Gagasan penyelenggaraan Konferensi Asia-Afrika (KAA) Kedua muncul sebagai tindak lanjut dari KAA yang pertama pada tahun 1955 di Bandung. KAA 1955 dikenal sebagai salah satu tonggak penting dalam sejarah diplomasi Asia-Afrika, yang membantu meningkatkan profil Indonesia dan negara-negara Asia-Afrika di kancah internasional.
Presiden Sukarno melihat konferensi ini sebagai kesempatan untuk menonjolkan dirinya sebagai pemimpin negara-negara Dunia Ketiga dan memanfaatkan momentum tersebut untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, terutama dalam konteks konflik dengan Federasi Malaysia dan upaya diplomasi terkait Irian Barat.
Dengan hadirnya dukungan dari negara-negara seperti Mesir dan Cina, pada tahun 1956, gagasan untuk mengadakan KAA Kedua mulai mendapatkan perhatian yang serius. Awalnya, KAA Kedua direncanakan akan diadakan di Kairo setelah bulan Ramadhan 1956. Usulan itu diberikan oleh Chou En Lai dari Cina dan pemerintah Mesir menyetujui lokasi tersebut. Namun, rencana tersebut terpaksa ditunda akibat konflik nasionalisasi Terusan Suez oleh Mesir, yang menimbulkan ketegangan internasional Mesir dengan Inggris, Prancis, dan Israel.
Meskipun Presiden Sukarno dan Pemerintah Indonesia tetap berupaya untuk menyelenggarakan KAA Kedua sebagai bentuk dukungan bangsa Indonesia terhadap Mesir dan untuk memperkuat solidaritas regional, berbagai negara tidak sepenuhnya mendukung ide tersebut, termasuk Yugoslavia dan India. Konflik dan kepentingan internasional yang mendominasi periode tersebut menyebabkan penundaan konferensi yang berkepanjangan ini sampai pada tahun 1957 dan akhirnya sampai 1960, di mana rencana untuk KAA Kedua tidak pernah terwujud.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Soebandrio, menggarisbawahi perbedaan antara KAA Pertama (1955) dan KAA Kedua. Soebandrio menyatakan bahwa KAA Pertama adalah upaya negara-negara Asia-Afrika untuk memperjuangkan kemerdekaan, sedangkan KAA Kedua yang tak pernah terwujud ini diniatkan akan berfokus pada penyelesaian konflik di Asia, Afrika, dan dunia internasional. Melalui harian Suluh Indonesia, Soebandrio menyampaikan pentingnya KAA Kedua dengan tujuan memperbaiki hubungan internasional dan menciptakan perdamaian.
Kerja sama dengan Cina
Pada bulan April 1961, Indonesia dan Cina menandatangani perjanjian persahabatan, yang kemudian memperkuat kerja sama dalam upaya menyuarakan dan mempersiapkan KAA Kedua. Setelah perjanjian persahabatan ini, Cina dan Indonesia secara aktif menyuarakan dukungan untuk penyelenggaraan KAA Kedua. Kerja sama ini mencakup koordinasi dalam promosi rencana konferensi dan mendukung usaha-usaha diplomatik yang diperlukan.
Kemudian Cina membantu Indonesia dengan memberikan dukungan diplomatik. Hal ini termasuk dalam bentuk dorongan publik dan pernyataan resmi yang mendukung tujuan KAA Kedua. Dengan adanya dukungan dari Cina, Indonesia memperoleh dukungan penting yang memperkuat posisi tawar dalam diplomasi internasional. Dukungan Cina juga memberikan tambahan legitimasi untuk rencana Indonesia mengenai KAA Kedua.
Dengan demikian, Cina dan Indonesia bekerja sama untuk mendekati negara-negara lain di Asia dan Afrika, serta memperkuat aliansi dalam forum-forum internasional. Kerja sama ini juga termasuk pertemuan-pertemuan diplomatik yang dilakukan oleh kedua negara untuk membahas rencana dan strategi bersama.
Cina dalam hal ini berperan aktif dalam persiapan konferensi dengan memberikan dukungan politik dan diplomatik. Keterlibatan Cina membantu Indonesia untuk lebih mudah memperoleh dukungan dari negara-negara lain dan mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi dalam proses persiapan.
Diplomasi Presiden Sukarno dan Utusan Diplomatiknya
Pada awal 1960-an, Presiden Sukarno melakukan perjalanan keliling dunia dengan mengunjungi berbagai negara di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Eropa. Meskipun perjalanan ini secara resmi dilakukan untuk mempererat hubungan diplomatik dan membahas Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Nonblok, Presiden Sukarno juga memanfaatkan kesempatan ini untuk mempromosikan dan melancarkan rencana penyelenggaraan KAA Kedua. Selama kunjungan tersebut, Presiden Sukarno melakukan "diplomasi pribadi" dengan bertemu langsung dengan pemimpin-pemimpin negara untuk menggarisbawahi pentingnya KAA Kedua dan menggalang dukungan bagi konferensi tersebut.
Dalam perjalanan diplomatiknya, Presiden Sukarno bertemu dengan sejumlah pemimpin negara. Dalam pertemuan itu, Presiden Sukarno menjelaskan visi dan tujuan KAA Kedua, serta mendiskusikan potensi kontribusi negara-negara tersebut terhadap konferensi. Presiden Sukarno tidak hanya memperkenalkan rencana KAA Kedua, tetapi juga berdiskusi secara mendalam mengenai pentingnya konferensi tersebut dalam menyelesaikan konflik global dan memperkuat solidaritas antara negara-negara Asia dan Afrika.