Ditambah lagi, bilamana Sunan Kalijaga menemukan adat-adat yang mudah diubah dan jelas bertentangan dengan syariat, Sunan Kalijaga pun langsung mengubahnya. Misalnya, adat-adat yang tidak terlalu mengakar dan sepele, sehingga dapat diubah dengan mudah oleh Sunan Kalijaga. Dalam kata lain, strategi pertama dakwahnya Sunan Kalijaga adalah ”menyesuaikan dengan keadaan dan masyarakatnya”.
Kedua, Sunan Kalijaga menggunakan prinsip Tut Wuri Handayani, yaitu mengikuti dari “belakang” perilaku dan adat-istiadat rakyatnya, tetapi dengan sedikit demi sedikit mempengaruhinya untuk berubah agar dapat menyesuaikan perilaku masyarakat setempat dengan syariat Islam.
Ketiga, prinsip Tut Wuri Hangiseni, yaitu mengikuti dari “belakang” sembari mengisi kepercayaan atau ajaran-ajaran agama Islam secara berkala dan berakhlak. Misalnya, Sunan Kalijaga mengikuti rakyat Jawa yang gemar menonton wayang. Maka dari itu, pertama-tama ia harus mengikuti adatnya dengan memainkan wayang dan mengubahnya menjadi wayang yang tidak syirik, di sinilah ia menerapkan Tut Wuri Hangiseni.
Untuk contoh kontemporer dalam langkah dan strategi Sunan Kalijaga ini kita dapat menyaksikannya pada Cak Nun (K. H. Emha Ainun Nadjib) dengan musik gamelannya a la Kiai Kanjeng, Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf dengan shalawatnya yang nge-trend, dan Habib Husein bin Ja’far Al-Haddar yang mengikuti trend anak muda dalam YouTube dan media sosial lainnya. Ketiga tokoh agama ini adalah tokoh agama yang sekaligus budayawan, tokoh yang sama-sama menerapkan Tut Wuri Handayani dan Tut Wuri Hangiseni a la Sunan Kalijaga. Yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan ketiga tokoh agama kontemporer ini adalah pendekatan kultural untuk berdakwah dan menyebarkan ajaran agama Islam kepada rakyat.
Contoh lainnya dalam rangka mengikuti kebiasaan rakyat Jawa pada masa itu adalah ketika Sunan Kalijaga mengetahui bahwa rakyat Jawa suka sekali dengan “kesaktian-kesaktian”. Namun, kesaktian-kesaktian a la Sunan Kalijaga ini ditujukan untuk menegakkan syariat Islam dan tauhid. Kesaktian yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga kemudian tidaklah bersumber dari para jin-jin kafir, setan, dan iblis-iblis, tetapi ditujukan untuk mengajarkan rakyat Jawa pada masa itu untuk meminta langsung pada Gusti Allah taala yang Maha Sakti dengan cara berdzikir kepada-Nya, bershalawat kepada Nabi-Nya yang terkasih, dan menyebut asma-asma-Nya yang Agung.
Keempat, menghindarkan konfrontasi secara langsung dengan masyarakat dalam hal menyiarkan agama Islam. Sunan Kalijaga yang anti-konfrontasi ini, dapat diibaratkan sedang berusaha mengambil ikan di suatu kolam, tetapi tetap berusaha juga untuk tidak mengeruhkan airnya. Dengan demikian, hasil “mancing” yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dapat menjadi banyak dan berbuah kebaikan yang masif, dengan “air” atau kondisi kemasyarakatannya tidak keruh dan tidak rusak.
Strategi keempat ini terbukti dengan Islam terus berjaya di Nusantara hingga sekarang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H