Konflik Teoritis Syariah dengan Prinsip-Prinsip Rule of Law
Individualisme vs. Kolektivisme
Rule of law menekankan hak-hak individu dan kesetaraan di hadapan hukum. Sebaliknya, pemikiran Islam tradisional sering kali memprioritaskan komunitas (ummah) di atas hak individu, yang dapat bertentangan dengan prinsip individualisme a la rule of law. Hukuman keras terhadap mereka yang murtad dan prioritas untuk kepentingan komunitas di atas individu semakin mempersulit integrasi prinsip-prinsip rule of law individualistik ke dalam masyarakat Muslim.
Kedaulatan
Dalam pemikiran Islam, kedaulatan hanya ada pada Tuhan. Oleh karena itu, kekuasaan Tuhan (hakimiyyah) dianggap sebagai otoritas tertinggi dalam pembentukan hukum. Menurut pandangan ini, hanya Tuhan yang memiliki hak untuk menetapkan hukum, dan otoritas manusia untuk legislatif sama sekali dianggap tidak sah. Â Pandangan ini berbeda dengan konsep kedaulatan modern yang ditempatkan terdapat pada rakyat atau negara.
Pemikir modernisme Islam, seperti Sayyid Qutb, menyepakati pendapat bahwa otoritas legislasi memang hanya milik Allah, sehingga menyulitkan penerimaan proses yang demokratis dan kerangka rule of law yang sekuler di dalam masyarakat Muslim. Sebaliknya, rule of law modern sering kali melibatkan pembuatan hukum oleh lembaga-lembaga otoritas manusia dan penegak hukum yang terpisah dan independen, yang bertentangan dengan konsep kekuasaan ilahi yang dominan dalam Syariah.
Selanjutnya, terdapat kritik dari kalangan pemikir Islam terhadap konsep negara-bangsa, di mana tatanan hukum dan sosial terikat oleh batasan geografis dan politik. Pemikiran negara-bangsa sering kali bertentangan dengan ide-ide Islam tentang komunitas Muslim global. Pemikir Islam seperti ini mungkin melihat negara-bangsa sebagai sekunder dibandingkan dengan umma, yang dapat melemahkan sistem hukum nasional dan kemampuannya untuk menegakkan hukum secara merata.
Misalnya, pemikiran Sayyid Qutb, ia menjelaskan bahwa umat Islam adalah bagian dari umma, yaitu komunitas atau persaudaraan universal yang diikat oleh agama Islam, bukan oleh batas-batas geografis atau negara-bangsa. Konsep umma ini menempatkan kepentingan komunitas agama di atas kepentingan nasional atau negara. Konsep ini jelas berbeda dengan konsep negara-bangsa yang mendasarkan identitas politik dan sosial pada batas-batas geografis dan kedaulatan negara.Â
Kritik Islam terhadap negara-bangsa juga mencakup penolakan terhadap nasionalisme yang dianggap sebagai bentuk pembagian yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Nasionalisme dapat mengarah pada pembuatan batas-batas yang mengabaikan prinsip kesetaraan dan persaudaraan universal yang dipegang oleh konsep umma a la Sayyid Qutb.
Bersambung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI