gerakan sosial di dunia, Amrica Latina atau Amerika Latin adalah salah satu tempat menawan bagi perkembangan-perkembangan gerakan sosial yang pernah terjadi di dunia. Ditambah dengan tradisi perlawanan yang telah mengakar sejak tokoh revolusioner-legendaris, Simn Jos Antonio de la Santsima Trinidad Bolvar Palacios Ponte y Blanco, berhasil menggerakkan roda sejarah dalam alunan revolusinya.
Bagi banyak pegiat dan pembelajarTidak tanggung-tanggung, ia berhasil melahirkan tidak saja satu negara, tetapi enam Republik sekaligus, yang di antaranya adalah Venezuela, Bolivar, Ekuador, Kolombia, Peru, dan Panama. Dengan demikian, Amerika Latin menjadi semakin "menawan" bagi para pembelajar dan pegiat gerakan-gerakan sosial.
Wilayah Amerika Latin pun mencakup 4,8 juta kilometer persegi atau hampir seperempat dari keseluruhan luas benua "hispanik" tersebut. Sampai sekarang, tidak ada revolusi yang mampu berhasil menggerakkan roda sejarah sebesar Simon Bolivar yang terjadi di Amerika Latin dengan luas wilayah yang disebut sebelumnya.
Satu abad setelah revolusi Simn Bolivar, revolusi kembali menjalar wilayah Amerika Latin. Diawali oleh gerilyawan-revolusioner, Ernesto "Che" Guevara, asal Argentina yang terjadi pada tahun 1950 sampai 1960-an. Guevara melakukan pergerakannya bersama-sama dengan para gerilyawan lainnya dari daerah ke daerah, seperti ke Kuba, Ekuador, sampai ke Bolivia.Â
Che adalah penganjur revolusi dengan metode perang gerilya, ia sangatlah karismatik di tengah-tengah para kadernya. Selain itu, Che pun terkenal dengan pemikirannya yang tajam dan bernas terhadap ketimpangan sosial, sehingga Che berperan penting dalam pengembangan teori revolusioner untuk membebaskan rakyat melalui perlawanan dan penguatan kekuatan massa.
Che percaya sekali bahwa revolusi di negara berkembang---khususnya Amerika Latin---harus dilakukan dengan perjuangan bersenjata, bukan dengan cara-cara diplomasi. Pemikiran Che ini terinspirasi dari keadaan sosial-politik di Amerika Latin yang penuh dengan kediktatoran-reaksioner dan kolonisasi. Oleh karena itu, kader-kader gerilyawan Che selalu diceramahi olehnya betapa pentingnya kedisiplinan, baik dalam soal-soal militer maupun soal-soal yang berkaitan ideologi (materialisme, dialektika, historis).
Kendati perjuangannya begitu menginspirasi sampai sekarang, Che harus mengakhiri hidupnya di tangan eksekutor-militer Bolivia saat usianya masih muda, yaitu 39 tahun. Kritik terhadap gerakan sosial ala Che adalah tidak adanya perhatian pada urusan finansial dan "intelijen", sehingga berakhir pada kegagalannya di tangan militer Bolivia.
Saat dirinya belum dieksekusi mati, seharusnya Che dibawa ke meja peradilan untuk diadili secara hukum. Namun, Rene Barrientos, Presiden Bolivia kala itu, memerintahkan agar Che segera dieksekusi, sebab Barrientos sangat khawatir, bahwa Che akan menarik simpati dan solidaritas yang luas dalam persidangannya.
Ternyata, Barrientos keliru dalam mengambil keputusan. Eksekusi Che ternyata tidak memadamkan semangat perjuangan Che dan para kadernya. Sejak kematiannya 55 tahun yang lalu sampai sekarang, semangat Che terus menjadi api dalam spirit perlawanan kaum tertindas di berbagai belahan dunia. Dengan tampangnya yang cukup tampan ditambah dengan "topi baret merah", Che selalu menjadi simbolisasi dalam selebaran-selebaran, baju-baju, tas-tas, milik para pegiat sosial yang ada di seluruh dunia masa kini.
Di zaman kontemporer ini, yang terakhir terjadi adalah dipimpin oleh para petani Zapatista di Meksiko. Zapatista ini menduniakan sebuah ikon baru, "petani bertopeng" Subcommandante Marcos (belakangan berubah menjadi Subcommandante Galeano), nama samaran dari Rafael Sebastian Vicente---sarjana sosiologi dan filsafat dari Universitas Otonomi Nasional Meksiko (Universidad Nacional Autnoma de Mxico---UNAM), yang bergabung ke dalam gerakan para petani pribumi Indian Maya di daerah dataran tinggi, Chiapas.
