Mohon tunggu...
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan
Daffa Fadiil Shafwan Ramadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fresh Graduate Sarjana Hukum di UPN Veteran Jakarta

"Kepriyayian bukan duniaku. Peduli apa iblis diangkat jadi mantri cacar atau diberhentikan tanpa hormat karena kecurangan? Duniaku bukan jabatan, pangkat, gaji dan kecurangan. Duniaku bumi manusia dengan persoalannya," ungkap Pramoedya A. Toer dalam Tetralogi Buru.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Melampaui Candu: Peran Agama dalam Sosialisme Modern

20 Desember 2024   10:00 Diperbarui: 18 November 2024   01:33 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Agama adalah candu rakyat," ungkapan terkenal khas Sosialis-Marxis ini telah dianggap oleh kebanyakan orang sebagai respons Marxisme terhadap gejala-gejala keagamaan dan para penganutnya. Namun, pertama-tama yang perlu kita ingat dan ketahui, bahwa kalimat tersebut bukanlah khas Marxisme, melainkan sudah banyak tokoh-tokoh filsuf lain yang berujar demikian dengan konteks yang berbeda-beda. Misalnya, kita dapat temukan dalam tulisan-tulisan Kant, Herder, Feuerbach, Bruno Bauer, dan Heinrich Heine.

Selain itu, Cronin menerangkan hal yang sama, bahwasanya Marx menggambarkan agama sebagai "candu bagi rakyat," menguraikan agama sebagai sesuatu yang bukan saja dapat memberikan penghiburan sementara atau "penenang" kepada orang-orang yang tertindas, melainkan juga menghalangi mereka untuk menyadari kondisi material atas penindasan mereka.

Istilah "penghiburan sementara" ini berkaitan dengan cara dari keagamaan dalam memberikan kelegaan emosional dan spiritual kepada orang-orang yang tertindas. Dalam hal ini, agama memainkan peran seperti "candu", yang memberikan rasa nyaman dan "pelarian" dari realitas-keras yang sesungguhnya mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, hal ini juga berarti bahwa agama juga memisahkan orang dari "realitas yang sebenarnya"---realitas bahwa penderitaan mereka bukanlah sesuatu yang alamiah atau permanen, melainkan akibat dari ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang dapat diubah.

Agama muncul layaknya memberikan "hembusan angin segar" dalam menghadapi dunia yang kejam dan tidak berperasaan ini. Dalam pengertian ini, agama adalah cara bagi orang-orang untuk mengatasi kenyataan hidupnya yang penuh dengan kesulitan, penindasan, dan ketidakadilan.

Cronin juga menerankan bahwa Marx memandan agama sebagai cerminan dari ketidaksetaraan dalam masyarakat. Misalnya saja, agama kerap kali memandang orang-orang miskin dan tertindas sebagai manusia yang mulia atau manusia yang akan mendapatkan pahala di "kehidupan setelah mati", sedangkan orang-orang kaya akan dipandang dengan manusia-manusia yang sulit untuk mendapatkan surga. Dengan kata lain, agama memutarbalikkan realitas dunia yang sebenarnya. Agama memang menawarkan versi ideal masyarakat yang lebih adil, tetapi semua keadilan ini hanya terjadi di dunia lain (akhirat), sehingga sama saja hanya seperti sebuah harapan.

Marx menyatakan bahwa agama adalah bentuk dari "fantasi pemenuhan keinginan". Agama memberikan gambaran-gambaran tentang struktur masyarakat yang seharusnya adalah kelompok yang tertindas memiliki kekuasaan. Akan tetapi, menurut Marx ini hanyalah ilusi yang memberikan penghiburan dan mencegah manusia untuk menyadari realitas penindasannya bahwa mereka sebenarnya bisa mengubah dunia material ini. Agama menyebabkan manusia menjadi pasrah saja dengan penderitaan, melalui harapan bahwa mereka akan mendapatkan kompensasi di kehidupan berikutnya, sehingga perhatian mereka dari usaha untuk mengubah keadaan di dunia nyata menjadi teralihkan.

Maka dari itu, secara dialektis Marx menilai agama tidak hanya sebagai candu yang menenangkan manusia dari rasa sakit kehidupannya, tetapi juga sebagai hambatan dalam upaya perubahan sosial menuju perbaikan kehidupan. Menurutnya, agama menyebabkan manusia-manusia menjadi tidak menyadari bahwa penderitaan mereka bukanlah kondisi alamiah dan ilahiah yang harus mereka terima begitu saja, melainkan terjadi akibat situasi material yang sesungguhnya dapat diatasi melalui perubahan struktur sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, supaya manusia-manusia dapat melihat kenyataan atas ketertindasan mereka dan mulai berjuang untuk mewujudkan perubahan, manusia perlu melepaskan diri dari agama, karena agama berfungsi untuk membuat mereka menerima keadaan mereka apa adanya.

