bergerak cepat (mobile warfare) dan membedakannya dari perang statis, seperti perang parit atau pengepungan benteng.Â
Artikel ini akan membahas secara komprehensif gagasan Tan Malaka dengan mengacu pada kasus-kasus historis yang ia uraikan.
A. Pengertian Hukum Menyerang
Tan Malaka mendefinisikan hukum menyerang sebagai prinsip dasar untuk memenangkan pertempuran dalam perang yang bersifat dinamis dan bergerak cepat. Hukum ini mengandalkan kecepatan, kejutan, dan konsentrasi serangan pada titik lemah musuh. Sebaliknya, hukum menyerang sulit diterapkan dalam perang statis, seperti perang parit atau pengepungan benteng, di mana mobilitas dan manuver terbatas oleh kondisi medan dan pertahanan musuh.
B. Hukum Menyerang dalam Perang Bergerak Cepat
Tan Malaka merujuk pada keberhasilan Iskandar Zulkarnaen (Alexander the Great) sebagai contoh penerapan hukum menyerang yang cemerlang. Dengan pasukan kecil yang terdiri dari 40.000 prajurit, Iskandar mampu mengalahkan tentara Persia yang jauh lebih besar, kira-kira berpasukan mencapai 1 juta prajurit. Kunci keberhasilannya adalah:
- a) Kecepatan Manuver: Iskandar menggerakkan pasukannya secara cepat dan tiba-tiba menuju pusat kekuatan musuh, yaitu markas Raja Persia.
- b) Konsentrasi Serangan:Â Fokus serangan pada pusat komando musuh menyebabkan kehancuran struktur pertahanan Persia.
- c) Efisiensi Pasukan: Pasukannya yang terlatih mampu memanfaatkan kelemahan musuh secara maksimal.
Namun, strategi ini terbatas pada medan terbuka. Ketika menghadapi kota dengan benteng kokoh, Iskandar terpaksa menghentikan serangan cepatnya dan beralih pada strategi pengepungan, seperti memotong suplai makanan dan air hingga musuh menyerah akibat kelaparan atau wabah penyakit.
C. Hukum Menyerang dalam Perang Statis
Tan Malaka juga menyoroti batasan hukum menyerang, terutama dalam perang statis. Contoh utamanya adalah Hannibal, seorang panglima legendaris dari Kartago. Setelah memenangkan Pertempuran Cannae, di mana ia menerapkan hukum menyerang dengan sangat baik, Hannibal terpaksa berhenti di depan gerbang kota Roma. Hambatan utamanya adalah:
- a) Ketidakmampuan Menyerbu Kota: Hannibal tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk melakukan pertempuran di dalam kota, yang membutuhkan taktik berbeda dari perang terbuka.
- b) Pengepungan Berkepanjangan: Dalam proses pengepungan, kekuatan tentara Hannibal melemah, sedangkan musuhnya justru memperkuat pertahanan dan persatuan.
- c) Strategi Musuh yang Adaptif: Pemimpin Romawi memilih untuk menghindari perang terbuka dan memanfaatkan waktu untuk memperlemah kekuatan Hannibal.
Pengepungan ini menunjukkan bahwa hukum menyerang tidak selalu menjadi solusi universal dalam situasi perang yang lebih kompleks.
D. Julius Caesar dan Napoleon: Penerapan Konsisten Hukum Menyerang
Berbeda dengan Hannibal, Julius Caesar dan Napoleon Bonaparte lebih sering berhasil menerapkan hukum menyerang dalam berbagai pertempuran. Hal ini disebabkan oleh:
- a) Penguasaan Medan Perang Terbuka: Keduanya lebih sering berhadapan dengan musuh di medan terbuka yang memungkinkan mereka dan pasukannya untuk bermobilitas tinggi.
- b) Kecepatan dan Kejutan: Baik Caesar maupun Napoleon menggunakan serangan mendadak untuk mengejutkan musuh dan memecah konsentrasi pertahanan mereka.
- c) Fleksibilitas Taktik: Mereka mampu menyesuaikan strategi berdasarkan situasi di lapangan, sehingga hukum menyerang tetap relevan.
Namun, sebagaimana diungkapkan Tan Malaka, keberhasilan mereka tetap bergantung pada kondisi medan perang yang mendukung mobilitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H