Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Relawan - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Mengapa KAA Kedua Tidak Pernah Terlaksana? Jejak Diplomasi Sukarno yang Terlupakan

22 November 2024   19:00 Diperbarui: 22 November 2024   19:18 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pikiran-Rakyat.com

Gagasan penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA) Kedua muncul sebagai tindak lanjut dari KAA yang pertama pada tahun 1955 di Bandung. KAA 1955 dikenal sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah diplomasi Asia-Afrika, yang membantu meningkatkan profil Indonesia dan negara-negara Asia-Afrika di kancah internasional.

Presiden Sukarno melihat konferensi ini sebagai kesempatan untuk menonjolkan dirinya sebagai pemimpin negara-negara Dunia Ketiga dan memanfaatkan momentum tersebut untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, terutama dalam konteks konflik dengan Federasi Malaysia dan upaya diplomasi terkait Irian Barat.

Dengan hadirnya dukungan dari negara-negara seperti Mesir dan Cina, pada tahun 1956, gagasan untuk mengadakan KAA Kedua mulai mendapatkan perhatian yang serius. Awalnya, KAA Kedua direncanakan akan diadakan di Kairo setelah bulan Ramadhan 1956. Usulan itu diberikan oleh Chou En Lai dari Cina dan pemerintah Mesir menyetujui lokasi tersebut. Namun, rencana tersebut terpaksa ditunda akibat konflik nasionalisasi Terusan Suez oleh Mesir, yang menimbulkan ketegangan internasional Mesir dengan Inggris, Prancis, dan Israel.

Meskipun Presiden Sukarno dan Pemerintah Indonesia tetap berupaya untuk menyelenggarakan KAA Kedua sebagai bentuk dukungan bangsa Indonesia terhadap Mesir dan untuk memperkuat solidaritas regional, berbagai negara tidak sepenuhnya mendukung ide tersebut, termasuk Yugoslavia dan India. Konflik dan kepentingan internasional yang mendominasi periode tersebut menyebabkan penundaan konferensi yang berkepanjangan ini sampai pada tahun 1957 dan akhirnya sampai 1960, di mana rencana untuk KAA Kedua tidak pernah terwujud.

Menteri Luar Negeri Indonesia, Soebandrio, menggarisbawahi perbedaan antara KAA Pertama (1955) dan KAA Kedua. Soebandrio menyatakan bahwa KAA Pertama adalah upaya negara-negara Asia-Afrika untuk memperjuangkan kemerdekaan, sedangkan KAA Kedua yang tak pernah terwujud ini diniatkan akan berfokus pada penyelesaian konflik di Asia, Afrika, dan dunia internasional. Melalui harian Suluh Indonesia, Soebandrio menyampaikan pentingnya KAA Kedua dengan tujuan memperbaiki hubungan internasional dan menciptakan perdamaian.

Kerja sama dengan Cina

Pada bulan April 1961, Indonesia dan Cina menandatangani perjanjian persahabatan, yang kemudian memperkuat kerja sama dalam upaya menyuarakan dan mempersiapkan KAA Kedua. Setelah perjanjian persahabatan ini, Cina dan Indonesia secara aktif menyuarakan dukungan untuk penyelenggaraan KAA Kedua. Kerja sama ini mencakup koordinasi dalam promosi rencana konferensi dan mendukung usaha-usaha diplomatik yang diperlukan.

Kemudian Cina membantu Indonesia dengan memberikan dukungan diplomatik. Hal ini termasuk dalam bentuk dorongan publik dan pernyataan resmi yang mendukung tujuan KAA Kedua. Dengan adanya dukungan dari Cina, Indonesia memperoleh dukungan penting yang memperkuat posisi tawar dalam diplomasi internasional. Dukungan Cina juga memberikan tambahan legitimasi untuk rencana Indonesia mengenai KAA Kedua.

Dengan demikian, Cina dan Indonesia bekerja sama untuk mendekati negara-negara lain di Asia dan Afrika, serta memperkuat aliansi dalam forum-forum internasional. Kerja sama ini juga termasuk pertemuan-pertemuan diplomatik yang dilakukan oleh kedua negara untuk membahas rencana dan strategi bersama.

