Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Relawan - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Teori Negara Al-Farabi & Kualifikasi Pemimpin Ideal: Apa yang Harus Dimiliki Seorang Kepala Negara?

9 Januari 2025   19:00 Diperbarui: 21 November 2024   01:53 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Al-Farabi (Sumber gambar: PrimeGroupUSA)

Al-Farabi hidup pada masa pemerintahan Khalifah Mu'tamud (870-892 M) dan meninggal pada masa khalifah Muti'. Hidupnya Al-Farabi sezaman dengan kacau-balaunya politik Islam yang saat itu belum pernah stabil. Dalam situasi yang demikian, muncul karya monumentalnya yang berjudul Ara' Ahl Madinah al-Fadhilah.

Pendapat Al-Farabi serupa dengan Ibnu Rabi', yang mana Al-Farabi menekankan bahwa manusia tidak dapat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa bantuan manusia lainnya. Dengan kondisi seperti itu, manusia akan bekerja sama dengan manusia lainnya.  

Kemudian, terdapat dua konsepsi politik yang dicetuskan oleh Al-Farabi. 

Pertama, Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah), di mana manusia adalah makhluk sosial, sehingga ia memiliki kecenderungan untuk selalu membentuk masyarakat. Kerja sama dalam proses membentuk masyarakat itu memiliki tiga bentukan, yaitu kerja sama di antara penduduk dunia pada umumnya; kerja sama di dalam suatu komunitas masyarakat (ummah); dan kerja sama di antara sesama penduduk dalam satu kota (madinah).

Dalam memenuhi kerja sama tersebut, manusia membutuhkan suatu asosiasi politik. Asosiasi tersebut ditujukan untuk wadah bekerja sama, dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keperluan hidup masing-masing di antara anggotanya. Menurut Al-Farabi, asosiasi tersebut terbagi menjadi tiga, yaitu: bagian terbesar, yang diidentikkan dengan dunia pada umumnya (ma'murah); bagian sedang, yang dipersamakan dengan suatu bangsa (umat); dan bagian terkecil, yang sering kali disebut sebagai kota atau negara kota (madinah polis).

Kedua, Lawan Negara Utama,  di antaranya:

  • Negara Bodoh (al-Madinah al-Jahiliah), terbagi dengan enam jenis, antara lain: Kota Primitif (al-Madinah al-Dharuriyyah); Kota Hedonis (al-Madinah al-Nadzalah); Kota Hina dan Sakit (al-Madinah al-Khassas); Kota Penghormatan atau Gila Penghormatan (al-Madinah al-Karamah); Kota Tirani atau Despotis (al-Madinah al-Taghallub); dan Negeri Anarkis (al-Madinah al-Jama'iyah).
  • Negara Fasik (al-Madinah al-Fasiqah), yaitu negara yang mengetahui akal, kebahagiaan sejati, dan Tuhan, tetapi saat menerapkan dalam kenegaraan tidak menjalankan segalanya berdasarkan ketiga landasan yang tersebut sebelumnya. Negara seperti ini adalah negara yang mengetahui nilai-nilai keutamaan dan kebajikan, tetapi bertindak sebaliknya.
  • Negara Sesat (al-Madinah al-Dhallah), yaitu negara yang diliputi oleh kesesatan, penipuan, dan keangkuhan. Dengan mengambil peran kenabian, para pemimpin terus-menerus mengucapkan kebohongan, kesesatan, penipuan, bahkan menampilkan keangkuhan, sehingga negara berjalan dalam jalur kesesatan.
  • Negara yang berubah ke arah keburukan (al-Madinah al-Mutabaddilah), yaitu negara yang berubah dari nilai-nilai yang sesuai dengan Negara Utama, tapi seiring berjalannya waktu, ia mulai meninggalkan nilai-nilai keutamaan itu. Perubahan itu terus-menerus berjalan ke arah keburukan sampai-sampai negara itu akan finish dalam kehancurannya sendiri.

Tambahan argumentasi Al-Farabi mengenai asal-mula negara adalah tujuan kebahagiaan manusia. Al-Farabi menjelaskan bahwa tumbuhnya komunitas masyarakat tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, tetapi juga untuk memberikan dan mencapai kelengkapan dalam hidup, yang akan memberikan kepada manusia untuk kebahagiaan. Tidak saja dalam aspek materiel, tetapi juga spiritual. Tidak saja dalam segi duniawi, tetapi juga dalam segi ukhrawi.

Secara garis besar, pemikiran Al-Farabi terpengaruh dengan utopianis platonik, tetapi dengan memadukannya agar bersanding dengan nilai-nilai politik dalam Islam. Dalam pemikirannya, Al-Farabi dan Plato, sama-sama menekankan kehadiran ilahiah untuk dapat menjalankan undang-undang dan berperan aktif dalam negara, supaya warga negara dapat berkontribusi maksimal dalam berlangsungnya rezim yang bersangkutan. Demikian halnya oleh penguasa, mereka pun harus memberikan akses infomasi kebenaran tentang ilahiah kepada warganya. Selain itu, kedua tokoh dari Islam dan Yunani ini sama-sama mengklaim bahwa "warga" harus bertindak dengan baik dalam perjalanan mereka menuju kebahagiaan tertinggi.

Al-Farabi pun dipengaruhi dengan pemikiran-pemikiran dari Aristoteles. Salah satunya adalah dalam hal pentingnya keterlibatan warga negara dalam pemerintahan. Hal ini adalah satu "revolusi berpikir", sebab keterlibatan warga negara pada zamannya adalah hal yang sangat tabu untuk dibahas.

Dengan berbagai pengaruh tersebut, maka pemikiran Al-Farabi adalah suatu perpaduan antara filsafat Plato dan Aristoteles---yang juga pasti disesuaikan dengan nilai-nilai keislaman---dengan dijabarkan melalui konsep-konsep musyawarah ala Aristoteles agar dapat menempatkan warga negara di dalam konsep masyarakat ala Platonis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun