Akibat dari kegagalan konstitusi ini adalah terjadinya kemunduran dalam membangun sistem demokrasi yang solid. Negara menjadi lebih fokus pada stabilitas politik dan pengendalian kekuasaan daripada pada pembangunan institusi hukum yang mendukung kewarganegaraan dan hak-hak sipil. Lagi-lagi, fase ini menandai pergeseran dari upaya awal untuk mendirikan pemerintahan yang demokratis dan melindungi hak-hak dasar ke arah bentuk pemerintahan yang lebih terpusat dan otoriter.
Kondisi ini dipengaruhi oleh sistem dan keadaan di Indonesia. Sebagai negara pasca-kolonial, Indonesia mewarisi sebuah negara yang dirancang untuk "kontrol dan ekstraksi", bukan untuk mendukung pembangunan bangsa atau menjamin kewarganegaraan. Hal ini mengakibatkan negara memiliki kelemahan struktural, dengan sistem pemerintahan yang lebih fokus pada pengendalian daripada pembangunan institusi yang mendukung demokrasi.
Kelemahan negara juga disebabkan oleh pengalaman panjang dalam perang dan revolusi yang melemahkan kapasitas administratif dan politik, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Kondisi ini membuat negara kesulitan dalam membangun dan mempertahankan institusi demokrasi yang solid.
Tidak adanya ekonomi nasional yang kuat kemudian juga menambah persoalan bagi bangsa dan negara Indonesia. Dengan infrastruktur yang terabaikan sejak akhir 1920-an dan beban utang besar dari pemerintah Belanda, Indonesia menghadapi tantangan dalam membangun basis ekonomi yang solid untuk mendukung pembangunan negara.
Ekonomi Indonesia, pada masa itu, terfragmentasi antara bagian barat dan timur. Bagian barat, yang kaya akan sumber daya, seperti minyak dan karet, lebih memiliki kemakmuran, sedangkan bagian timur, yang mengandalkan ekspor kopra, semakin tertinggal dibandingkan bagian barat. Ketimpangan ini mencerminkan perbedaan dalam pembangunan ekonomi dan akses ke sumber daya alam pada masa awal pembentukan Indonesia.
Pemerintah Indonesia kemudian mencoba menerapkan sistem nilai tukar berganda yang malah mendorong terjadinya berbagai penyelundupan dan memfasilitasi munculnya ekonomi bayangan. Dalam sistem ini, kolusi antara pengusaha, militer, politisi, dan birokrat kerap terjadi, sehingga memperparah ketimpangan ekonomi dan memperkuat jaringan neo-patrimonial.
Peran militer dalam ekonomi Indonesia pun menjadi semakin dominan, yang berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara tetangga, seperti Singapura, yang menyerap modal bisnis dari Tionghoa Indonesia. Fragmentasi ekonomi dan kekuatan militer yang berlebihan mempengaruhi dinamika ekonomi nasional dan hubungan internasional.
Setelah kemerdekaan, dapat dikatakan bahwa Indonesia mewarisi elite birokrasi yang besar dan "konservatif" dari era-era kolonial. Banyak pejabat senior yang telah dilatih oleh Belanda untuk tetap berada di posisi puncak birokrasi nasional. Elite ini cenderung memprioritaskan stabilitas negara daripada mobilisasi nasional atau pembaharuan sosial. Oleh karena itu, banyak hukum, regulasi, prosedur, dan praktik administratif dari era kolonial tetap diterapkan setelah kemerdekaan. Sikap administrasi ini mencakup ketidakpercayaan dari masyarakat, pendekatan administratif sentralistik dan patronase, serta prioritas terhadap kesatuan dan kepentingan negara. Proses "Indonesianisasi" kemudian lebih banyak berkisar pada penggantian pejabat Belanda dengan warga negara Indonesia tanpa mengubah substansi atau bentuk birokrasi.
Selain itu, Indonesia mewarisi tradisi neo-patrimonial yang telah berkembang di banyak bagian kolonial, terutama di daerah yang diperintah secara tidak langsung. Ini berarti bahwa banyak praktik korupsi dan patronase yang berkembang selama periode kolonial terus berlanjut dalam birokrasi pasca-kolonial.
Ditambah pula, pada tahun yang sama, Indonesia mengalami kemunculan kelas menengah baru yang sebagian besar merupakan hasil dari sistem kolonial. Kelas ini terdiri dari individu yang telah mendapatkan pendidikan Barat dan memilih karier profesional alih-alih bergabung dengan birokrasi kolonial. Kelas menengah ini merasa tertarik dengan modernitas, tetapi mereka tidak selalu mengaitkan modernitas tersebut dengan nasionalisme.
Banyak anggota kelas menengah ini lebih berorientasi kepada negara daripada nasionalisme. Mereka sering kali merasa lebih nyaman dengan struktur negara dan administrasi yang ada, daripada dengan perubahan radikal yang mungkin berisiko bagi karier mereka dalam birokrasi kolonial. Modernitas bagi mereka merupakan gaya hidup yang menarik, tetapi tidak selalu berarti afiliasi dengan ideologi nasionalis.