Dimulai pada 1 Januari 1994, sekitar tiga ribu petani, yang sebagian besar adalah masyarakat adat Indian Maya, mengangkat senjata dan bertempur secara gerilya melawan pemerintah Meksiko. Mereka memprotes perjanjian NAFTA (North American Free Trade Agreement), yang mereka anggap kebijakan yang merugikan petani miskin.
Gerakan petani dan masyarakat adat setempat di Chiapas, Meksiko, adalah perjuangan untuk melawan dampak negatif dari kebijakan neoliberalisme yang memaksa mereka bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar. Para petani dan masyarakat adat tersebut dipimpin oleh EZLN (Ejrcito Zapatista de Liberacin Nacional) atau Tentara Pembebasan Nasional Zapatista, yang mengorganisasikan perlawanan bersenjata dengan senjata-senjata rakitan yang dibuat secara mandiri untuk melawan tentara-tentara pemerintah yang bersenjata serbacanggih. Meskipun mereka tidak sepenuhnya sukses dalam perlawanan bersenjata, gerakan ini tetap menjadi inspirasi bagi perlawanan global terhadap neoliberalisme.
Setelah perlawanan bersenjata tak mendapatkan hasil baik, Zapatista pun beralih ke strategi propaganda dan penyebaran informasi untuk menarik dukungan dari masyarakat sipil, baik di dalam negeri maupun internasional. Subcomandante Marcos, salah satu pemimpin Zapatista, memanfaatkan kecanggihan berbahasanya dengan menggunakan gaya bahasa yang penuh warna---baik puitis, satir, maupun romantis---dalam serentetan tulisannya untuk menentang dan mengkritik neoliberalisme. Ia menyebarluaskan pesannya melalui berbagai bentuk karya sastra, seperti esai, puisi, dan novel.
Getaran-getaran revolusi tersebut sampai pula ke Timur Jauh, di daerah kepulauan-kepulauan yang memulai untuk menggelorakan Revolusinya sendiri, yaitu Indonesia. Sebenarnya, Revolusi sudah diadakan sejak 1950-an sampai 1960-an, dengan arahan politik dari Presiden Sukarno. Saat itu, Presiden Sukarno memang terkenal dengan antikolonialismenya dan memiliki visi untuk memperkuat solidaritas dan kesetiakawanan di antara negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Setelah sempat redup pada era 1970-an, gerakan sosial Amerika Latin kembali menjadi pembahasan menarik pada era 1980-an. Arief Budiman, yang pernah menulis disertasi doktor dengan tajuk "Pengerahan dan Strategi Negara dalam Peralihan ke Arah Demokrasi: Kasus Pemerintahan Allende di Chili", memicu kembali minat tersebut, khususnya untuk mulai mengkaji lagi Amerika Latin.
Disertasi karya Arief Budiman tersebut membahas tentang eksperimen sosialisme demokratis yang dilakukan di Chili di bawah pemerintahan Salvador Allende. Arief Budiman menganalisis bagaimana sosialisme sesungguhnya dapat diterapkan melalui jalur demokrasi, sehingga penerapannya jauh berbeda dari model sosialisme yang sering kali diterapkan melalui revolusi atau metode otoriter.
Di kalangan anak-anak muda, mulai mencuat kembali rasa ketidaksukaan pada Amerika Serikat saat tersebar isu bahwa Amerika terlibat dalam penggulingan pemerintahan sosialis-demokratis dari Presiden Salvador Allende di Chili pada tahun 1973. Hal ini bukannya tanpa alasan, sebab operasi-operasi penggulingan oleh CIA dan Amerika terhadap Allende benar-benar terjadi pada masa itu.
Dari situlah, mulai banyak bermunculan karya-karya akademik yang berkaitan dengan soal-soal ekonomi-politik negara ketiga. Khususnya, ditujukan untuk mengkritik pembangunan, yang mana pada saat itu hanya menyebabkan ketidakadilan, kesengsaraan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan hidup di negara-negara ketiga. Oleh karena itu, timbul pula semangat perlawanan dengan slogan, "No. a la desarrollismo!" (tidak untuk pembangunanisme).