Cina dalam hal ini berperan aktif dalam persiapan konferensi dengan memberikan dukungan politik dan diplomatik. Keterlibatan Cina membantu Indonesia untuk lebih mudah memperoleh dukungan dari negara-negara lain dan mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi dalam proses persiapan.

Diplomasi Presiden Sukarno dan Utusan Diplomatiknya

Pada awal 1960-an, Presiden Sukarno melakukan perjalanan keliling dunia dengan mengunjungi berbagai negara di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa. Meskipun perjalanan ini secara resmi dilakukan untuk mempererat hubungan diplomatik dan membahas Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Nonblok, Presiden Sukarno juga memanfaatkan kesempatan ini untuk mempromosikan dan melancarkan rencana penyelenggaraan KAA Kedua. Selama kunjungan tersebut, Presiden Sukarno melakukan "diplomasi pribadi" dengan bertemu langsung dengan pemimpin-pemimpin negara untuk menggarisbawahi pentingnya KAA Kedua dan menggalang dukungan bagi konferensi tersebut.

Dalam perjalanan diplomatiknya, Presiden Sukarno bertemu dengan sejumlah pemimpin negara. Dalam pertemuan itu, Presiden Sukarno menjelaskan visi dan tujuan KAA Kedua, serta mendiskusikan potensi kontribusi negara-negara tersebut terhadap konferensi. Presiden Sukarno tidak hanya memperkenalkan rencana KAA Kedua, tetapi juga berdiskusi secara mendalam mengenai pentingnya konferensi tersebut dalam menyelesaikan konflik global dan memperkuat solidaritas antara negara-negara Asia dan Afrika.

Tidak hanya itu, Presiden Sukarno juga mengutus diplomat-diplomat kuncinya, seperti Menteri Luar Negeri Soebandrio, Supeni Pudjobuntoro  (Duta besar keliling yang kemudian diangkat sebagai Wakil III Menteri Luar Negeri), dan Ali Sastroamidjojo  (mantan Perdana Menteri Indonesia saat KAA Pertama dan inisiator konferensi ini) untuk melanjutkan diplomasi dan membangun dukungan internasional bagi KAA Kedua. Para diplomat ini melaksanakan misi ke berbagai negara untuk mendiskusikan penyelenggaraan konferensi dan mengumpulkan dukungan dari negara-negara lain.

Diplomasi Presiden Sukarno tidak hanya terfokus pada promosi KAA Kedua, tetapi juga pada upaya untuk menyelesaikan konflik yang menghambat pelaksanaan konferensi, seperti konflik antara India dan Cina. Presiden Sukarno dan diplomat-diplomatnya aktif dalam upaya mediasi dan diplomasi untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi KAA Kedua.

Presiden Sukarno juga harus menghadapi tantangan dari negara-negara yang menunjukkan penolakan atau keraguan terhadap KAA Kedua, seperti India dan Jepang. Ia menggunakan diplomasi yang cermat untuk mengatasi keraguan ini dan mencoba untuk mendapatkan dukungan, meskipun ada perbedaan pandangan.

Penolakan dan Dukungan

Utusan diplomatik Indonesia menghadapi berbagai tantangan, termasuk penolakan atau sikap dingin dari beberapa negara penting. Misalnya, India, yang dipimpin oleh Nehru, menunjukkan respons dingin karena konflik perbatasan dengan Cina. Jepang juga menganggap bahwa saat itu belum tepat untuk mengadakan konferensi.

Meskipun ada penolakan, utusan diplomatik Indonesia berhasil memperoleh dukungan dari beberapa negara, seperti Filipina dan Irak. Filipina menyatakan dukungan melalui Emmanuel Palaez dan berjanji akan mengirimkan delegasi, meskipun awalnya hanya berkenan sebagai peserta. Dukungan juga datang dari Irak yang melihat tujuan KAA Kedua sejalan dengan gerakan revolusioner mereka.

