Imam Ghazali menyatakan pendapatnya yang serupa terkait dengan manusia dan negara, di mana Ghazali menjelaskan bahwa manusia secara hakikat adalah seorang ciptaan Allah yang selalu bersifat kemasyarakatan atau kerap disebut makhluk sosial. Manusia tidak dapat hidup secara sendirian yang didasarkan pada dua alasan utama, yaitu:
Pertama, kebutuhan manusia untuk terus melakukan reproduksi dan menghasilkan keturunan—yang mana hanya mungkin dilakukan jika terdapat pergaulan antara laki-laki dan perempuan.
Kedua, manusia secara kodrat ilahian adalah saling memenuhi kebutuhan satu sama lain, dalam hal pakaian, makanan, dan pendidikan anak-anak.
Ghazali kemudian juga mengungkapkan, bahwa pada hakikatnya, manusia pasti memerlukan rumah untuk melindunginya dari gangguan orang lain, seperti pencuri dan penjahat, serta dari bahaya dan kekejaman lainnya yang ada di luar eksistensi dirinya. Oleh karena itu, supaya dapat membangun rumah yang aman dan menjaga lingkungannya, manusia pun dapat menjalin kerja sama dan bahu-membahu untuk membangun pagar-pagar tinggi di sekeliling pusat perumahannya. Dari situlah, manusia terinspirasi untuk membentuk suatu negara.
Dengan pembentukan negara oleh manusia-manusia yang telah bermasyarakat dan berperadaban, Ghazali kemudian menjelaskan bahwa di dalam suatu negara yang telah terbangun, negara dan agama adalah dua aspek yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya adalah ibarat “dua saudara kembar yang lahir dari satu rahim.” Pandangan Ghazali ini dapat dilihat dari perspektif logikanya ketika mendefinisikan makna hakiki dari konsep politik, sebagai berikut:
“Politik adalah sebuah sistem untuk menyejahterakan umat dan menuntunnya kepada jalan yang benar agar selamat di dunia dan akhirat.” (Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, 2016: juz I, hlm. 27).
Lebih lanjut, Ghazali menjelaskan pula betapa pentingnya ada seorang pemimpin dalam suatu negara, sebab dengan adanya pemimpin, maka urusan duniawi dan ukhrawi akan terjamin dan dapat terlaksanaa. Dalam karyanya al-Iqtishad fil I’tiqad, Ghazali menyampaikan,
“Urusan dunia dan keamanan jiwa serta harta-benda tidak bisa terjamin tanpa kehadiran seorang pemimpin negara yang ditaati rakyatnya. Sudah banyak ditemukan negara yang kacau akibat tidak memiliki pemimpin. Jika sudah demikian, bagaimana mungkin kita bisa beribadah dan menuntut ilmu dengan tenang.”
“Oleh sebab itu,” lanjut Ghazali, “ada yang menganalogikan agama dan pemerintah ibarat dua saudara kembar. Ada pula yang mengatakan agama adalah fondasi dan pemerintah sebagai penjaganya. Siapa yang tidak memiliki fondasi maka akan hancur, dan siapa yang tidak memiliki penjaga maka akan sia-sia.” (Ghazali, al-Iqtishad fil I’tiqad, 2015: hlm. 128).
Sebagaimana pandangan Al-Mawardi, Ghazali juga menjelaskan tentang wajibnya negara hadir dalam suatu masyarakat. Pemerintah (kepemimpinan dari suatu negara) akan berperan untuk menjamin stabilitas nasional, sehingga manusia dapat melaksanakan hakikat dan tujuan hidup sesungguhnya, yaitu beribadah, menuntut ilmu, dan berkarya dalam jalan Allah. Tidak akan mungkin, seseorang manusia dapat melakukan ketiga kegiatan tersebut, apabila kondisi masyarakatnya dalam keadaan yang penuh dengan kekacauan dan instabilitas.