Kecaman dan kritik keras tersebut tersebar juga di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin lainnya. Para aktivis sosial-politik di sana mengutip referensi-referensi dari akademisi asal Amerika Latin, seperti Raul Prebisch (Argentina) yang menulis bersama Wolfgang Hans Singer (Jerman), yang saat itu menulis "teori ketergantungan" (teoria de la dependencia) atau Tesis Prebisch-Singer untuk pertama kalinya. Teori ketergantungan ini menjelaskan bahwa modernisasi di negara-negara pinggiran tidak akan pernah berhasil sepenuhnya, karena mereka akan terus-menerus bergantung kepada negara maju dalam hal kapital, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Selain itu, karya-karya ekonom Brasil, Theotonia Dos Santos. Ada pula, Celso Furtado---yang pernah dicalonkan sebagai peraih Nobel Ekonomi 2004---dan Fernando Enrique Cardoso---pakar sosiologi yang pada sejarah hidupnya terpilih sebagai Presiden Brasil ke-34 selama 1995-2003.
Arief Budiman dalam disertasinya yang disebutkan sebelumnya juga menggunakan pendekatan teori ketergantungan (dependency theory) ini dalam menganalisis situasi yang berkembang di Chili. Teori ini kemudian menguraikan hubungan antara negara maju (core) dan negara berkembang (peripheries), di mana negara berkembang sering kali terjebak dalam ketergantungan ekonomi yang menghambat kemajuan mereka.
Dengan menggunakan landasan teori ketergantungan, Arief Budiman pun memberikan kritiknya terhadap pembangunan yang dilaksanakan oleh Orde Baru. Melalui disertasinya, Arief Budiman ikut berperan dalam memperkenalkan teori-teori ini ke dalam ilmu sosial di Indonesia dan memberikan perspektif baru dalam menilai modernisasi dan pembangunanisme yang dianut oleh rezim Orde Baru.
Dalam bacaan-bacaan dan karya-karya akademis itulah, para anak muda Indonesia merasakan bahwa terdapat ide dan harapan di Amerika Latin, sekaligus melahirkan gerakan-gerakan sosial yang penuh dengan romantisme dan gairah perjuangan.
Bahkan, tidak hanya itu, Amerika Latin juga terkenal dengan gerakan damainya, yang berupa gerakan-gerakan kebudayaan. Salah satunya adalah gerakan Nyanyian Baru (La Nueva Cancin). Gerakan ini lahir di Chile pada 1960-an dan dipelopori oleh seniman multitalenta, seperti Violeta Parra dan Victor Jara. Dua artis lainnya yang terkenal dan lahir dari gerakan Nyanyian Baru ini adalah Quilapayn dan Inti-Illimani.
Gerakan La Nueva Cancin menjadikan musik sebagai fasilitator atau wadah dalam menyampaikan protes-protes terhadap ketidakadilan sosial, politik, bahkan ekonomi. Lagu-lagu yang diusungnya pun berisikan tema-tema, seperti anti-kolonialisme, anti-kediktatoran, anti-imperialisme, dan mendukung sosialisme-demokratis. Tak hanya seni dan lagu yang mereka sumbangsihkan dalam pergerakan, tetapi mereka memobilisasi dukungan terhadap calon-calon politik yang mendukung reformasi sosial dan politik di Chili. Oleh karena itu, gerakan ini mendapatkan represifitas aparat yang keras setelah kudeta militer pada 11 September 1973 di bawah pimpinan Jenderal Pinochet, yang berkuasa dengan dukungan imperialisme AS. Banyak musisi yang terlibat dalam La Nueva Cancin mengalami penindasan, dan beberapa terpaksa hidup dalam pengasingan.
Ada pula, gerakan Penyadaran (Concientizao) ala Paulo Freire di Brasil. Gerakan ini menekankan pada pendekatan sosial dan politik kepada manusia dan kelompok-kelompoknya untuk memahami kondisi sosial dan politik yang mereka hadapi, dengan penekankan yang lebih tajam dan konkret dalam hal mewujudkan perubahan sosial melalui proses pemahaman dan aksi-aksi nyata. Gerakan ini mengambil ide sebagai dasarnya, bahwa kesadaran manusia yang jauh lebih mendalam terhadap situasi penindasan yang ia hadapi, akan menggugah manusia tersebut untuk mengambil tindakan nyata dalam mengubah struktur sosial yang menindas tadi.
Demikian juga, tentu saja terdapat gerakan Teologi Pembebasan (Teologia de la Liberacion) yang dirintis oleh Padre Gustavo Gutierrez di Peru. Gerakan Teologi Pembebasan inilah yang pernah berhasil mempersatukan semangat perlawanan di tengah-tengah gerakan sosial ataupun perlawanan bersenjata terhadap kekuasaan. Gerakan Teologi Pembebasan, bagaimanapun juga, pernah berhasil mendamaikan dua kutub yang sangat diametral, yaitu gerakan Marxisme yang anti-Agama dengan agama Katolik yang begitu dekat dengan aspek ketuhanan.