Perkembangan itu berubah seiring berkembangnya zaman dan akal-rasional. Sosialis-Kiri ataupun Sosialis-Kanan masa kini menunjukkan sikap yang lebih pragmatis dalam menghadapi gejala-gejala keagamaan agama, sebab mereka telah menyadari bahwa kelompok-kelompok yang termarginalkan secara ekonomi sering kali memiliki tingkat religiusitas yang lebih tinggi.

Alih-alih menganggap agama sebagai ilusi yang harus dihapus sepenuhnya, kaum Sosialis-Kiri ataupun Sosialis-Kanan mengakui bahwa agama dapat menjadi alat perjuangan bagi kelompok-kelompok tertindas. Dengan melihat perubahan dalam masyarakat-masyarakat modern masa kini, di mana agama memiliki pengaruh signifikan di komunitas-komunitas tertentu, maka kaum agamais atau "agama" secara konsep dapatlah menjadi sekutu potensial dalam perjuangan perubahan sosial menuju perbaikan-perbaikan masyarakat.

Dengan kata lain, Sosialis-Kiri dan Sosialis-Kanan tidak serta-merta menolak agama sebagai satu kenyataan objektif, tetapi lebih fleksibel dalam pendekatan mereka terhadap agama. Mereka menghindari pernyataan-pernyataan yang langsung menentang agama, sehingga dapat mengasingkan massa yang religius. Mereka menyadari bahwa agama sering kali menjadi bagian dari identitas dan perjuangan mereka.

Praksis Marxis, yang berfokus pada tindakan praktis dan perubahan material dalam masyarakat, tidak melibatkan dasar agama. Marxisme lebih menekankan pada perubahan kondisi material dan sosial daripada pada keyakinan agama. Meskipun Marxisme secara teori tidak mengakomodasi agama, ada kemungkinan bahwa dalam praktik, sikap terhadap agama dapat bersifat "netral", sepanjang keyakinan agama tersebut tidak menghambat kemajuan sosialis-humanisme. Hal menunjukkan bahwa pragmatisme Marxis mungkin bisa mengadopsi sikap yang lebih fleksibel terhadap agama dalam konteks tertentu. Beberapa partai sosialis di Eropa Barat sudah mengadopsi sikap netral terhadap keyakinan pribadi, dan hal ini dapat diterapkan pada partai-partai Sosialis lainnya di dunia.

Kritik-kritik pandangan Marx terhadap agama pun bermunculannya. Pertama, agama juga pernah digunakan oleh kelompok tertindas untuk menjadi landasan perubahan sosial (misalnya, Teologi Pembebasan di Amerika Latin). Hal ini menjadi bukti bahwa agama ternyata tidak selalu mendukung status quo. Kedua, meskipun terdapat upaya untuk merepresifkan agama di Uni Soviet, keyakinan agama di sana tetap bertahan. Hal ini menunjukkan bahwa agama sangatlah mungkin mengisi kekosongan untuk memenuhi kebutuhan manusia lain, selain kendali sosial. Ketiga, Durkheim dan Malinowski---dua tokoh aliran fungsionalis---menyatakan sisi positifnya terhadap agama.

Durkheim berpendapat bahwa agama berperan penting dalam menciptakan terwujudnya kohesi sosial. Menurutnya, agama dapat membantu menyatukan individu dalam sebuah masyarakat dengan memperkuat solidaritas dan nilai-nilai kolektif. Dalam hal ini, agama berfungsi untuk menjaga keteraturan dan stabilitas sosial di wilayah atau negara tertentu.

Malinowski menekankan bahwa agama memainkan peran yang sangat signifikan dalam memenuhi kebutuhan psikologis individu, terutama ketika mereka menghadapi situasi krisis atau ketidakpastian. Agama menjadi fasilitator untuk memberikan rasa aman dan ketenangan dalam menghadapi tantangan hidup, seperti kematian atau penderitaan, yang tidak dapat diatasi hanya dengan rasionalitas atau ilmu pengetahuan.

Singkatnya, perspektif fungsionalis, seperti Durkheim dan Malinowski, memandang agama sebagai elemen penting dan fundamental dalam upaya untuk menjaga integrasi sosial dan memenuhi kebutuhan psikologis manusia. Menurut penganut fungsionalis, agama bukanlah hanya menjadi sekadar alat untuk mengendalikan kelas pekerja atau mendukung ketidakadilan, seperti yang diyakini oleh penganut Marxis.

Seperti kata Bung Karno, Marx tidak pernah bermaksud agar ide-idenya diterima sebagai doktrin yang kaku dan tidak berkembang. Marx percaya bahwa sosialisme harus beradaptasi dengan kondisi dan tantangan zaman. Oleh karena itu, jika dalam masyarakat modern, agama memainkan peran penting bagi banyak kelompok yang tertindas, maka Sosialisme harus lebih membuka diri untuk mengakomodasi agama sebagai bagian dari perjuangannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun