Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ketika Alam Berbicara: Etika Lingkungan di Balik Kebakaran Hutan & Kerusakan Ekosistem

15 Desember 2024   19:00 Diperbarui: 19 November 2024   07:00 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Adobe Stock

Tindakan-tindakan seperti memadamkan kebakaran alami , mengurangi populasi hewan, atau mengelola populasi spesies:

Tindakan ini dapat dianggap sah secara moral, bahkan kadang diperlukan, tergantung pada kerangka etika yang digunakan. Misalnya, dari perspektif anthropocentric (di mana kesejahteraan manusia diutamakan), tindakan ini mungkin perlu dilakukan untuk melindungi kepentingan manusia, seperti mencegah kebakaran hutan yang mengancam atau melindungi lahan pertanian. Dari perspektif ecocentric (berfokus pada keseimbangan ekosistem) atau biocentric (merujuk pada pandangan etika yang menempatkan nilai intrinsik pada semua makhluk hidup, baik manusia maupun non-manusia), yang menganggap nilai intrinsik ekosistem atau spesies, tindakan ini mungkin bisa dibenarkan jika dilakukan untuk menjaga keseimbangan dan kesehatan ekosistem secara keseluruhan.

Teknik tebang dan bakar  dalam pertanian:

Secara moral, teknik ini dapat dinilai dari dua sisi: anthropocentric dan non-anthropocentric. Bagi petani di negara-negara non-industri, teknik ini mungkin dilihat sebagai kebutuhan untuk bertahan hidup, dan dari sudut pandang anthropocentric, hal ini bisa dibenarkan. Namun, dari perspektif etika lingkungan, teknik ini sering kali merusak ekosistem dan tidak berkelanjutan, sehingga menimbulkan pertanyaan etis terkait kerusakan jangka panjang terhadap tanah dan keanekaragaman hayati. 

Di sisi lain, dari perspektif ecocentric atau biocentric, teknik ini sering dianggap merusak ekosistem, mengurangi keanekaragaman hayati, dan berkontribusi pada degradasi tanah serta perubahan iklim. Ini karena pembakaran hutan melepaskan karbon ke atmosfer, menghancurkan habitat alami, dan merusak keseimbangan ekologi jangka panjang.

Kewajiban moral perusahaan tambang untuk memulihkan ekosistem:

Ada alasan kuat untuk mengatakan bahwa perusahaan tambang memiliki kewajiban moral untuk memulihkan ekosistem yang mereka rusak, berdasarkan prinsip keadilan lingkungan dan tanggung jawab moral. Jika kita menerima bahwa ekosistem memiliki nilai intrinsik, maka pemulihan lingkungan menjadi kewajiban etis. Bahkan dari perspektif anthropocentric, pemulihan ini penting untuk kesejahteraan manusia pada masa depan dan menjaga keberlanjutan sumber daya.

Lingkungan yang dipulihkan oleh manusia vs. lingkungan alami:

Nilai lingkungan yang dipulihkan oleh manusia sering kali diperdebatkan. Pemulihan memang dapat mengurangi kerusakan, tetapi ekosistem yang dipulihkan mungkin tidak memiliki kompleksitas yang sama dengan ekosistem alami. Pendukung nilai intrinsik mungkin berargumen bahwa ekosistem alami memiliki hubungan rumit yang tak bisa sepenuhnya digantikan oleh intervensi manusia. Dari sudut pandang anthropocentric, lingkungan yang dipulihkan bisa tetap bernilai jika membantu manusia dan mengurangi dampak kerusakan sebelumnya.

Nilai instrumental vs. nilai intrinsik:

Nilai instrumental merujuk pada kegunaan sesuatu untuk tujuan tertentu (misalnya, pohon untuk kayu), sedangkan nilai intrinsik berarti sesuatu bernilai dalam dirinya sendiri, terlepas dari kegunaannya bagi manusia. Jika kita menganggap ekosistem, spesies, atau makhluk hidup tertentu memiliki nilai intrinsik, maka kita memiliki kewajiban moral untuk menghormatinya dan tidak merusaknya, bahkan jika itu bertentangan dengan kepentingan manusia. Misalnya, dalam pandangan etika lingkungan yang mendukung nilai intrinsik, seekor hewan atau tumbuhan mungkin dianggap memiliki hak moral untuk ada, terlepas dari apakah hewan tersebut berguna bagi manusia atau tidak.

Apakah salah mencemari dan merusak lingkungan?

Pertanyaan ini menyentuh perdebatan mengenai nilai instrumental vs. nilai intrinsik. Jika kita mengambil pendekatan anthropocentric, perusakan lingkungan salah karena merugikan manusia dengan merusak keberlanjutan lingkungan. Namun, jika kita menganggap bahwa alam memiliki nilai intrinsik, maka pencemaran dan perusakan tetap salah karena tidak menghormati nilai alam itu sendiri, terlepas dari dampaknya terhadap manusia. Pendekatan ini sering dipegang oleh para ahli etika lingkungan yang berpendapat bahwa alam memiliki hak moral yang perlu dihormati.

Kesimpulannya,

Etika lingkungan mengkaji bagaimana menyeimbangkan kebutuhan manusia dengan tanggung jawab moral terhadap alam. Beberapa kerangka etika menganggap alam memiliki nilai intrinsik yang harus dihormati, sedangkan yang lain lebih anthropocentric, memandang alam terutama berdasarkan manfaatnya bagi manusia. Keputusan etis dalam situasi seperti tebang dan bakar atau pemulihan lingkungan sangat bergantung pada apakah kita mengakui nilai intrinsik alam atau hanya nilai instrumennya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun