Kelas menengah ini banyak terlibat dalam birokrasi dan politik, tetapi tidak selalu dengan semangat nasionalisme. Sebaliknya, mereka mungkin lebih fokus pada stabilitas dan kontrol negara, yang tercermin dalam pengembangan birokrasi yang lebih besar dan kompleks serta dalam upaya untuk memelihara struktur administratif yang ada.
Kondisi demikian tersebut diperparah pada pertengahan 1950-an, di mana Sukarno mulai mendukung kembalinya Konstitusi 1945, yang sebelumnya telah diubah oleh Konstitusi Sementara 1950. Konstitusi 1945, yang awalnya diadopsi pada awal kemerdekaan, memiliki pengaruh nuansa fasisme, di mana konstitusi ini mendukung model negara integralistik yang lebih mengutamakan kolektivitas dan kesatuan daripada hak individu.
Konstitusi 1945 juga mengedepankan negara sebagai entitas yang mengutamakan kesatuan dan harmoni kolektif daripada perlindungan hak individu. Negara dipandang sebagai keluarga di bawah pengawasan Sang Bapak, dengan prioritas pada kekuasaan negara daripada hukum (machtsstaat daripada rechtsstaat). Ini menunjukkan pergeseran dari demokrasi liberal menuju bentuk pemerintahan yang lebih otoriter dan paternalistik.
Dengan kembali ke Konstitusi 1945, Sukarno dan para pemimpin politik lainnya mengadopsi model yang lebih tertutup dan konservatif, menggantikan semangat terbuka dan progresif dari periode awal kemerdekaan. Hal ini mencerminkan perubahan dari upaya awal untuk menciptakan pemerintahan yang demokratik dan inklusif menuju sistem yang lebih terpusat dan berorientasi pada kontrol.
Terjadilah pergeseran demokrasi ke arah otoriterianisme, yang dipicu oleh keputusan untuk kembali ke Konstitusi 1945, yang lebih mengutamakan negara daripada hak-hak individu. Dengan dukungan Presiden Sukarno dan pejabat politik lainnya, pemerintahan mulai mengadopsi kebijakan yang lebih otoriter. Fokus pada kesatuan nasional dan stabilitas politik menggantikan aspirasi awal untuk demokrasi dan hak-hak sipil. Hal ini tercermin dalam pengabaian proses konstitusi dan meningkatnya pengaruh kekuasaan eksekutif.
Kelas menengah sebagaimana disebutkan sebelumnya, yang banyak terlibat dalam birokrasi, berperan dalam mendukung dan menegakkan perubahan otoriter ini. Mereka mungkin merasa bahwa struktur otoriter yang lebih stabil akan lebih menguntungkan bagi kepentingan mereka dan memberikan kontrol yang lebih besar dalam menghadapi ketidakpastian politik.
Pergeseran ke arah otoriter ini mengarah pada krisis demokrasi dan penurunan hak-hak kewarganegaraan. Dengan meningkatnya kontrol negara dan penurunan ruang bagi partisipasi politik yang inklusif, hak-hak individu dan prinsip-prinsip demokrasi semakin terabaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H