Indonesia mendapatkan kedaulatannya dari Belanda, ia disambut oleh parade massa yang besar, kurang-lebih "jutaan orang" saat itu datang ke istana. Peristiwa ini kemudian menandai kemenangan politik dan keberhasilan revolusi nasional bangsa Indonesia melawan kekuasaan kolonial Belanda.
Pada tanggal 28 Desember 1949, saat di mana Presiden Sukarno kembali ke Jakarta setelahDengan menghampiri istana bekas Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Presiden Sukarno secara simbolis mengukuhkan penguasaan dan peralihan kekuasaan dari penjajah kepada pemerintahan Indonesia yang baru. Peristiwa bersejarah penuh makna ini adalah satu tindakan peneguhan kedaulatan dan pengakuan bahwa Indonesia sekarang telah memiliki kendali atas apa yang dulunya adalah istana---pusat kekuasaan kolonial. Oleh karena itu, pertemuan mahabesar yang dipenuhi oleh jutaan massa ini menandai kemenangan Indonesia atas kolonialisme.
Momen tersebut dianggap sebagai puncak kepemimpinan revolusi nasional Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno, yang tidak hanya merayakan kemenangan politik saja, tetapi juga berhasil mewujudkan cita-cita nasionalisme Indonesia.Â
Pada tahun 1950, Indonesia kemudian mencapai puncak nasionalismenya lagi, yakni keberhasilan bangsa yang beragam ini melakukan transisi dari negara federasi beranggotakan 16 negara bagian menjadi republik-kesatuan yang hanya berlangsung dalam waktu singkat. Proses ini berjalan relatif sangat mulus dan tanpa paksaan dari kekuasaan federal. Peralihan yang begitu cepat ini dapat terjadi sebab proses didorong oleh pemimpin lokal yang terlibat dalam revolusi nasional. Keberhasilan ini menunjukkan puncak kekuatan nasionalisme yang menyatukan berbagai elemen masyarakat.
Nasionalisme Indonesia pun berada pada puncaknya, sebab kekuatan rasa persatuan mengikat seluruh kepulauan Indonesia menjadi satu negara kesatuan yang kuat dan terintegrasi. Masa ini adalah saat di mana semangat nasionalisme Indonesia menjadi dasar inspirasi yang mempersatukan berbagai kelompok di seluruh negeri.
Tahun 1950 pun menjadi tahun di mana terjadinya peluncuran identitas nasional yang baru. Negara Indonesia merayakan identitasnya yang baru dengan penuh rasa percaya diri, yang menandakan keyakinan dan optimismenya untuk menyongsong masa depan. Hal ini tercermin dalam berbagai inisiatif budaya dan politik yang bertujuan untuk membentuk dan memantapkan identitas nasional.
Indonesia juga mengadopsi pengaruh dari dunia internasional, baik dari Barat (Amerika Serikat) maupun Timur (Cina, Mesir, dan dunia Muslim). Misalnya, penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung menunjukkan posisi Indonesia sebagai bagian dari gerakan global negara-negara non-blok yang mencoba menemukan jalur independen di antara blok-blok besar dunia pada masa Perang Dingin. Pengaruh internasional ini menambah kompleksitas dalam proyek identitas nasional, karena Indonesia harus menavigasi antara berbagai model modernitas, termasuk yang sosialistik dan Islamis.
Dengan demikian, terdapat dorongan besar untuk membangun budaya nasional yang mencerminkan modernitas dan kemajuan. Nasionalisme tidak hanya menjadi kekuatan pemersatu, tetapi juga harus menjadi pendorong penciptaan budaya baru yang terinspirasi oleh perkembangan global dan aspirasi modernitas internasional.
Manifesto Budaya Asrul Sani, atau "Testimonial of Beliefs" yang diterbitkan pada tanggal 18 Februari 1950, berfungsi sebagai pernyataan penting tentang arah dan makna budaya Indonesia pasca-kemerdekaan. Manifesto ini mengabaikan batasan-batasan budaya tradisional dan menekankan proses kreatif dan modernitas. Budaya Indonesia dipandang sebagai hasil ciptaan aktif, bukan warisan yang pasif.
Manifesto ini bukanlah definisi tetap dari budaya Indonesia, melainkan lebih merupakan deklarasi tentang masa depan. Asrul Sani dan rekan-rekannya menganggap budaya sebagai sesuatu yang terus berkembang dan diciptakan, bukan sesuatu yang hanya diwarisi dari masa lalu. Mereka menyatakan bahwa budaya Indonesia harus dipandang sebagai proses kreativitas yang dinamis.Â
Dalam manifesto tersebut, budaya Indonesia dianggap sebagai pewaris sah dari budaya global. Asrul Sani dan kelompoknya mengklaim bahwa mereka tidak hanya mewarisi budaya dari seluruh dunia, tetapi juga harus berkomitmen untuk menyampaikannya dengan cara mereka sendiri. Ini mencerminkan pandangan bahwa Indonesia harus membuka diri terhadap pengaruh budaya global sambil menciptakan sesuatu yang unik dan relevan secara lokal.