Tidak hanya itu, Presiden Sukarno juga mengutus diplomat-diplomat kuncinya, seperti Menteri Luar Negeri Soebandrio, Supeni Pudjobuntoro  (Duta besar keliling yang kemudian diangkat sebagai Wakil III Menteri Luar Negeri), dan Ali Sastroamidjojo  (mantan Perdana Menteri Indonesia saat KAA Pertama dan inisiator konferensi ini) untuk melanjutkan diplomasi dan membangun dukungan internasional bagi KAA Kedua. Para diplomat ini melaksanakan misi ke berbagai negara untuk mendiskusikan penyelenggaraan konferensi dan mengumpulkan dukungan dari negara-negara lain.
Diplomasi Presiden Sukarno tidak hanya terfokus pada promosi KAA Kedua, tetapi juga pada upaya untuk menyelesaikan konflik yang menghambat pelaksanaan konferensi, seperti konflik antara India dan Cina. Presiden Sukarno dan diplomat-diplomatnya aktif dalam upaya mediasi dan diplomasi untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi KAA Kedua.
Presiden Sukarno juga harus menghadapi tantangan dari negara-negara yang menunjukkan penolakan atau keraguan terhadap KAA Kedua, seperti India dan Jepang. Ia menggunakan diplomasi yang cermat untuk mengatasi keraguan ini dan mencoba untuk mendapatkan dukungan, meskipun ada perbedaan pandangan.
Penolakan dan Dukungan
Utusan diplomatik Indonesia menghadapi berbagai tantangan, termasuk penolakan atau sikap dingin dari beberapa negara penting. Misalnya, India, yang dipimpin oleh Nehru, menunjukkan respons dingin karena konflik perbatasan dengan Cina. Jepang juga menganggap bahwa saat itu belum tepat untuk mengadakan konferensi.
Meskipun ada penolakan, utusan diplomatik Indonesia berhasil memperoleh dukungan dari beberapa negara, seperti Filipina dan Irak. Filipina menyatakan dukungan melalui Emmanuel Palaez dan berjanji akan mengirimkan delegasi, meskipun awalnya hanya berkenan sebagai peserta. Dukungan juga datang dari Irak yang melihat tujuan KAA Kedua sejalan dengan gerakan revolusioner mereka.
Upaya diplomatik juga melibatkan mengatasi konflik yang menghambat pelaksanaan KAA Kedua, seperti konflik India-Cina. Upaya mediasi dilakukan dalam Konferensi Enam Negara Asia Afrika Non-Blok yang diadakan di Kolombo, Srilanka, untuk membuka jalan bagi penyelesaian damai antara India dan Cina.
Diplomasi terus dilakukan dengan utusan diplomatik mengunjungi negara-negara Afrika untuk mendapatkan dukungan lebih lanjut. Supeni Pudjobuntoro dan Ali Sastroamidjojo melakukan kunjungan ke berbagai negara Afrika, termasuk Mali, Zambia, Kongo, dan Kamerun, untuk menggalang dukungan menjelang konferensi.
Kekacauan Politik dan Pembatalan Rencana KAA Kedua
Menjelang pelaksanaan Konferensi Asia-Afrika (KAA) Kedua pada tahun 1965, berbagai isu mulai mencuat, terutama terkait dengan kemungkinan pembatalan konferensi. Isu ini diperkuat oleh tuduhan terhadap beberapa negara Arab, termasuk Mesir di bawah kepemimpinan Gamal Abdel Nasser, yang diklaim berencana membatalkan acara tersebut. Namun, Pemerintah Aljazair melalui duta besarnya di Indonesia menegaskan bahwa persiapan untuk KAA Kedua terus berjalan dan tidak ada upaya pembatalan. Situasi ini menunjukkan adanya ketegangan dan ketidakpastian mengenai pelaksanaan konferensi.Â
Pada tanggal 19 Juni 1965, situasi menjadi semakin kompleks dengan terjadinya kudeta di Aljazair. Kolonel Houari Boumedienne menggulingkan Presiden Ahmed Ben Bella dan membentuk Dewan Revolusi untuk melanjutkan pemerintahan. Meskipun Boumedienne berkomitmen untuk menjaga stabilitas sebagai tuan rumah konferensi, ketidakpastian politik yang disebabkan oleh kudeta tersebut menambah tantangan dalam pelaksanaan KAA Kedua, yang seharusnya dimulai dalam waktu dekat.
Di tengah kekacauan politik, beberapa delegasi tetap melanjutkan persiapan mereka untuk menghadiri konferensi. Delegasi Indonesia, yang dipimpin oleh Menlu Soebandrio, berangkat pada 14 Juni 1965, meskipun adanya pembatalan keberangkatan beberapa negara dan keterlambatan lainnya. Konferensi tingkat menteri luar negeri yang seharusnya dibuka pada 24 Juni 1965 terpaksa ditunda sehari dan kemudian dijadwalkan ulang. Namun, dengan adanya penundaan lebih lanjut dan situasi keamanan yang memburuk, ketidakpastian semakin meningkat.
Kondisi semakin rumit ketika Cina secara sepihak mengajukan proposal penundaan KAA Kedua pada Oktober 1965. Cina menyampaikan empat alasan untuk penundaan, termasuk ketidakpastian tujuan konferensi dan penentangan terhadap undangan PBB serta Uni Soviet. Beberapa negara Asia lainnya mengikuti usulan Cina, yang membuat konferensi semakin tidak mungkin dilaksanakan.