Maka tak perlu heran, apabila di Amerika Latin saat periode Perang Dingin terdapat gerakan-gerakan sosial yang digerakkan oleh umat Katolik yang taat berjuang bersama-sama kaum "kiri" untuk melawan kekuasaan yang zalim dengan berlandaskan ideologi kiri. Di sisi lainnya, kaum Marxis Amerika Latin saat itu pun sadar dan tahu betul bahwa agama---khususnya Katolik sebagai mayoritas---adalah kenyataan-objektif, serta menyadari pula bahwa di dalam nilai-nilai agama Katolik terdapat semangat reformis, bahkan revolusioner.
Poin utama yang menjadikan landasan persamaan di antara keduanya dalam bergerak menentang kekuasaan zalim adalah sama-sama mengetahui "kewajiban" dan "keharusan", bahwa keduanya harus dan wajib berpihak pada kaum miskin dan mereka yang termarjinalkan (de opcion preferencial por los pobres y excluidos).
Dalam gerakan Teologi Pembebasan tersebut, teologi bukan hanya membahas refleksi teoretis, tetapi juga tentang melakukan tindakan yang mengarah pada transformasi sosial. Teologi harus mendorong dan membentuk komitmen masyarakat---khususnya Negara---terhadap isu-isu keadilan, pembebasan, dan penghormatan seluruh ciptaan Tuhan. Dengan mencontoh Yesus, Gutirrez menjelaskan bahwa yang diperlukan oleh umat adalah transformasi yang mendalam, baik secara pribadi maupun komunal. Transformasi ini melibatkan perbaikan dalam hal mental dan struktur sosial lama yang terus-menerus memelihara ketidakadilan dan penderitaan bagi umat Katolik.
Meskipun dampak Teologi Pembebasan terhadap struktur sosial dan politik masih dapat diperdebatkan dan terdengar jarang berhasil, signifikansi utamanya terletak pada kemampuannya untuk menginspirasi dan menantang gereja supaya bisa lebih bersikap selaras dan adil dengan mereka yang tertindas. Ajakan untuk selalu mengingat dan bertindak dalam solidaritas humanity akan tetap menjadi tantangan yang penting dan transformatif bagi gereja-gereja masa kini.
Referensi:
Guardado, Leo. "50 years later, Gustavo Gutierrez's 'A Theology of Liberation' remains prophetic." America: The Jesuit Review, 17 Agustus 2023. https://www.americamagazine.org/faith/2023/08/17/theology-liberation-gustavo-gutierrez-245850.
Hartono, Rudi. "'Tidak ada Revolusi tanpa Lagu-Lagu.'" Berdikari Online, 6 November 2019. https://www.berdikarionline.com/mengenal-gerakan-nyanyian-baru/.
Hs, Lilik. "Chiapas." IndoProgress, 17 Februari 2013. https://indoprogress.com/2013/02/chiapas/.
Hugo, Francesco. "Che dan Gerilyanya." IndoProgress, 17 Oktober 2019. https://indoprogress.com/2019/10/che-dan-gerilyanya/.
Isnaeni, Hendri F. "CIA dan Operasi Jakarta di Chile." Historia, 21 September 2019. https://historia.id/politik/articles/cia-dan-operasi-jakarta-di-chile-v22j5.
Kennedy, Eddward S. "Jalan Panjang Simon Bolivar Membebaskan Amerika Latin." Tirto.id, 17 Desember 2019. https://tirto.id/jalan-panjang-simon-bolivar-membebaskan-amerika-latin-enzf.
Lwy, Michael. Teologi Pembebasan: Kritik Marxisme dan Marxisme Kritis. Disunting oleh Achmad Choirudin. Diterjemahkan oleh Roem Topatimasang. Yogyakarta: INSISTPress, 2019.
Rachman, Noer Fauzi. "Concientizacao atau Penyadaran, Pendidikan Kaum Tertindas Menurut Paulo Freire." Noerfauzirachman.id, 7 Januari 1998. https://www.noerfauzirachman.id/1998/.
Samuel, Raymond. "10 Fakta Menarik tentang Che Guevara." Berdikari Online, 9 Oktober 2022. https://www.berdikarionline.com/10-fakta-menarik-che-guevara/.
Supriatma, Made. "Arief Budiman (1941-2020): Warisan-Warisan Intelektual dan Aktivismenya." IndoProgress, 29 April 2020. https://indoprogress.com/2020/04/arief-budiman-1941-2020-warisan-warisan-intelektual-dan-aktivismenya/.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H