Indonesia towards democracy, mengidentifikasi tiga fase perkembangan Indonesia pada tahun 1950-an sebagai berikut:
Taufik Abdullah, dalamPertama, fase Indonesia Merdeka, yaitu fase yang menggambarkan Indonesia setelah mencapai kemerdekaan dan kedaulatan dari penjajahan Belanda. Pada masa ini, terdapat harapan yang besar untuk mendirikan negara yang demokratis dengan sistem pendidikan yang berkembang, peradilan yang independen, dan adanya mobilitas-vertikal dalam masyarakat. Indonesia pada fase ini tampak bergerak menuju pembentukan demokrasi yang solid dan pelaksanaan hak-hak sipil.
Kedua, fase Demokrasi yang Menjanjikan. Dalam fase ini, Indonesia terlihat bergerak menuju demokrasi dengan adanya upaya untuk memperkenalkan kebebasan pers, penyusunan konstitusi baru, dan pengembangan hak-hak kewarganegaraan. Konstitusi Sementara tahun 1950, meskipun belum menjanjikan hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat, menunjukkan aspirasi untuk menciptakan sistem demokrasi yang lebih terbuka. Namun, fase ini tidak bertahan lama karena sejumlah tantangan politik dan administrasi.
Ketiga, fase Negara Neo-Patrimonial, yakni fase yang mengarah pada pergeseran menjadi negara neo-patrimonial, di mana negara tidak lagi berfungsi sebagai alat untuk membangun bangsa dan melindungi kewarganegaraan. Sebaliknya, negara menjadi sumber daya bagi jaringan neo-patrimonial yang mengutamakan hubungan politik dan kekuasaan. Dalam fase ini, hubungan di domain publik semakin dipolitisasikan, dan partai politik besar mulai mendirikan organisasi budaya mereka sendiri untuk bersaing dengan Lekra yang didominasi oleh kepentingan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dalam analisisnya, Taufik Abdullah menyoroti bagaimana perjuangan kekuasaan dan praktik neo-patrimonial menggantikan secara keseluruhan upaya awal untuk membangun demokrasi dan perlindungan hak-hak kewarganegaraan. Fase ketiga ini menandai perubahan dari optimisme awal tentang demokrasi dan kemerdekaan ke arah sistem politik yang lebih terpusat dan dikuasai oleh kepentingan politik dan jaringan kekuasaan.
Konstitusi Sementara 1950 dan piagam hak asasi manusia yang dirancang pada tahun 1956 menjanjikan hak-hak dasar, seperti kebebasan melakukan pergerakan (aksi massa), kebebasan beragama, pikiran, ekspresi, pertemuan, asosiasi, hak untuk mogok, dan demonstrasi. Konstitusi ini memberikan fondasi bagi kewarganegaraan dan hak-hak sipil di Indonesia.
Meskipun demikian, proses konstitusi tersebut tidak berhasil diteruskan. Presiden Sukarno dan Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal A. H. Nasution membatalkan proses tersebut. Tindakan ini mengakibatkan kegagalan untuk membangun dan menguatkan institusi demokrasi yang stabil di Indonesia.
Kegagalan ini disebabkan oleh beberapa faktor:
1) Pergeseran Kekuasaan, yaitu fase ketiga yang ditandai dengan perjuangan kekuasaan dan politik yang semakin terpolarisasi menyebabkan institusi dan proses konstitusi menjadi tidak efektif.
2) Kelemahan Negara, di mana Negara Indonesia yang baru merdeka mengalami kelemahan struktural dan administratif. Pengalaman perang dan revolusi yang berkepanjangan, serta warisan kolonial, menghambat kemampuan negara untuk menerapkan dan mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi.
3) Dominasi Kekuasaan Politik, yang digambarkan dengan meningkatnya pengaruh jaringan neo-patrimonial dan dominasi politik, upaya untuk membangun demokrasi yang kuat dan institusi hukum yang stabil menjadi terabaikan.