Upaya diplomatik juga melibatkan mengatasi konflik yang menghambat pelaksanaan KAA Kedua, seperti konflik India-Cina. Upaya mediasi dilakukan dalam Konferensi Enam Negara Asia Afrika Non-Blok yang diadakan di Kolombo, Srilanka, untuk membuka jalan bagi penyelesaian damai antara India dan Cina.

Diplomasi terus dilakukan dengan utusan diplomatik mengunjungi negara-negara Afrika untuk mendapatkan dukungan lebih lanjut. Supeni Pudjobuntoro dan Ali Sastroamidjojo melakukan kunjungan ke berbagai negara Afrika, termasuk Mali, Zambia, Kongo, dan Kamerun, untuk menggalang dukungan menjelang konferensi.

Kekacauan Politik dan Pembatalan Rencana KAA Kedua

Menjelang pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika (KAA) Kedua pada tahun 1965, berbagai isu mulai mencuat, terutama terkait dengan kemungkinan pembatalan konferensi. Isu ini diperkuat oleh tuduhan terhadap beberapa negara Arab, termasuk Mesir di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Nasser, yang diklaim berencana membatalkan acara tersebut. Namun, Pemerintah Aljazair melalui duta besarnya di Indonesia menegaskan bahwa persiapan untuk KAA Kedua terus berjalan dan tidak ada upaya pembatalan. Situasi ini menunjukkan adanya ketegangan dan ketidakpastian mengenai pelaksanaan konferensi. 

Pada tanggal 19 Juni 1965, situasi menjadi semakin kompleks dengan terjadinya kudeta di Aljazair. Kolonel Houari Boumedienne menggulingkan Presiden Ahmed Ben Bella dan membentuk Dewan Revolusi untuk melanjutkan pemerintahan. Meskipun Boumedienne berkomitmen untuk menjaga stabilitas sebagai tuan rumah konferensi, ketidakpastian politik yang disebabkan oleh kudeta tersebut menambah tantangan dalam pelaksanaan KAA Kedua, yang seharusnya dimulai dalam waktu dekat.

Di tengah kekacauan politik, beberapa delegasi tetap melanjutkan persiapan mereka untuk menghadiri konferensi. Delegasi Indonesia, yang dipimpin oleh Menlu Soebandrio, berangkat pada 14 Juni 1965, meskipun adanya pembatalan keberangkatan beberapa negara dan keterlambatan lainnya. Konferensi tingkat menteri luar negeri yang seharusnya dibuka pada 24 Juni 1965 terpaksa ditunda sehari dan kemudian dijadwalkan ulang. Namun, dengan adanya penundaan lebih lanjut dan situasi keamanan yang memburuk, ketidakpastian semakin meningkat.

Kondisi semakin rumit ketika Cina secara sepihak mengajukan proposal penundaan KAA Kedua pada Oktober 1965. Cina menyampaikan empat alasan untuk penundaan, termasuk ketidakpastian tujuan konferensi dan penentangan terhadap undangan PBB serta Uni Soviet. Beberapa negara Asia lainnya mengikuti usulan Cina, yang membuat konferensi semakin tidak mungkin dilaksanakan.

Situasi di Indonesia juga turut mempengaruhi pelaksanaan KAA Kedua. Gerakan 30 September 1965 (G30S) yang menggulingkan Presiden Sukarno menandai perubahan besar dalam politik domestik Indonesia, dengan Soeharto mengambil alih kekuasaan. Kondisi politik yang tidak stabil ini, bersama dengan ketidakpastian internasional, membuat Indonesia kehilangan minat untuk melanjutkan KAA Kedua.

Pada akhirnya, KAA Kedua benar-benar tidak pernah diselenggarakan. Tahun 1965 menjadi tahun penutup bagi upaya konferensi ini, yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk kudeta di Aljazair, perubahan politik di Indonesia, dan krisis figur pemimpin di kawasan Asia-Afrika. Dengan demikian, solidaritas Asia-Afrika yang diharapkan dari KAA Kedua tidak dapat terwujud.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun