Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Relawan - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sukarno di Roma, Italia (1956): Pertemuan Bersejarah yang Mengguncang Politik Belanda (1)

18 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 22 November 2024   06:11 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tanggal 10 Juni 1956, Presiden Sukarno---Presiden pertama Republik Indonesia---tercatat untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di benua Eropa, tepatnya di Bandara Ciampino, kota Roma. Kedatangan Sukarno ini disambut dengan upacara kenegaraan oleh Presiden Italia Giovanni Gronchi, anggota kabinet, dan korps diplomatik.

Di tengah sambutan megah dan kehormatan yang diberikan pemerintahan Italia kepada presiden Indonesia tersebut, ironi terbesar adalah bahwa Sukarno, yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia selama bertahun-tahun, dilarang memasuki teritorial Belanda, negara yang pernah menjajah Indonesia selama lebih dari tiga abad. Dalam hal ini, Willem Oltmans, seorang jurnalis Belanda yang kebetulan berada di Italia pada saat itu, menyaksikan peristiwa penting tersebut dan akhirnya mengalami nasib pahit akibat keberaniannya untuk menulis tentang Presiden Sukarno dengan sudut pandang yang objektif.

Potret Presiden Soekarno Disambut Hangat Paus Paulus VI (Sumber gambar: Riau24.com)
Potret Presiden Soekarno Disambut Hangat Paus Paulus VI (Sumber gambar: Riau24.com)

Ketika negara-negara kolonial lainnya, seperti Inggris, mulai menerima kenyataan kemerdekaan bekas koloninya, Belanda masih bersikeras untuk terus mempertahankan sikap kerasnya terhadap Sukarno. Oltmans menyorotnya dengan sangat apik, bagaimana sikap Belanda yang tetap menolak untuk mengakui kemenangan Sukarno dan Indonesia atas penjajahan mereka, bahkan ketika pemimpin Kenya, Jomo Kenyatta, yang sebelumnya dianggap sebagai musuh oleh Inggris, akhirnya diterima oleh Ratu Elizabeth II di Istana Buckingham. Bagi Sukarno, harapan untuk berdiri di samping Ratu Juliana di balkon Istana Kerajaan Belanda di Amsterdam tetap menjadi cita-citanya, yang tidak pernah terwujud sampai akhir hayatnya.

Willem Oltmans, yang menjadi koresponden di Italia untuk harian De Telegraaf, pada mulanya bermaksud untuk mewawancarai Sukarno selama kunjungan kenegaraannya di Italia. Namun, pemerintah Belanda di bawah Menteri Luar Negeri Joseph Luns mengirim pesan yang sangat keras melalui Duta Besarnya di Roma, dr. H. N. Boon, dengan tujuan mencegah perhatian media terhadap kunjungan Presiden Sukarno tersebut. Delapan dari sembilan jurnalis Belanda yang bekerja di Italia pun memilih untuk mematuhi arahan ini. Akan tetapi, tidak dengan Oltmans. Ia merasa bahwa tugas dari seorang jurnalis adalah melaporkan fakta dan realita, bukan tunduk pada tekanan politik siapa pun.

Ketika Oltmans mengajukan permohonan untuk mewawancarai Sukarno, ia mendapat dukungan dari Duta Besar Indonesia di Italia, Sutan M. Rasjid. Saat bertemu Presiden Sukarno di acara resmi pun, Oltmans segera berjumpa dengannya dan terkejut dengan perhatian serta keramahan yang diterimanya dari Sukarno. Presiden Sukarno bahkan mengundangnya untuk ikut dalam kunjungan ke Pompeii pada hari berikutnya, di mana percakapan secara pribadi (man to man) berlangsung di antara keduanya.

Duta Besar Italia pada 1956, Sutan M. Rasjid. (Sumber gambar: Wikimedia Commons)
Duta Besar Italia pada 1956, Sutan M. Rasjid. (Sumber gambar: Wikimedia Commons)

Di Pompeii, dalam suasana yang jauh dari formalitas diplomatik, Sukarno berbicara secara terbuka kepada Oltmans tentang keinginannya untuk memperbaiki hubungan antara Indonesia dan Belanda. Walau Sukarno dalam konteks ini menyatakan bahwa setelah masalah Papua Barat (Irian Barat) diselesaikan, pintu menuju persahabatan antara kedua negara akan terbuka lebar. Menteri Luar Negeri Indonesia, Ruslan Abdulgani, menambahkan bahwa Presiden Sukarno akan menjadi yang pertama pergi ke Den Haag untuk memulihkan hubungan jika Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia atas Papua.

Oltmans mendengar pernyataan ini dengan penuh perhatian, tetapi ia belum menyadari sepenuhnya bahwa percakapan tersebut ternyata mengandung pesan mendalam dari Presiden Sukarno, yang di kemudian hari akan mengarahkan hidupnya ke jalur yang penuh dengan tantangan dan tekanan.

Tidak lama setelah pertemuan tersebut, Oltmans mengirimkan telegram ke kantor redaksinya di Belanda. Dalam telegramnya itu, ia memberitahukan bahwa dirinya telah bertemu dengan Presiden Sukarno. Namun, balasan yang ia terima sangat mengejutkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun