Pertama, Syariah dianggap sebagai hukum ilahi yang diturunkan oleh Tuhan, sehingga dianggap tidak boleh diubah oleh otoritas manusia. Hal ini berkonsekuensi bahwa Syariah memiliki stabilitas dan kekekalan yang dianggap suci. Dalam konteks rule of law, di mana hukum sering kali perlu diperbaharui dan disesuaikan dengan perkembangan sosial dan politik, sifat ini akan menjadi tantangan. Ketidakmampuan untuk mengubah Syariah sesuai dengan kebutuhan kontemporer, sehingga membuatnya sulit untuk beradaptasi dengan standar hukum yang berkembang. Dengan arti lain, tantangan tersebut terjadi di antara adaptabilitasnya rule of law dan stabilitasnya Syariah.
Kedua, dalam pemikiran Islam, terdapat konsep penutupan pintu ijtihad, yaitu penutupan atas proses penalaran hukum secara independen yang dilakukan oleh ulama untuk menginterpretasikan teks-teks keagamaan dalam konteks masyarakat yang baru. Penutupan ini berkonsekuensi bahwa interpretasi baru dari Al-Qur'an dan Hadis dianggap tidak dapat diterima setelah masa-masa awal Islam. Akibatnya, perubahan dalam masyarakat dan hukum kontemporer sulit diterapkan dalam kerangka Syariah. Â
Ketiga, dalam implementasi Syariah, sering kali mempertahankan beberapa bentuk ketidaksetaraan sosial yang dianggap sakral. Misalnya, perbedaan perlakuan antara pria dan wanita, serta antara Muslim dan non-Muslim (dzimmi), yang dianggap sebagai bagian dari hukum ilahi. Dalam konteks rule of law, yang menekankan prinsip kesetaraan di hadapan hukum, ketidaksetaraan ini tentunya akan menjadi tantangan besar.
Bersambung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI