Tan Malaka dengan pemikirannya yang brilian telah menjelaskan banyak hal mengenai seni peperangan dan metode revolusi. Dalam hal peperangan, Tan Malaka juga merinci anasir-anasir yang patut menjadi perhatian saat dalam peperangan. Hal ini disampaikan dalam Gerpolek, yaitu salah satu karyanya yang ditulis di penjara Madiun menerangkan dengan sangat lengkap.
Tan Malaka menjelaskan bahwa geografi suatu bangsa sangatlah mempengaruhi strategi perang yang digunakan. Perbedaan letak geografis mengharuskan bangsa-bangsa menyesuaikan strategi militer mereka sesuai dengan kondisi alam sekitar. Hal dibedakan menjadi tiga aspek geografis, yaitu bangsa pulau, bangsa daratan, dan bangsa pegunungan.
Pertama, keadaan geografi bangsa pulau yang dikelilingi laut, seperti Inggris. Bangsa pulau ini memprioritaskan armada laut dan angkatan udara, karena medan tempur mereka lebih berkaitan dengan pertahanan dari serangan maritim dan udara. Dalam sejarahnya, Inggris lebih fokus pada pertahanan, terutama saat masa damai, untuk melindungi wilayahnya dari invasi.
Kedua, bangsa daratan, yang berada di tengah-tengah benua Eropa, seperti Jerman. Bangsa daratan seperti ini lebih mengandalkan angkatan darat dan angkatan udara. Hal ini disebabkan oleh karena mereka jauh dari lautan yang signifikan, sehingga mereka tidak terlalu mementingkan armada laut seperti Inggris. Jerman memiliki kecenderungan untuk mengembangkan strategi penyerangan, berbeda dengan Inggris yang lebih defensif.
Ketiga, bangsa pegunungan yang berada di tengah benua Eropa. Bangsa pegunungan seperti Swiss ini tidak memerlukan armada laut. Sebaliknya, mereka lebih fokus pada pertahanan darat dan angkatan udara, serta menggunakan strategi yang lebih mengarah pada defensif, karena kondisi alam yang memungkinkan mereka untuk bertahan dari serangan.
Dalam hal ini, Tan Malaka juga menunjukkan bahwa posisi geografis sangat mempengaruhi jenis persenjataan dan strategi militer yang dibangun oleh suatu negara. Tan Malaka menekankan bahwa perkembangan teknologi dan perkakas (alat) senjata dari zaman ke zaman membawa perubahan besar dalam strategi militer dan taktik perang.
Perkembangan ini bermula pada zaman dahulu, ketika tombak dan kapak batu masih digunakan, maka taktik perang sangat sederhana dan lebih mengandalkan kekuatan fisik dan alat primitif. Berkembang terus-menerus sampai pada era modern, ketika persenjataan sudah berkembang ke arah meriam, tank, pesawat terbang, bom atom, roket, hingga senjata biologis dan klimatologis, maka latihan dan strategi perang pun berubah drastis. Prajurit modern harus dilatih untuk bertahan dari ancaman yang lebih kompleks, seperti serangan dari udara, ledakan bom, dan serangan jarak jauh.
Sebagai contoh, prajurit zaman dahulu yang melindungi diri di belakang perisai harus dilatih dengan cara yang sangat berbeda dibandingkan prajurit modern yang bertempur di bunker bawah tanah, terlindung oleh baja, dan didukung oleh meriam dan pesawat terbang.
Intinya, perkembangan senjata berbanding lurus dengan perubahan taktik perang. Semakin canggih senjata, semakin canggih pula strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa.
Tidak hanya geografi (bumi) dan senjata, Tan Malaka kemudian menerangkan tentang manusia atau orang (prajurit). Ia menjelaskan bahwa jumlah prajurit yang terlibat dalam perang akan mempengaruhi panjangnya front dan strategi yang akan digunakan. Misalnya, menurut Tan Malaka, pada zaman Iskandar Zulkarnaen (Alexander the Great), di mana ia berhasil menaklukkan sebagian besar dunia hanya dengan sekitar 40.000 prajurit, medan tempurnya jauh lebih kecil dan strategi perangnya lebih fleksibel.
Selanjutnya, dalam Perang Dunia I, Jerman menggunakan lebih dari 6 juta prajurit, dan dalam Perang Dunia II, Soviet Rusia mengerahkan hingga 20 juta prajurit. Peningkatan jumlah prajurit ini memperpanjang garis front peperangan, dan strategi seperti pengepungan atau tembus-menembus barisan musuh menjadi lebih sulit untuk dilakukan, terutama di perang parit (trench warfare) yang digunakan pada Perang Dunia I.